"Vincent, dia adalah adik kelasku di universitas dulu. Namanya adalah Cheryl. Cheryl, dia adalah sahabatku sejak kecil, Vincent."
Baik Vincent dan Cheryl saling berjabat tangan dan memberikan senyuman ramah. Vincent bisa melihat kedua pipi Cheryl memerah.
"Aku ambil cemilan dulu. Selamat mengobrol."
Felicia mengedipkan sebelah matanya pada Vincent sebelum akhirnya pergi menjauh dari mereka.
Nyaris saja Vincent memanggil gadis itu dengan macan betina karena telah dengan kejamnya meninggalkannya dengan gadis asing.
"Jadi kau adalah junior Felis? Berapa usiamu?"
"Dua puluh delapan." jawab Cheryl berusaha untuk tetap santai. Kini pipinya tidak terlalu merona seperti tadi. "Aku dengar dari kak Felis, Kak Vincent adalah seorang fotografer?"
Oh? Jadi Felicia sudah bercerita mengenai dirinya pada gadis itu? Sementara Felicia sama sekali tidak memberitahu apa-apa padanya.
"Begitulah."
"Kapan-kapan, apa aku boleh melihat kakak mengambil gambar?"
"Maaf, aku tidak terbiasa ditemani siapapun saat memotret."
"Oh.." terdengar nada sedih di suaranya, namun Vincent tidak terlalu peduli. "Apa aku boleh bertanya sesuatu yang pribadi?"
Alis Vincent berkenyit mendengar itu. Mereka baru saja saling berbicara beberapa kalimat, dan gadis itu ingin bertanya sesuatu hal yang pribadi?
Tapi rasa penasarannya menguasainya.
"Tanyakan saja."
"Apa benar kak Vincent.. penyuka sesama jenis? Maaf, akhir-akhir ini aku sering mendengarnya dari teman-teman. Kak Felis mengatakan itu hanyalah kabar bohong. Tapi.. aku lebih suka langsung bertanya pada kak Vincent." Cheryl memberanikan diri melirik ke arah Vincent yang tak berekspresi.
"Maaf. Aku sudah lancang. Kakak tidak perlu menjawab pertanyaanku tadi."
"Jika aku bilang kalau rumor itu benar adanya, apa yang akan kau lakukan?"
Vincent bisa melihat tubuh gadis didepannya menjadi kaku, dan wajahnya memucat.
Dia juga melihat gerakan kecil yang dilakukan gadis itu. Secara perlahan, Cheryl melangkahkan kakinya ke belakang.
"Maaf, sudah mengganggu kakak." sahutnya sebelum meninggalkannya dan kembali bergabung pada teman-temannya.
Vincent mendesah sambil bertanya-tanya apa dirinya sudah keterlaluan?
Saat itulah pintu aula yang letaknya tidak jauh dari tempatnya berdiri terbuka.
Seorang pria dengan mata tajam dengan penampilan maskulin memasuki ruangan diikuti seorang wanita memakai terusan putih dengan sedikit rambut yang dikepang di dua sisi dan saling bertautan di bagian belakang.
Semua mata tertuju pada pria yang baru memasuki ruangan, tak terkecuali sahabatnya.
Pria itu adalah Benjamin Paxton, seorang pria yang belum menikah dan menjadi incaran tiap-tiap wanita di tempat ini.
Vincent bisa menebak gadis yang masuk bersama Ben adalah sekretaris baru yang dimaksudkan Felicia.
Vincent hanya melihat bagian samping dari sekretaris muda itu, namun ada yang mengganjal di hatinya. Sepertinya dia merasa tidak asing dengan gadis itu.
Kenapa akhir-akhir ini, ingatannya mengenal wajah orang menjadi buruk?
Tidak lama kemudian, Vincent melihat Felicia berusaha memanggilnya. Dia mendesah pasrah karena dia harus menjalankan tugas spesial dari macan betina gara-gara dia kalah taruhan tidak adil itu.
Dengan langkah yang berat, Vincent berjalan ke arah mereka bertiga dan barulah dia melihat wajah gadis itu dengan jelas.
Yang membuatnya tertegun atau jantungnya berdebar dengan lebih cepat bukan karena gadis itu cantik.
Dia bisa mendengar desas-desus para pria yang mengatakan sekretaris Benjamin memiliki wajah cantik dan tubuh langsing. Dengan baju terusannya bewarna putih, gadis itu bagaikan seorang malaikat yang datang turun ke dunia ini.
Tidak. Bukan karena itu. Dia bahkan tidak merasa gadis ini sangat cantik, malah biasa. Tidak buruk dan tidak cantik. Tapi, cukup menarik perhatian.. membuat orang yang melihatnya tidak akan bisa mengalihkan perhatiannya.
Bukan itu juga yang membuatnya tertegun.
Gadis itu tersenyum padanya seperti senyuman sapaan sopan. Semua orang yang ditemuinya juga mendapatkan senyuman yang sama. Tapi sinar matanya... dia bisa melihat gadis itu merasa senang. Sebelumnya hanyalah pandangan sopan dan hormat berubah menjadi tatapan dengan bercahaya saat melihatnya.
Gadis itu merasa senang saat melihatnya? Itulah ditebaknya. Tapi dia masih ragu. Karena selain sinar matanya, ekspresi pada gadis itu tidak banyak berubah dengan saat menyapa orang-orang sebelum dia mendekat.
-
Cathy sedang mempelajari kembali nama-nama undangan yang akan hadir dalam acara pertemuan tersebut selama perjalanan mereka.
Acara jamuan makan malam akan diadakan di sebuah rumah milik salah satu investor terbesar dari hotel Star Risen.
Sebagai seorang CEO dari Star Risen, tentu saja Benjamin harus datang ke acara tersebut. Dia juga mengajak Cathy sebagai asistennya untuk datang bersamanya.
Sebenarnya... dia hanya ingin Cathy mulai beradaptasi memasuki kalangan atas. Cepat atau lambat dia harus memberitahu mengenai identitasnya yang sebenarnya.
Meskipun begitu, Benjamin masih tidak tahu harus bagaimana untuk memberitahu keponakannya.
'Kau adalah ahli waris yang sebenarnya dari harta keluarga Paxton.' Ben tertawa sinis dalam hatinya. Jika dia memang mengucapkan kalimat itu pada keponakan sulungnya, tidak diragukan lagi... gadis itu akan membawa ketiga adiknya keluar dari rumah dan melepaskan diri dari perlindungannya.
Karena itu.. sedikit demi sedikit, dia membawanya masuk; beradaptasi lebih tepatnya.. agar gadis itu tidak dengan mudah melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang penerus Paxton.
Benjamin melirik ke arah sampingnya, melihat keponakannya dengan serius mempelajari segala macam info mengenai para undangan membuatnya tersenyum bangga.
Dulu dia memang tidak menyukai kehadirannya.. kehadiran mereka berempat. Namun lambat laun, dia merasa mereka berempat sudah merupakan bagian dirinya. Dia sudah benar-benar merasa bahwa dia adalah paman dari keempat gadis muda tersebut.
"Kau tidak perlu menghapal mereka semua. Bersikaplah santai dan nikmati saja acaranya. Jika ada yang bertanya tentang sesuatu yang tidak kau ketahui, tidak perlu menjawabnya dan serahkan padaku."
"Baik." jawab Cathy setelah menutup kembali folder yang berisi informasi yang dipelajarinya.
Bukannya karena dia tidak ingin melanjutkan aktivitasnya, tapi dengan mobil yang sedang melaju cepat dan mengandalkan flashlight dari ponselnya untuk bisa membaca, kepalanya terasa pusing.
"Paman.. Disini terdaftar bahwa V juga diundang."
"V selalu mendapat undangan, tapi dia tidak pernah datang ke acara seperti ini. Jadi untuk sementara waktu, lupakan dulu mengenai V."
"Baik."
"Kau tidak perlu terlalu formal jika hanya kita berdua." sahut Ben.
"..." Cathy terdiam sejenak. "Cathy mengerti."
Beberapa akhir ini dia merasa pamannya sangat memperhatikannya beserta adik-adiknya.
Tiap malam, pamannya akan pulang untuk makan malam bersama mereka. Sekali-kali pamannya akan menanyakan keadaan mereka dan mendengarkan apa saja yang diceritakan ketiga adiknya dengan sabar.
Secara perlahan ketiga adiknya mulai merasa nyaman dan menantikan kepulangan sang paman tiap malamnya. Mungkin karena dia selalu menceritakan mengenai jasa pamannya pada mereka bertiga, ketiga adiknya bisa menerima kehadiran pamannya dalam waktu singkat.
Meskipun tidak ada yang mengetahuinya, Cathy sangat berterima kasih pada pamannya yang sudah mau menjadi sosok seorang ayah bagi ketiga adik-adiknya.
Karena itu dia sudah tidak bersikap skeptis pada pamannya dan menerima kehadiran pria itu dengan tangan terbuka. Hanya saja, dia masih tidak bisa membiarkan dirinya bergantung pada pamannya.
Jika dia dalam masalah atau kesulitan dalam pekerjaannya dia tidak akan mengomel atau mencari bantuan pada pamannya. Bahkan saat ada kolega yang menekannya atau menghinanya secara tidak langsung, dia juga tidak akan mengadu.
Dia akan menyelesaikannya sendiri; dengan caranya sendiri.
Karena itu saat ini dia benar-benar berharap siapapun, Frank atau bahkan V sendiri; salah satu yang mewakili V collection hadir pada acara ini.
Dia bahkan berdoa dalam hatinya agar malam ini, meskipun terdengar mustahil; dia berdoa agar V sendiri yang hadir di acara nanti.
Cathy tertawa dalam hati. Apakah dengan berdoa bisa membuat V yang terkenal tidak pernah datang, akan datang?
Dia sadar, ini pertama kalinya dia berdoa setelah sekian lama. Tepatnya semenjak dia pergi ke rumah sakit dan mendapat kabar bahwa dia memiliki kelainan.
Dia menyalahkan ayahnya, menyalahkan dunia ini, menyalahkan yang di atas begitu tahu dia tidak bisa melihat warna melalui kedua matanya.
Secara kesehatan, matanya baik-baik saja. Dia memiliki sel yang bisa membuatnya melihat warna pada umumnya. Tapi alasan kenapa dia tidak lagi bisa melihat warna secara normal lebih dikarenakan kondisi jiwanya.
Seorang dokter di bidang kejiwaan mengatakan dirinya telah membangun sistem defensif terhadap sesuatu yang membuatnya tidak bisa melihat warna dengan normal. Dia bahkan disarankan untuk melakukan terapi tiap beberapa bulan sekali yang akhirnya dia tolak.
Jika dia melakukan terapi secara teratur, bukankah itu berarti dia mengakui bahwa dirinya memiliki kelainan jiwa seperti ayahnya?
Lagipula, entah alasan apapun yang diberikan dokter... baginya, alasan kenapa warna-warna menghilang dari pandangannya adalah kesalahan ayahnya. Dia tidak bisa lagi membedakan warna karena dia dipukul keras oleh ayahnya waktu itu.
Benar. Sejak dia ditampar waktu itu, dia menangis keras malam harinya dan tanpa disadarinya... warna-warni pada penglihatannya mulai kabur dan menjadi dua warna. Hitam dan putih.
Semenjak itu, tidak peduli apakah pemandangan dihadapannya indah atau cantik, dia sama sekali tidak bisa menganggap sama seperti yang dilihat adik-adiknya.
Pelangi? Dia bahkan tidak bisa melihat tujuh warna pelangi yang berbeda; membuat hatinya menjadi dingin dan pikirannya tersesat dalam kenangan tangan ayahnya yang mendarat di pipinya.
"Cathy, kau baik-baik saja?"
Mendengar namanya dipanggil, Cathy menoleh ke arah pamannya. Hatinya terasa hangat saat melihat tatapan khawatir pada mata pria itu.
Cathy.. Anna.. Lina.. Lizzy.. Pamannya sudah membiasakan diri untuk memanggil nama mereka sesuai nama panggilan, membuat hubungan mereka menjadi semakin dekat.
"Cathy tidak apa-apa." jawabnya sambil tersenyum meyakinkan.
Pamannya meletakkan tangan kirinya di atas kepalanya dengan lembut tanpa merusak tatanan cantik rambutnya.
"Jangan terlalu memaksakan diri. Jika kau terlalu capek, beritahu aku kapanpun kau mau. Aku akan segera membawamu pulang."
"Iya, paman." jawabnya.
Yah, meskipun dia merasa tidak enak badan atau bosan, dia tetap tidak akan memberitahu pamannya. Dia tidak ingin membawa masalah pada pamannya.
Setelah satu jam perjalanan dari rumah mereka, Ben dan Cathy masuk ke dalam sebuah rumah besar dan menaiki beberapa tangga menuju ke lantai dua. Tidak lama kemudian mereka berdiri tepat di depan sebuah pintu aula utama dimana acara utama diadakan.
"Jangan lupa. Jangan memanggilku paman disini atau menunjukkan kau adalah keponakanku."
Cathy menganggukkan kepalanya perlahan. Setelah menunggu beberapa saat, pintu besarpun terbuka.
Seperti yang diduganya, sambutan hangat datang untuk menyambut kehadiran pamannya.
Selama dua minggu mengikuti pamannya, Cathy mengerti akan satu hal. Didalam bidang perhotelan, pamannya adalah sosok yang sangat dipandang dan dihormati. Tidak sedikit yang ingin masuk kedalam koneksinya.
Karena belum menikah, banyak juga para gadis lajang yang mengincar pamannya. Mereka menyebut pamannya sebagai pria idaman.
Tak lain dari wanita berpakaian burgundi yang segera mendekati pamannya. Wanita itu adalah Felicia Bernz, seorang CEO sekaligus ahli waris dari perusahaan mobil terbesar di negeri ini.
Wanita itu mengucapkan kata-kata manis nan elegan saat berbicara pada pamannya.
Namun hanya dia yang tahu, wanita yang satu ini hanya berpura-pura dihadapan pamannya. Dia sangat tahu sikap wanita ini tidak selembut atau seanggun seperti yang saat ini ditunjukkannya.
Dia pernah merasa tergoda untuk memberitahukan pamannya mengenai sifat asli wanita itu; hanya gara-gara dia sudah merasa jengkel dengan sifat arogan wanita itu padanya.
Tapi dia mengurungkan niatnya. Lagipula, dia tahu pamannya bukanlah pria yang bodoh; dan lagi hubungan mereka berdua sama sekali bukan urusannya.
Tidak lama kemudian, Cathy melihat Felicia melambaikan tangannya pada seseorang. Pamannya mengikuti arah tatapan Felicia dan wajahnya terpasang ekspresi terkejut.
Secara reflek, Cathy juga mengikuti arah pandangan pamannya. Disana dia melihat seorang pemuda yang pernah ia temui sebelumnya.
Saat itu juga hatinya melonjak girang mengetahui salah satu karyawan V collection hadir ke acara ini; persis sesuai dengan harapannya.
Apakah kini keberuntungannya memihaknya? Tidak. Di dunia ini tidak bisa hanya mengandalkan keberuntungan saja. Selain kerja keras dan kepintaran, dia juga harus berdoa pada yang di atas.
Dia memutuskan, mulai hari ini dia akan berdoa terlebih dahulu sebelum memulai pekerjaannya.