Delapan jam sebelumnya...
Vincent memandang hapenya yang sedang berdering. Dia sedang bergumul dalam hati apakah harus mengangkatnya atau tidak.
"Baiklah Vincent. Ini ulahmu, kau harus menghadapinya. Benar. Harus." Vincent berusaha menghibur diri sendiri dan memantapkan hati untuk menerima panggilan tersebut.
Begitu diangkat, dia tidak langsung menempelkan hapenya ke telinganya dan masih terdengar suara si penelpon dengan sangat jelas.
"KETUA! HARAP TAHU DIRI SAAT MEMBANGUNKAN ORANG! JANGAN HARAP AKU AKAN MELAKUKANNYA LAGI! KAU PIKIR MENGUMPULKAN BAHAN-BAHAN YANG KAU INGINKAN DALAM WAKTU TIGA JAM DAN TIBA DISANA DALAM DUA JAM ITU MUNGKIN???!!! AKU HARUS MENERBANGKANNYA DENGAN MENYEWA PESAWAT.. KAU DENGAR?? AKU MENYEWA PE..SA..WAT!!"
Setelah si penelpon telah mencurahkan keluhannya, barulah Vincent menempelkan hapenya ke telinganya dan bertanya dengan polosnya.
"Kenapa harus menyewa? Kan bisa pakai pesawatmu."
" ?!!!! ...."
Vincent segera menjauhkan ponselnya dari telinga mendengar suara yang keras. Setelah menunggu beberapa saat barulah dia menempelkan kembali ponsel ke telinganya.
"Baiklah, baiklah. Aku yang salah.. aku tidak akan mengulanginya lagi."
Tut.. tut.. tut..
Mendengar suara tanda putusnya komunikasi barulah Vincent bersender di kursi dengan perasaan lega. Satu-satunya wanita yang bisa membuatnya keringat dingin hanyalah Alice.
Alice merupakan salah satu anggota tim elitnya, disaat bersamaan dia merupakan pemilik pabrik bahan makanan beserta puluhan peternakan. Usianya enam tahun lebih tua darinya dan telah menikah serta memiliki dua orang anak.
Vincent menggeleng-gelengkan kepala kenapa dulu dia memasukkan Alice kedalam timnya. Benar.. Alice memiliki koneksi sebagian besar penguasa industri yang tidak dimilikinya. Tidak hanya itu, suami Alice memiliki lahan penerbangan serta beberapa kendaraan terbang pribadi seperti helikopter ataupun pesawat pribadi.
Intinya Alice merupakan salah satu anggota berharganya yang tidak ingin dilepasnya. Tentu saja dia lebih berharap kalau karakter Alice tidak segarang seperti ini.
Satu-satunya alasan kenapa Alice bersedia bergabung dengannya hanya karena bujukan Frank, adik kesayangan Alice. Vincent beruntung memiliki Frank sebagai sahabatnya.
Tidak lama kemudian Vincent memutuskan untuk mengambil beberapa foto lagi di sekitar taman saat melihat salah satu staf penerima tamu kewalahan menghibur rombongan tamu undangan yang datang secara bersamaan.
Saat ini Catherine beserta sebagian karyawan lainnya pasti sedang sibuk di dalam dapur, sehingga untuk melayani rombongan tamu ini sangatlah minim.
Karena itu Vincent segera membantu mereka. Tentu saja Vincent tidak ikut campur dalam pembagian kamar, yang dia lakukan hanyalah menghibur para tamu dengan penjelasannya mengenai tempat ini. Dia bahkan berinteraksi dengan ramah.
Dia membuat semua tamu disana merasa dekat dengannya seperti telah saling bertemu sebelumnya. Tujuan utamanya adalah agar para tamu yang mengantri untuk mengambil kunci tidak merasa bosan ataupun emosi karena menunggu terlalu lama.
Cara penjelasan Vincent yang luwes sangat menyenangkan membuat para tamu tidak terburu-buru mengambil kunci kamar mereka. Mereka malah lebih memilih mendengarkan penjelasan Vincent, bahkan mereka saling mengumbar suatu humor membuat semuanya tertawa. Pada akhirnya bagian resepsionis sendiri yang mengantarkan kuncinya pada para tamu.
"Baiklah. Sudah saatnya beristirahat. Akan sangat disayangkan kalau kalian tidak bisa menikmati acara malam nanti." Vincent sadar tidak sedikit yang sudah mendapatkan kunci kamar tapi enggan untuk naik ke lantai atas. "Saya harap anda menikmati waktu anda selama disini."
Melihat satu per satu tamu undangan telah naik ke lantai kamarnya masing-masing, Vincent bernafas lega. Sebenarnya dia tidak perlu membantu, tapi ini adalah hotel sepupunya dan Clarissa sudah mulai ikut campur. Tentu saja dia akan melakukan apapun untuk menyukseskan usaha sepupunya.
Tidak lama kemudian, sebuah mobil milik Hotel tiba di depan lobi menandakan tamu undangan lain telah datang.
Vincent hendak menyambut mereka dan melayani mereka dengan sikap yang sama. Namun saat melihat wajah-wajah yang sangat dikenalnya, langkahnya berhenti.
Satu..dua..tiga.. empat.. Lima belas?! Vincent menghitung dengan cepat dan sebelum tamu yang baru datang melihat wajahnya, Vincent segera berlari ke arah berlawanan dan bersembunyi di kantor Catherine.
Cepat-cepat dia menghubungi seseorang. Tidak tersambung. Karena sudah tidak sabar, dia segera mengirim pesan pada orang tersebut... pada sepupunya.
'BENJIE! Kau tidak bilang kau mengundang keluargaku?! Kau mengundang seluruh Regnz!?'
Semenit kemudian terdengar balasan.
'Ah, aku lupa memberitahumu.'
Melihat jawaban ini membuatnya sangat gemas. Rasanya dia ingin sekali mencubit pipi sepupunya hingga merah seperti yang dulu pernah ia lakukan tiap kali Ben menjahilinya.
Vincent mengambil napas panjang sadar dia tidak mungkin melakukannya. Mereka sudah bukan anak kecil... Tapi entah kenapa perlakuan Ben terhadapnya tidak jauh berubah. Khususnya pada kejahilannya.
Dia sama sekali tidak ingin keluarganya tahu kalau dia ada di Pina. Dia tidak ingin keluarganya tahu kalau dia disana sebagai seorang fotografer. Terlebih dari itu semua.. dia tidak ingin siapapun tahu bahwa dia adalah Vincentius Regnz.
Vincent mendecak pasrah sambil melihat ke layar ponselnya lain dan membaca sebuah pesan baru.
'Aku sudah tiba.'
Dengan cepat Vincent menyusun ulang rencananya sebelum membalas pesan tersebut.
'Perubahan rencana. Kita bertukar tempat.'
-
Vincent menggunakan kemeja hitam berlengan panjang dan celana hitam. Dia juga menggunakan masker kain hitam untuk menutupi sebagian wajahnya.
Tentu saja agar tidak ada yang berprasangka buruk padanya, dia mengalungkan tali kartu tanda pengenal di lehernya dan kartu tersebut dibalikkannya sehingga baik nama maupun fotonya tersembunyi.
Dia berjalan keluar menemui para staf untuk membuat mereka terbiasa dengan penampilannya.
"Mengapa kau memakai masker?"
"Uhuk..uhuk.. Aku sedang tidak enak badan. Mungkin karena kecapaian."
"Oh, jangan terlalu memaksakan diri. Apa kau mau minum jahe?"
"Tidak perlu, terima kasih."
Dengan begini, tidak akan ada yang mencurigainya meskipun dia memakai masker. Tentu saja dia tidak akan masuk ke dalam aula, dia hanya akan berjaga-jaga di luar memastikan seseorang tidak membuat keonaran.
Untuk bagian pemotretan sudah diambil alih dari salah satu anggota timnya.
Rencana awalnya adalah dia yang mengambil foto di dalam aula dan anggotanya berjaga-jaga di luar.
Tapi karena hampir seluruh keluarga Regnz datang, tidak diragukan lagi.. identitasnya sebagai Vincent Regnz akan terbongkar. Karena itu dia bertukar peran dengan anggotanya.
Walaupun begitu, hanya untuk berjaga-jaga dia memakai masker agar tidak ada yang mengenalinya.
Tapi siapa yang bisa menyangka, penyamarannya terbongkar dengan mudah hanya gara-gara aroma sabun yang sangat sering digunakannya.
Seorang anak kecil telah menarik kain celananya dan memanggilnya dengan sebutan 'paman'.
"Bagaimana kau tahu ini aku?" tanya Vincent sambil berjongkok.
"Bau paman." jawab anak itu sambil mencium aroma dari tubuhnya. "Cuman paman satu-satunya yang memakai sabun aroma lemon."
Vincent menggelengkan kepalanya tidak percaya indra penciuman keponakannya yamg sangat tajam. Padahal dia sudah memakai baju tebal dan menggunakan parfum yang berbeda. Seharusnya bau lemon sudah tertutup rapat bahkan menghilang begitu dia menyemprotkan parfum ke bajunya.
Karena keponakannya sudah mengetahuinya, Vincent tidak punya cara lain.
Vincent membuka kedua tangannya dan menunjukkan kedepan wajah Abi.
"Lihat, tangan paman kosong." kemudian tangannya bergerak dengan sangat cepat kearah belakang Abi sambil bangkit berdiri secara perlahan.
Kebetulan sekali dia membawa permen coklat disakunya. Tanpa diketahui Abi, Vincent menyelipkan tangannya ke saku bajunya dengan gesit untuk mengambil permen tersebut.
Setelah itu dia kembali berjongkok dan menunjukkan kedua tangannya yang kini mengepal.
"Pilih yang mana?" tanya Vincent.
"Kan masih kosong?" Abi bertanya dengan ekspresi bingung yang imut.
"Tidak. Ada sesuatu yang sangat manis dan enak. Kalau Abi menjawab dengan salah, Abi tidak bisa makan ini lo."
Mulut Abi manyun kedepan dengan cemberut.
"Paman akan kasih tahu Abi jawaban yang benar kalau Abi mau berjanji sama paman."
"Abi mau janji sama paman."
Vincent tersenyum tidak sadar kalau senyumannya tidak akan bisa dilihat Abigail karena masih tertutup dengan maskernya. Meskipun begitu, Vincent membuka tangan kanannya yang berisi sebuah permen coklat yang merupakan cemilan kesukaan Abi.
Mata Abi berbinar-binar melihat isi tangan pamannya dan segera mengambil isi tersebut.
"Abi, jangan bilang siapa-siapa kalau paman disini ya."
"Termasuk mama?"
"Termasuk mama. Siapapun, tidak boleh ada yang tahu. Kalau sampai besok kalian semua pulang, tidak ada yang tahu kalau paman disini, paman akan beri permen ini lagi saat kita bertemu lagi. Bagaimana?"
"Aku janji. Terima kasih permennya."
Abi memberinya kecupan singkat di pipinya yang tertutup kain masker dan langsung masuk kembali ke dalam aula.
'Sayang sekali.. seharusnya tadi aku melepaskan maskerku sebentar.' Keluhnya dalam hati.
Vincent bangkit berdiri untuk melanjutkan tugasnya dan berbalik ke arah lift. Langkahnya terhenti saat melihat seseorang disana.
Vincent merasa terkejut melihat gadis itu dengan penampilan yang sangat berbeda. Dia bahkan sama sekali tidak bisa mengendalikan detak jantungnya.
Malam itu, saat dia melihat Catherine berjalan menelusuri balkon, dia merasa terpukau dan menganggapnya sebagai malaikat yang turun ke bumi.
Saat ini juga sama. Gadis itu tampak seperti malaikat yang sangat cantik.. hanya saja, malaikat yang satu ini tampak ingin menghukum seseorang atau ingin menculik sesorang?
Apapun itu, Vincent tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis dihadapannya saat ini. Dia merasa seisi dunianya hanya berputar untuk gadis dihadapannya.
Apakah ada gadis secantik ini di dunia ini? Gadis itu sama sekali tidak terlihat lemah ataupun manja seperti gadis kaya pada umumnya. Meskipun memiliki tatapan mata yang tajam, tapi gadis itu tidak memancarkan keangkuhannya.
Vincent menelan ludah tanpa sadar karena tidak bisa mengendalikan debaran jantungnya.
Saat melihat kilauan cahaya tajam dari sinar mata Catherine, dan langkah kaki gadis itu yang bergerak mundur membuatnya langsung tersadar.
Tepat sebelum gadis itu berteriak, Vincent segera membuka maskernya.
"Ini aku."
"Kenapa kau berpakaian seperti itu?" jelas sekali Cathy tidak menyukai penampilannya. "Apa yang kau lakukan disini? Bukankah seharusnya kau bekerja di dalam?"
"Ada orang yang menggantikanku. Aku sedang tidak enak badan. Karena itulah..." tiba-tiba hidungnya terasa gatal dan... Vincent bersin dengan cukup keras.
"Kau terkena flu?" tanya Cathy kali ini dengan nada khawatir.
Sebenarnya Vincent tidak merasa terserang flu, tapi tadi dia memang bersin karena terasa gatal dengan kain masker yang dikenakannya.
"Entahlah." jawab Vincent selemah mungkin mencoba menarik belas kasihan dari Cathy sambil memakai kembali maskernya.
"Kalau begitu kau istirahat saja, jangan bekeliaran di luar sini." sahut Cathy.
Vincent hanya menganggukkan kepalanya tanpa menjawab.
"Bagaimana denganmu? Kenapa kau ada di luar sini?" Vincent balik bertanya.
"Aku sedang mencari Anna. Kau melihatnya?"
"Tidak. Dia tidak ada didalam?"
Cathy tidak menjawab dan segera melewatinya untuk mengintip ke dalam aula. Sekali lagi, dia tidak menemukan Anna disana.
Kemudian Cathy kembali berjalan menuju ke lift untuk mencoba mencarinya di taman. Begitu keluar dari lift, Cathy berjalan dengan langkah pendek tapi cepat ke arah taman. Tidak ada siapapun disana.
Kemudian berjalan ke arah dapur, tidak ada tanda-tanda kehadiran adiknya.
Cathy berputar ke arah berlawanan melewati koridor panjang yang dihiasi dengan lukisan-lukisan indah.
Di tengah-tengah koridor, langkahnya terhenti dan memutar tubuhnya ke belakang.
"Sampai kapan kau mau mengikutiku?"
Semula Cathy tidak menyadari pemuda itu mengikutinya sejak dari lantai sepuluh. Saat sadar, dia mempercepat langkahnya berharap dia salah menduga. Tapi hingga detik ini, pria itu mengikutinya dari belakang.
Jarak diantara mereka juga sangat aneh. Tidak terlalu jauh ataupun dekat. Seolah-olah pria itu melakukannya dengan sengaja.
Vincent masih memikirkan jawaban bagus yang masuk akal untuk menjawab pertanyaan itu saat mereka mendengar suara pecahan kaca yang keras.
Cathy segera berbalik mengikuti sumber suara tersebut, dan tentu saja Vincent mengikutinya dengan jarak yang sama seperti sebelumnya.
Mereka berjalan hingga menemui belokan dimana mereka mendengar sebuah percakapan.
Tanpa ragu Cathy menghampiri dua orang wanita. Yang satu berpakaian baju kotak-kotak yang tidak diragukan lagi adalah adiknya, yang satu lagi berpakaian gelap dengan beberapa manik menyilaukan yang menghiasi disekitar pinggang wanita tersebut.
Menilai dari ekspresi wanita tersebut dan cara wanita itu memandang adiknya dengan kebencian membuat Cathy tidak menyukai wanita itu.
Cathy sama sekali tidak ingat bahwa Vincent mengikutinya karena pikirannya terpusat untuk melindungi adiknya. Sementara itu, Vincent langsung bersembunyi di balik pilar begitu melihat wajah wanita yang tidak disukai Cathy.
Cathy berjalan perlahan menghampiri mereka sambil mengatur kembali pernapasannya. Napasnya agak tersengal-sengal akibat langkahnya yang setengah berlari saat mencari keberadaan adiknya.
Semakin dekat ke arah mereka, dia bisa melihat dengan jelas. Sebagian rambut Anna basah, sementara wajahnya dialiri sebuah cairan.
Cathy menatap ke lantai ke arah pecahan kaca dengan isinya yang tertumpah. Dia langsung teringat akan hari itu saat ayahnya melempar botol kosong persis didekatnya.
Kenangan itu bagaikan mimpi buruk baginya dan tiba-tiba saja dia merasa sulit untuk bernapas.
Dia merasakan kedua tangannya gemetaran oleh rasa takut yang timbul dan kedua kakinya nyaris terjatuh tak kuat membuatnya berdiri tegak.
"Kau siapa? Apa maumu dengan datang kesini?"
Suara dingin yang terdengar menghina di telinganya membuatnya tersadar kembali.
Cathy memejamkan matanya berusaha membuang bayangan buruk itu dari pikirannya. Dia berusaha memunculkan wajah Anna yang dilihatnya tadi. Anna sedang menderita dan matanya berkaca-kaca berusaha menahan air matanya.
Kini tangan Cathy tidak lagi gemetar dan saat membuka matanya menatap wanita tersebut... dia menatapnya dengan tatapan tajam dan offensif.
Hanya Vincent yang menyadari perubahan ekspresi dari wanita itu. Semula wanita itu berwajah arogan dan memandang rendah, namun kini.. matanya membelalak terkejut dan ada rasa takut dari matanya.
Vincent yang melihat adegan kecil tersebut tidak bisa melihat seperti apa ekspresi West bersaudara karena posisi mereka memunggunginya.
Dia benar-benar penasaran, seperti apa ekspresi yang terpasang di wajah Catherine? Apa yang bisa membuat seorang Clarissa Paxton memasang tatapan ketakutan seperti itu?
Vincent mengulas senyum senang, akhirnya dia memiliki kesempatan menyaksikan kekalahan Clarissa Paxton.