Chapter 4 - Momen Indah

Vincent sedang sibuk melakukan proses pencucian dan pencetakan foto hasil karyanya. Ruangannya sangat gelap tanpa cahaya apapun. Dia menggunakan kacamata khusus yang membantunya tetap bisa melihat dengan jelas dalam kegelapan.

Saat mencapai ke tahap terakhir, Vincent mendengar ketukan sebanyak tiga kali pada pintunya.

"Tunggu sebentar." sahut Vincent pada siapapun yang mengetuk pintunya.

Vincent membilas foto terakhir dengan air hingga bersih sebelum mengambilnya dengan pinset dan menjepitnya ditali yang diikatkan sejajar dari sisi kiri dinding hingga sisi kanan.

Setelah menghitung foto yang berderetan di tali telah sesuai apa yang dikerjakannya, Vincent mengambil kelima baskom yang berisi air dan larutan kimia, membuang isinya ke wastafel.

Barulah dia membuka pintu dan keluar dari ruangan itu. Begitu dia menutup pintu ruangan studionya, dia melihat kakak perempuannya tersenyum aneh padanya.

"Ada apa?"

"Ayo ikut aku."

Vincent mendesah pasrah dan membiarkan kakaknya menarik tangannya menuju ke ruang keluarga. Disana dia melihat ibunya duduk dengan santai sambil meminum teh hangat.

Saat ibunya melihat kehadirannya, beliau meletakkan kembali cangkir teh miliknya dan tersenyum padanya dengan penuh semangat. Ada yang mengganjal dengan perilaku ibu dan saudarinya. Sayangnya, Vincent sama sekali tidak tahu apa yang dipikirkan kedua wanita itu.

Makin dia mendekat dengan ibunya, dia melihat ada banyak foto berjejer di atas mejanya. Hobi kesukaannya adalah menjepret sesuatu yang menarik perhatiannya dengan kamera analog kesayangannya.

Kemudian dia akan mencuci dan mencetak hasil karyanya sendiri. Dia bahkan memiliki galeri studio sendiri di suatu tempat. Meskipun tidak besar ataupun terkenal, dia cukup merasa puas hasil karya bisa dinikmati dan membuat para pengunjung senang.

Karena itu, tiap kali dia melihat sebuah foto dia akan langsung tertarik pada gambar terpampang di foto tersebut. Jika gambar tersebut adalah sebuah pemandangan, dia akan mencari tahu lokasi tempat itu hanya untuk mengambil gambarnya dengan kedua tangannya sendiri.

Hanya saja kali ini, alisnya berkedut melihat foto-foto tersebut. Untuk pertama kalinya sepanjang hidupnya bersama dengan kamera analog miliknya, dia merasa ngeri melihat sebuah foto... sepuluh foto setelah dia menghitung keseluruhannya.

Bagaimana tidak? Tidak ada satupun foto yang menggambarkan pemandangan, atau keluarga bahagia, atau siluet mengenai matahari terbit ataupun terbenam. Tidak ada satupun gambar yang menunjukkan kesukaannya.

Melainkan kesepuluh foto tersebut adalah foto seorang gadis yang berbeda-beda. Sebagian besar dia hampir mengenal mereka, tapi tubuhnya bergidik melihat kesepuluh foto tersebut.

Sepertinya dia tahu ke arah mana kakak dan ibunya membawa topik pembicaraan mereka.

"Jadi, coba kau lihat dan beritahu kami mana saja yang kau suka." ucap ibunya.

"Ma, bukankah kita sudah membicarakan ini? Aku masih belum mau menikah."

"Omong kosong.. kau sudah berusia tiga puluh dua sekarang, sampai kapan kau mau membiarkan mama hidup tanpa cucu."

"Bagaimana dengan Abigail?"

"Maksud mama, dia ingin melihat cucu laki darimu." sambung kakaknya.

"Kalau begitu kakak berikan adik baru untuk Abi."

Vanessa memukul pundak adiknya tidak dengan keras.

"Aw... sakit."

Vanessa hanya memutar kedua bola matanya melihat tingkah laku adiknya yang berlebih. Akhirnya Vanessa menarik tubuh adiknya dan memaksanya duduk disampingnya... lebih tepatnya berhadapan dengan kesepuluh foto diatas meja.

"Bagaimana yang ini? Bukankah dia cantik. Kau kan sudah mengenalnya sepanjang umur hidupmu." Ujar Vanessa dengan nada membujuk sambil mengambil foto pertama.

"Justru karena aku sudah sangat mengenalnya, aku tidak mau bersamanya."

"Kenapa?" kali ini ibunya yang bertanya.

"Dia sangat galak. Aku tidak mau menghabiskan seumur hidupku bersama macan betina."

Ibunya merasa kesal mendengar julukan tersebut sementara Vanessa berusaha menahan tawa gelinya. Bagaimana mungkin ibu mereka bisa mengetahui kalau putranya menjuluki sahabatnya sebagai macan betina.

Dia sudah sering mendengar julukan itu dari mulut adiknya saat menyapa sahabatnya. Dan tampaknya wanita itupun tidak keberatan.

Karena itu Vanessa tidak memaksa karena dia tahu hubungan keduanya tidak mungkin melebihi dari sahabat.

"Bagaimana kalau yang ini?" ucap ibunya sambil menunjukkan foto kedua.

"Matanya terlalu sipit. Aku tidak akan pernah bisa menebak apakah dia sedang tertidur atau terbangun."

Reaksi yang sama seperti sebelumnya, ibunya berusaha menahan kejengkelannya, sementara kakaknya nyaris tidak bisa menahan tawanya.

"Yang ini?"

"Matanya terlalu tajam. Aku tidak mau tinggal dengan diktator."

"Ini?"

"Dia memiliki terlalu banyak saudari perempuan."

"Apa hubungannya..."

"Ma, mama tidak ingin aku dibandingkan dengan pasangan saudara iparku kan?"

Yang membuat Vanessa tertawa adalah cara adiknya menanyakannya dengan nada sepolos mungkin dan pertanyaannya tidak bisa dibantah oleh ibunya.

Karena itu mereka hanya melanjutkan foto berikutnya dan berikutnya. Ajaibnya, Vincent selalu berhasil menemukan alasan untuk menolak semua foto yang diajukannya.

Entah badannya yang terlalu kurus, atau badannya bisa mudah gemuk, atau semacam lainnya. Vincent selalu berhasil menemukan celah kelemahan di tiap-tiap wanita yang ada di foto tersebut.

"Ini yang terakhir. Dia putri rekan bisnis papa, anak tunggal dan cantik. Dia termasuk istri idaman semua pria menurut voting majalah selebriti. Bagaimana? Dia sempurna kan?"

"Tidak. Jika dia anak tunggal bukankah berarti dia sangat dimanja? Tidak, tidak, aku tidak ingin tinggal bersama...."

Belum selesai bicara, ibunya bangkit berdiri dengan jengkel.

"Jangan bicara dengan ibu lagi sebelum kamu membawa seorang wanita ke rumah ini. Hmph!"

Mulut Vincent dan Vanessa menganga lebar melihat tingkah laku ibu mereka. Tingkahnya seperti anak kecil yang merengek untuk dibelikan sebuah mainan. Saat tidak dikabulkan, dia akan merajuk.

"Apakah mama mengalami pubertas lagi? Aw..." sekali lagi Vincent mendapatkan pukulan tidak keras pada pundaknya.

Meskipun dia sama sekali tidak merasakan sakit, tapi dia tetap bereaksi seperti sedang kesakitan saat dipukul. Itu sudah menjadi kebiasaannya semenjak kecil.

"Kau ini. Mama berusaha mengumpulkan semua foto ini demi dirimu, tapi kau malah selalu saja mencari kelemahan mereka. Kau tidak tahu apa isi hati mama, itu sebabnya kau tidak tahu kenapa mama ingin segera membuatmu menikah."

"Memangnya ada apa? Apakah mama sakit?" tiba-tiba saja mata Vincent terpancar kegelisahan dan kekhawatiran akan ibunya.

"Bukan. Akhir-akhir ini banyak rumor yang beredar mengenaimu. Ada yang bilang kau... kau tidak menyukai wanita."

"Huh? Jadi kalian beranggapan aku ini homo?"

"Kami tidak. Tapi mereka iya. Zaman sekarang, banyak pria seusiamu sudah pernah menjalin hubungan setidaknya satu atau dua kali, sedangkan kau... Kau sama sekali tidak pernah menjalin hubungan dengan seseorang. Tentu saja mereka beranggapan kau penyuka sesama jenis."

"Aku tidak peduli. Yang penting kan keluargaku tahu aku tidak seperti itu."

Vanessa mendesah, "Tapi apa yang dikatakan mama ada benarnya. Mama sudah tidak muda lagi. Meskipun aku sudah memberikannya cucu, dia pasti ingin melihat anakmu. Mumpung beliau masih sehat, sebaiknya kau temukan calon pendampingmu. Bagaimana kalau kau pilih dari salah satu foto ini?"

"...."

"Lagipula kau juga sudah mengenal mereka."

"Aku mengenal mereka karena mama yang mempertemukanku dengan mereka. Lagipula, meskipun aku tidak mengenal mereka, aku tidak mungkin langsung menyukai orang melalui foto saja kan?"

Vincent termenung mengingat kalimat terakhir ibunya.

"Apa mama benar-benar tidak mau bicara denganku?"

Vanessa tersenyum. "Tidak mungkin. Nanti malam hatinya pasti akan melunak."

Vincent tersenyum sedih kemudian memutuskan keluar.

"Mau kemana?"

"Jalan-jalan di taman."

Maksudnya jalan-jalan di taman versi Vincent adalah menjepret beberapa foto lain.

Tiap sepuluh langka, Vincent akan berhenti untuk mengambil foto. Dari sepasang burung yang sedang bertengger di atas pohon hingga sepasang suami istri yang sudah tua berjalan sambil bergandeng tangan.

Vincent melihat kakek nenek tersebut sambil tersenyum. Adegan favoritnya adalah melihat sebuah keluarga yang hangat, terlebih lagi pasangan suami istri yang masih saling mengasihi hingga lanjut usia.

Vincent sendiri bertumbuh didalam keluarga yang harmonis. Ayah dan ibunya menyayangi kedua anaknya dengan sama rata. Namun karena dia adalah seorang pria, maka ayahnya akan menuntut lebih banyak darinya mengenai pekerjaan.

Tentu saja ayahnya ingin dia mewarisi usaha keluarga, namun untuk saat ini.. dia ingin hidup bebas. Dia masih ingin menekuni hobinya dan mengenai usaha keluarga.. dia akan meneruskannya bila waktunya nanti.

Setelah satu jam berjalan, Vincent tiba di sebuah taman. Vincent tersenyum bersemangat.

Karena ini adalah hari Minggu, jadi pasti banyak orang.. keluarga yang datang untuk berpiknik.

Dia segera mengangkat kamera miliknya dan dengan hati-hati mengambil sebuah foto yang memuaskan.

Ada anak remaja yang bermain bersama anjing peliharaannya, ada juga seorang anak kecil bermain ayunan bersama kedua orangtuanya.

Vincent tidak melewatkan detail sekecil apapun dari apa yang dilihatnya. Dia memilih titik pencahayaan terbaik untuk mengambil sebuah gambar yang sempurna baginya.

Kemudian dia mendengar suara beberapa anak perempuan tertawa. Dia menoleh ke arah suara tersebut; dia melihat ada empat gadis sedang duduk di rerumputan beralaskan kain lebar.

Dua diantaranya memiliki wajah yang sama menandakan mereka adalah saudara kembar. Tidak biasanya ada anak remaja berpiknik bersama teman-temannya. Hal yang unik dan istimewa.

Karena itu dia mengambil foto mereka berempat. Dengan keahliannya, dia tidak mengambil wajah mereka. Dia tahu tidak semua orang suka bila gambarnya diambil secara diam-diam.

Karena itu tiap kali dia mengambil gambar orang, dia tidak akan mengambil wajahnya. Dia akan menyamarkan wajah mereka dengan bantuan cahaya matahari atau memotret punggung atau setengah badan ke bawah dari leher.

Biasanya dia memotret dua orang untuk memaksimalkan hasil potretnya. Tapi kali ini dia ingin memotret keempat gadis itu sekaligus.

Dengan sabar dia menunggu waktu setelah mengatur fokus kameranya.

Salah satu gadis menengadahkan wajahnya ke langit sambil memejamkan mata, gadis lainnya memasukkan kembali sisa-sisa makanan ke dalam kotak makanan. Saat melakukannya, rambutnya terjatuh kesamping menutupi wajahnya. Hanya hidungnya yang terlihat.

Sementara si kembar sedang asyik membaca sebuah buku. Salah satunya duduk dengan kaki terjulur lurus ke depan. Kembar yang lain terbaring dengan meletakkan kepalanya diatas kaki saudara kembarnya sambil menaruh buku diatas kepalanya.

Saat itu pulalah terdengar bunyi jepretan halus pada kameranya. Vincent merasa heran dengan apa yang dilihatnya. Ada yang membuatnya tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari keempat gadis itu, namun dia tidak tahu alasannya.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari langit dan awan mulai menggelap. Vincent segera memasukkan kameranya kedalam tasnya yang anti air. Dia juga bisa melihat salah satu gadis tersebut terburu-buru merapihkan alat makanan mereka.

Melihat dari perlakuan gadis tersebut, Vincent menduga gadis itu adalah pimpinan mereka. Anehnya, ketiga gadis yang diberi perintah oleh pimpinannya segera menurut dan mengikuti tiap arahan sang pemimpin.

Tepat saat itulah dia merasakan air terjatuh di pipinya. Tidak lama kemudian hujan turun dan banyak orang berlari mencari tempat teduh.

Ada yang langsung menuju ke tempat parkir, masuk ke mobil dan langsung pergi; ada juga yang berteduh di depan sebuah supermarket.

Vincent sama sekali tidak menyangka keempat gadis tersebut memilih tempat berteduh yang sama dengan dirinya.

Kini dia bisa melihat wajah mereka dengan lebih jelas. Meskipun ada perbedaan, tapi mereka memiliki kemiripan yang tak terelakkan. Apakah mungkin..?

Belum sempat Vincent menemukan jawabannya, dia melihat gadis pemimpin memeriksa satu persatu ketiga gadis tersebut.

Dia memastikan mereka tidak kebasahan karena air hujan. Sayangnya, hujan langsung turun dengan deras membuat semua orang tidak bisa lolos dari air hujan.

Vincent melihat dia memberikan satu kain besar yang kering pada si kembar. Setelah memastikan keduanya tertutup dengan kain tersebut dia memberikan kain yang lebih kecil namun cukup untuk menutupi tubuh satu orang pada gadis lainnya.

Semula Vincent tidak mengerti tindakan gadis itu, namun saat dia merasakan angin kencang dan tubuhnya mulai menggigil pelan karena kedinginan, barulah dia mengerti.

Gadis itu tidak ingin ketiga gadis lainnya kedinginan.

"Bagaimana dengan kakak?"

Dia mendengar gadis yang berselimutkan satu kain bertanya pada sang pemimpin.

Kakak? Ternyata benar. Mereka bukan teman ataupun sahabat. Mereka adalah saudara. Seharusnya dia sudah menduganya dari awal melihat kemiripan mereka.

"Tidak ada kain lagi. Lagipula aku tidak akan jatuh sakit hanya karena ini."

"Tapi.."

"Kesehatan kalian lebih penting."

Kemudian, Vincent melihat ketiga gadis lainnya mengerumuni kakak tertua mereka. Mereka bertiga menyelimuti tubuh sang kakak dengan tubuh mereka.

Dia melihat mereka berempat tertawa bersama dan saling mengobrol sambil menunggu hujam reda.

Sebuah momen yang indah antara persaudaraan. Bagaimana mungkin dia bisa melewatkannya? Tidak peduli apakah cahayanya bagus atau tidak; cuaca yang buruk atau bagus; tanpa ragu Vincent mengambil kameranya dan mengambil momen hangat mereka masuk kedalam kameranya.

Akhirnya setelah menunggu sepuluh menit, hujan berhenti dan awan gelap pergi secara perlahan. Saat itulah sebuah pelangi muncul di atas langit.

Semua orang mengambil masing-masing ponselnya untuk memotret pelangi indah tersebut.

Biasanya pelangi yang muncul berupa warna yang kabur atau tidak jelas. Tapi kali ini pelangi itu menunjukkan warna yang terang dalam ukuran yang besar.

Sepertinya ini pertama kalinya dia melihat pelangi yang seperti itu.

Sebagai fotografer, tentu saja Vincent segera mengambil gambar pelangi tersebut dengan keahliannya.

Hari ini dia telah mengambil banyak gambar yang berharga dan dia cukup puas dengan karyanya, meskipun dia belum melihat hasilnya. Dia ingin segera pulang untuk mencetak film kameranya. Dia sudah tidak sabar melihat momen apa saja yang ditangkap kameranya.

Secara refleks dia menoleh kearah empat saudari yang juga ikut tertawa. Tidak. Tiga diantaranya memang memandang takjub fenomena diatas langit. Sedangkan yang tertua...

Dia sama sekali tidak mengerti, bagaimana bisa seseorang yang sebelumnya menunjukkan sikap yang hangat dengan senyuman lembut; kini menatap kearah langit dengan tatapan dingin. Senyuman yang sebelumnya hangat bahkan menghilang tak berbekas.

Apa yang membuat gadis itu tidak menyukai kemunculan pelangi?