Lucy menceritakan itu dengan mata yang terpendam oleh air matanya sendiri. Dia seperti tidak kuat akan sesuatu, sesuatu yang memberatkan dirinya.
"Jadi... mereka semua salah?" Tanyaku.
"Iya. Aku cuma tidak ingin Shely jadi sepertiku, karena cepat atau lambat, berita palsu pasti akan menyebar."
"Yah... kau benar."
Gosip atau hoax, adalah sesuatu yang di dengar oleh orang bodoh, lalu di sebarkan oleh orang tolol, dan di terima oleh orang yang sok tahu, sampai pada akhirnya, berita palsu itu akan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Apa yang lebih cepat dari kecepatan cahaya? Yaitu orang bodoh yang menyebarkan berita bohong. Untung saja tidak ada media sosial di dunia ini.
"Jadi... kenapa rumahmu berantakan?" Tanyaku lagi.
Lucy memalingkan wajahnya saat aku bertanya itu, "Kau tidak perlu tahu."
"Begitu ya? Aku pikir kau tidak mungkin kalah lalu menangis, karena monster sepertimu tidak mungkin menangis hanya karena di hajar oleh Manusia." Kataku dengan sedikit bercanda, walaupun kata 'monster' yang tadi aku ucapkan itu tidak bercanda.
"Kau menghinaku?" Dia melihatku dan tersenyum. "Tidak usah di pikirkan! Aku baik-baik saja." Dia lalu menyentuh luka lebam di wajahnya. "Lihat! Sudah sembuh."
"Iya. Kau benar." Aku berdiri dan berkata, "Kalau begitu, aku permisi dulu. Aku sedang mencari seseorang."
Lucy hanya mengangguk lemas.
Aku keluar dari rumahnya dan berdiri di depan pintu rumahnya sambil mendengarkan beberapa orang berbicara didepan sana.
"Para preman itu menganggu gadis cantik itu lagi ya?" Seorang kakek berumur kurang lebih 60 tahun mengatakan itu dengan kasihan.
"Iya, parah sekali, katanya wajah gadis itu di pukul oleh kayu berukuran besar." Whoa! Kenapa wanita itu manis sekali? Apa dia itu janda muda atau semacamnya?.
"Bukan itu saja, mereka juga mengambil banyak Gold. Mereka selalu melakukan itu setiap minggu." Seorang pria paruh baya mengatakan itu dengan sedikit marah.
Lucy. Apa yang mereka maksud itu Lucy?.
Aku berjalan mendekati salah satu dari mereka, atau lebih tepatnya, aku mendekati Ibu-Ibu manis yang ikut berbicara di sana.
"Umm... permisi." Kataku.
Ibu-ibu manis itu melihatku, "Ada apa, anak muda?"
"Siapa orang yang jadi korban dan siapa tersangkanya?" Tanyaku.
"Aku tidak tahu siapa nama korbannya, tapi dia temanmu, kan? Kau kan baru saja keluar dari rumahnya. Apa dia tidak memberitahumu?"
"Yah..." Aku menggaruk belakang kepalaku. "... Dia agak pendiam."
Ibu manis itu menghembuskan napasnya, "Kau memang benar, aku bahkan belum pernah melihatnya berbicara dengan tetangganya."
"Lalu... siapa penjahatnya?"
"Siti, Niko, dan tiga orang lainnya."
"Apa salah satu dari mereka memiliki rambut mohawk pink?"
Ibu manis itu mengangguk.
"Begitu? Makasih." Aku langsung berbalik dan berjalan menuju kemana orang-orang tadi pergi.
"Kau mau kemana, anak muda?"
"Aku akan menghajar mereka semua."
"Tunggu! Mereka itu petualang elit, kau tidak mungkin bisa..."
"Walapun aku bukan elit," Aku mengatakan itu sambil berjalan menjauh dari Ibu manis itu. "...tapi aku juga petualang, dan aku pastikan aku akan menang."
"Ha-Hati-hati."
"Yah... tidak perlu khawatir."
Sudah lama sekali aku ingin beraksi sok keren begitu. Aku harap akan datang beberapa scene keren lagi dalam hidupku di dunia ini. Nyahahahahaha~.
***
Aku menemukan mereka. Mereka sedang duduk santai di warung kopi? Apa itu benar warung kopi?.
Yah... mereka sedang duduk-duduk santai sambil meminum kopi mereka, dan sesekali mereka tertawa karena lelucon yang mereka buat. Tenang saja! Aku pastikan mereka tidak akan tertawa seperti itu lagi.
Aku penasaran, apa Kakaknya Shely belum pernah menghajar mereka.
"WOI!!!" Teriakku dengan lantang.
Serentak, mereka semua melihatku. Mata mereka melihatku dengan tajam.
Mungkin dia yang namanya Siti, hanya dia saja yang tersenyum sombong padaku.
Orang besar berambut pink itu berdiri dan berjalan kearahku dengan kasar, "Kau... aku ingat kau. Bukankah aku sudah mengatakan padamu, kalau aku tidak mau melihatmu lagi?"
"Iya. Tapi itu tidak bisa aku lakukan."
Dia tertawa keras dibarengi teman-temannya, lalu melihatku dengan sinis dari atas, "Kau sudah membuat dua kesalahan. Satu, kau menunjukan wajahmu padaku lagi, kedua... kau baru saja menghentikan tawa kami."
Aku tersenyum mendengar itu. Aku tersenyum, karena aku akan mengatakan hal keren lagi.
"Tenang saja! Kalian tidak akan tertawa seperti itu lagi setelah ini, dan kalian tidak akan mau bertemu denganku lagi. Atau... kalian tidak akan bertemu denganku... lagi."