Cathy melihat-lihat brosur perumahan. Dia berencana secepat mungkin untuk pindah dari rumah pamannya. Sayangnya, tidak peduli seberapa keras dia mencari, tidak ada satupun rumah kontrakan yang sesuai dengan anggarannya.
Terlebih lagi setelah dia menghitung biaya tambahan seperti listrik dan air, dia harus berpikir ulang untuk keluar dari perwalian pamannya.
Jika seandainya, pamannya bersedia meluangkan waktu untuk menghabiskan waktu bersama mereka, mungkin akan lebih mudah menerima bantuan pria tersebut.
Rasa hutang budinya akan sedikit berkurang jika seandainya diantara mereka ada hubungan kasih keluarga.
Namun, pria itu tidak pernah pulang rumah dan selalu berpergian keluar kota. Cathy sendiripun sudah mulai tidak ingat seperti apa rupa pamannya.
Terakhir kali mereka bertatap muka saat dia berusia sebelas tahun. Selebihnya mereka hanya mengobrol melalui telepon rumah.
Jika seandainya adik-adiknya bertemu Paman Ben diluar, pastilah mereka tidak akan saling mengenal.
Di rumah inipun tidak ada satupun foto yang terpasang. Baik foto ayahnya, ataupun orangtua dari ayahnya. Rumah ini terkesan kosong tak berpenghuni.
Cathy tidak membuat perubahan drastis pada rumah itu, hanya saja dia menghiasi kamarnya dan adik-adiknya dengan foto mereka. Foto kedua orangtuanyapun dipasangnya didalam kamar adiknya.
Sayangnya, dia hanya memiliki satu foto saja yang merupakan hari pernikahan kedua orangtuanya. Itupun dia dapatkan setelah dia terus-menerus memintanya pada pamannya.
Tampaknya paman Ben memiliki kepahitan terhadap keluarganya sehingga menolak memasang foto apapun didalam rumahnya sendiri.
Yah, itu bukan urusannya. Dia tidak akan ikut campur dalam kehidupan pribadi pamannya. Lain cerita jika menyangkut ketiga adik perempuannya.
Meskipun adik-adiknya tidak ingat akan ayah ibunya, Cathy tidak ingin mereka tidak mengetahui seperti apa rupa kedua orangtuanya. Karena itulah dia memohon pada pamannya untuk memberikannya foto kedua orangtuanya selama berhari-hari.
Selesai mandi air hangat, Cathy berbaring di ranjangnya sambil menatap atap kamarnya. Dia memikirkan keadaan ayahnya di rumah sakit.
Sebulan sekali dia akan pergi ke rumah sakit menjenguk ayahnya. Seperti biasa ayahnya tidak mengenali dirinya dan mengusirnya.
Dia ingin membawa adik-adiknya menemui ayahnya; disaat yang sama dia tidak ingin adik-adiknya merasa sedih dengan kondisi sang ayah saat ini.
Dia bertanya-tanya apakah ayahnya akan tetap seperti itu ataukah... Entah kenapa Cathy tidak merasa menanti-nantikan kesembuhan ayahnya.
Dia tidak merasa senang ataupun sedih melihat kondisi ayahnya. Sama seperti pamannya, ayahnya bagaikan sosok asing baginya. Khususnya bagi adik-adiknya. Mereka tidak pernah melihat sosok seorang ayah mendampingi mereka.
Sedangkan dirinya... dia pernah merasakan dukungan, perlindungan dan bimbingan dari ayahnya. Hanya saja dia sudah tidak bisa mengingat kenangan indah bersama ayahnya. Satu-satunya hal yang paling diingatnya bahkan muncul dalam mimpinya adalah disaat dia menerima tamparan keras di pipinya.
Sejak saat itu dia tidak bisa merasakan kasih ayahnya. Dia bingung, sedih, kecewa tapi tidak pernah membenci ayahnya.. Tapi dia juga tidak merasa dia memiliki seorang ayah. Sosok pria tua yang dirawat di rumah sakit bagaikan orang asing baginya.
Tapi dia tahu.. di hati kecilnya, dia berharap ayahnya sembuh. Di dalam lubuk hatinya, dia ingin kembali ke masa-masa indah. Tidak... meskipun dia tidak bisa kembali karena penyakitnya, setidaknya dia ingin adik-adiknya bisa merasakan rasanya memiliki seorang ayah.
Dia memejamkan kedua matanya dan kenangan lama yang terpendam muncul dipikirannya.
"Papa, apa itu?"
"Itu adalah pelangi."
"Pelangi? Kenapa punya banyak warna?"
"Coba kamu hitung ada berapa warna disana?"
Cathy yang berusia lima tahun baru saja belajar angka disekolahnya berusaha mengingat angka-angka yang dihapalnya.
"Satu..dua..tiga..lima..enam..tujuh.." terhenti, "..sepuluh." seru Cathy dengan penuh yakin.
Suara tawa renyah terdengar di telinga Cathy. Sepanjang ingatannya, itu adalah pertama kalinya dia melihat ayahnya tertawa.
"Cathy, setelah angka tiga adalah empat, bukan lima. Dan setelah tujuh adalah delapan. Nah, ayo coba sekali lagi."
"Satu,dua,tiga,empat,tujuh,delapan,sepuluh!" seru Cathy yakin dirinya sudah benar kali ini.
"Hmm.. masih bukan. Coba lagi." ucap ayahnya dengan lembut.
"Satu,dua,tiga,empat,tujuh.."
"Lima.." bisik ayahnya.
"Lima," ulang Cathy, "Enam, tujuh?"
"Benar sekali. Putri papa memang sangat pintar." puji ayahnya membuatnya tersenyum senang.
"Pelangi.. Cathy sangat suka pelangi."
"Kenapa?"
Cathy hanya menjawabnya dengan senyuman khasnya.
Kalau diingat-ingat kembali, kenapa dirinya menyukai pelangi waktu itu? Cathy sama sekali tidak tahu jawabannya.
Yang pasti tiap kali dia melihat pelangi di langit, suasana hatinya langsung muram. Namun disaat dia ingin melihat sebuah pelangi dan merasa yakin dia tidak akan muram saat melihatnya, pelangi tersebut tidak pernah muncul.
Pada akhirnya, rasa ketidak sukanya pada pelangi semakin besar. Dia juga sudah tidak pernah berharap lagi untuk melihat pelangi.
Tepat sebelum dia tertidur pulas, suara ketukan pintu terdengar.
Cathy membuka pintu kamarnya; merasa bingung saat melihat ketiga adiknya muncul didepannya dengan membawa guling milik mereka.
Hari apa ini? Oh, hari Sabtu.
Tiap hari Sabtu, mereka berempat akan tidur bersama di kamar Cathy. Mereka akan saling mengobrol hingga larut malam atau bermain kartu hingga esok paginya.
Karena sudah kebiasaan rutin, mereka tidak bisa kalau tidak tidur bersama di hari Sabtu.
-
Keesokan paginya, hanya Anna yang sudah bangun dan berjalan secara perlahan keluar kamar. Kalau dalam hal siapa yang bisa bangun lebih pagi, Anna adalah sang juara. Baik Cathy maupun si kembar lebih suka tidur lebih lama jika hari libur.
Kalau hari biasa, Cathy dan Anna bisa bersaing untuk bangun pagi lebih cepat. Tapi secara rata-rata, Anna tetaplah memegang rekor juara.
Tumbuh dewasa dibawah naungan kakaknya, ada satu hal yang dia pelajari dari karakter kakaknya.
Kakaknya tidak pernah minta bantuan ataupun berkeluh kesah mengenai masalahnya. Tapi dia selalu siap membantu bila adik-adiknya membutuhkannya. Tidak hanya itu, dia sadar kakaknya akan selalu berada disisi mereka tanpa memperdulikan kesehatannya sendiri.
Jika tidak ada yang memperhatikan kakaknya, maka dia yang akan peduli pada kakaknya. Tiap pagi dia akan membantu di dapur untuk menyiapkan sarapan kakaknya. Dia juga menyiapkan bekal untuk kakaknya dan si kembar.
Meskipun bantuannya hanya sedikit, setidaknya dia bisa membantu menjaga kesehatan kakak tersayangnya.
Semula Cathy menyuruhnya untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu. Mengenai pekerjaan menyiapkan sarapan atau bekal, seharusnya dia menyerahkan pembantu untuk mengerjakannya.
Khusus hal ini saja Anna tidak mendengarkan kakaknya. Memang benar, pembantu mereka bisa menyiapkan bekal mereka. Tapi ada kalanya mereka mengurangi daging atau sayur mereka. Karena itu, dia yang menyiapkannya sendiri dengan memberikan daging, ikan, dan sayuran untuk memenuhi asupan gizi saudari-saudarinya.
Dalam hal ini dia memiliki sifat sama persis dengan Cathy. Tidak bisa menyerahkan tugas ini pada sembarang orang. Lebih tepatnya, dia tidak bisa kalau bukan dirinya yang melakukannya.
Karena hari ini adalah hari Minggu, mereka akan pergi berpiknik di luar; salah satu rutinitas mereka tiap minggu.
Dengan bantuan pembantu keluarga, Anna selesai membungkus makanan ke dalam kotak bekal makan tepat waktu. Dia juga telah menyiapkan sarapan di atas meja makan dengan sempurna... seperti biasa.
Setelah memastikan tidak ada yang salah dengan sarapan mereka, Anna kembali ke kamar untuk membangunkan saudari-saudarinya.
Persis yang diduganya, kakaknya sudah bangun dan sedang mandi. Jadi dia berbaring kembali disamping salah satu si kembar untuk memejamkan matanya selama beberapa menit.
Tidak lama kemudian, Cathy masuk kedalam kamar sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk.
Dia tersenyum saat melihat Anna kembali ke ranjang. Cathy membiarkan si kembar tidur lebih lama lagi dan menuju ke meja riasnya.
Disaat ponselnya berdering, Cathy segera berlari untuk mengangkat ponselnya. Meskipun telah diterima, Cathy masih tidak bicara. Dia berjalan keluar kamar secara perlahan untuk tidak membangunkan si kembar.
Mengetahui tingkah laku kakaknya, Anna tersenyum. Kakak sulungnya terlalu memanjakan adik-adiknya.
Begitu menjauh dari kamar, barulah Cathy menyapa orang diseberang.
"Cathy, kenapa lama sekali baru bicara. Aku kira ada masalah dengan sinyalku."
"Ada apa?" tanya Cathy tidak ingin berbasa-basi.
"Hari ini ada orang yang memesan tempat ini untuk acara. Jadi pasti akan ramai lagi seperti kemarin. Hanya saja, jauh lebih ramai dari kemarin. Bisa datang hari ini?"
"Sekarang hari Minggu."
"Jadi?"
"Maaf, aku tidak bisa datang."
"Manajer juga bilang kalau kau datang hari ini, dia akan memberikan gaji dua kali lipat."
"Apa dia mengatakan sesuatu kalau aku tidak datang?"
"Eh? Sepertinya tidak."
"Baiklah. Aku tetap tidak akan datang."
"Huh?"
"Hari ini aku ada acara sangat penting. Jadi sampaikan maafku pada manajer." tanpa menunggu balasan, Cathy segera menutup ponselnya.
Dia mulai tidak suka bekerja disana. Tidak hanya manajernya mulai berani menekan jam waktu kerjanya, ada beberapa orang bersekongkol menjatuhkannya.
Cepat atau lambat dia akan menghadapi masalah yang bahkan dirinya tidak akan bisa pecahkan. Tidak.. sebenarnya dia sudah mulai masuk ke dalam zona berbahaya. Lebih baik dia segera mengundurkan diri dan melamar di pekerjaan lain.
Sebenarnya dia bisa saja melamar di sebuah perusahaan besar, tapi... Dia tidak ingin terikat kontrak yang mengharuskan dirinya untuk bekerja sesuai peraturan.
Dia tidak ingin terikat dengan apapun di dunia ini selain adik-adiknya.
'Sudah punya kekasih?'
'Kapan menikah?'
'Usiamu sudah tidak muda lagi. Lebih baik segera menikah.'
Sudah sangat sering dia mendengar berbagai macam kalimat yang melibatkan pernikahan. Menikah? Tentu saja dia ingin menikah. Tapi dia tidak ingin menikah dengan seseorang yang tidak bisa menyayangi keluarga.
Ayahnya melupakan keluarganya, melupakan putri-putrinya begitu ibunya meninggal. Pamannya tampak tidak begitu peduli dengan keluarganya dan tidak pernah muncul.
Manajernya yang paling buruk. Sudah memiliki istri tapi selalu mencari keuntungan pada para pegawai wanita.
Beberapa rekan kerjanya direstoran juga tidak memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya.
Dia ingin menemukan seorang pria yang sepenuh hati menyayangi dan memperlakukan keluarganya dengan baik. Bila pria itu tidak bisa menyayangi keluarganya, bagaimana dia bisa menyayangi adik-adiknya?
Dia ingin menemukan seorang pria yang bisa dia andalkan. Dia tidak harus kaya, tapi setidaknya rela berkorban demi keluarga dan tidak akan melampiaskan tekanan pekerjaan pada keluarga.
Pria itu harus bisa menahan emosi tidak peduli seburuk apa masalah yang dihadapinya. Yang paling penting, pria itu harus bisa membuatnya yakin bahwa dirinya bisa menyerahkan diri sepenuhnya pada pria itu.
Tapi, pria sesempurna itu.. tidak mungkin ada di dunia ini. Karena itu, dia memutuskan untuk tidak menikah.
Cathy berbalik dan berjalan kembali ke kamarnya melewati koridor dengan bebeberapa jendela disisi kirinya.
Sekilas, matanya menangkap sebuah cahaya diluar jendela. Karena tertarik dengan asal cahaya tersebut, Cathy berhenti untuk melihat lebih jelas.
Disana dia melihat seseorang menyirami tanaman dengan semprotan air dari selang yang terhubung dengan keran. Saat itu pula dia melihat pelangi di air yang keluar dari semprotan.
Kenapa? Disaat dia tidak ingin melihatnya, kenapa pelangi itu muncul dihadapannya? Seolah-olah pelangi itu tahu akan suasana hatinya dan sengaja muncul untuk menghinanya.
Sebenarnya dia sudah tahu alasan kenapa suasana hatinya memburuk begitu melihat pelangi, hanya saja dia masih tidak mau mengakuinya.
Bahkan disaat suasana hatinya sangat baik dan ingin melihat pelangipun, dia tidak yakin apakah suasana hatinya tetap tidak berubah ataukah semakin memburuk?
Cathy memalingkan wajahnya tidak ingin melihatnya lebih lama lagi. Hari ini adalah harinya bersama dengan adik-adiknya. Dia tidak ingin keceriaan diantara mereka memburuk hanya gara-gara ketidaksukaannya pada pelangi.