Aku tidak mengerti dengan adat desa ini, padahal kan bisa lebih mudah menggunakan sihir, dari pada harus melakukan semuanya menggunakan tenaga atau semacamnya. Maksudku.. sihir bahkan bisa menambah sumber daya alam. Seperti batu bara atau bahkan api yang tidak perlu lagi menggunakan gas alam untuk menyala.
"Jadi," Kataku, "Itu sebabnya kau tidak mau menggunakan sihir, bahkan saat rakyatmu sekarat?" Entah apa yang dipikirkan orang ini.
Aku tahu dia mencoba untuk melindungi adatnya, tapi bukankah nyawa mereka lebih penting?.
"Terus," Lucy kembali berbicara. "Dimana aliran sungai yang Anda maksud?"
Anda? Kenapa dia jadi mendadak sopan? Memangnya ini acara Tv, apa?.
"Sudah mengering dan sudah tertutup pasir." Kakek tua itu mengatakannya sambil menunduk kecewa.
"Kalau ada sungai," Kataku lagi. "Berarti ada mata airnya. Dimana?" Tanyaku.
"Dibalik bukit itu. Bukankah tadi aku sudah mengatakannya dalam ceritaku?"
Benarkah?.
"Jangan pedulikan dia! Dia itu bodoh." Cukup hina'anmu yang mengerikan itu!.
Lalu Lucy melanjutkan, "Jadi... masalahnya ada di balik bukit itu?"
"Benar! Sebenarnya desa ini memiliki curah hujan yang sangat sedikit, tapi karena aliran sungai itu, desa kami jadi subur." Kakek kura-kura itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan, dia mengusap kedua matanya dan melihat kami dengan mata berkaca-kaca. "Dibalik bukit sana, ada monster berang-berang yang sangat besar, dia membuat tambak besar di danaunya. Itu yang membuat kami sekarat."
Dia melanjutkan dengan suara serak yang hampir habis, "Banyak dari orang di desa yang mencoba mengalahkannya, tapi mereka semua mati. Kalau saja bukan..." Kakek itu memutar badannya dan memperlihatkan kami punggungnya yang dilapisi oleh cangkang. "...kalau saja bukan karena cangkang keras ini, aku pasti sudah mati."
Cangkang yang terlihat sangat keras itu, terdapat goresan luar biasa mengerikan terbentuk di atas cangkang itu. Itu seperti cakaran wolverine, hanya saja lebih besar.
Dia kembali melihat kami, "Hati-hati! Dia sangat buas."
Lucy mengangguk mendengar cerita itu, "Aku mengerti! Tugas kami hanyalah mengalahkannya, lalu menghancurkam tambak yang dia buat! Benar kan?"
"Iya. Itu inti dari quest itu." Kakek itu mengangguk setuju.
Aku rasa, aku mulai ingin berhenti jadi petualang, tapi aku baru saja membuang kekuatan burung phoenix yang aku dapatkan dari orang jawa atau si pecinta budaya itu, kalau aku berhenti jadi petualang.
"Jadi," Aku melirik Lucy. "...kapan kita mulai?" Tanyaku dengan sok keren.
Lucy tersenyun sinis mendengar aku mengatakan itu, "Kapanpun kau siap!"
"Kalau begitu, aku siap sekarang." Aku berhenti dan melihat pada Kakek kura-kura itu. "Terus... apa gunanya galian yang belum selesai ini?"
"Ini adalah simpanan air kami." Kakek itu melihat galian itu dan berkata, "Sudah lama sekali tidak ada air yang tergenang disini, itu yang membuat ini terlihat seperti galian belum selesai." Sekali lagi dia berhenti dan melihatku. "Untuk kali ini saja, aku akan menodai adat kami." Dia lalu menunduk, dan setelah itu, dia sujud dihadapan kami. "Kumohon, isilah galian ini dengan air sihir."
Kakek tua ini, aku telah salah menilainya. Dia memang kepala desa yang luar biasa. Aku menaruh hormatku padanya.
"Jangan begitu." Kataku. "Bukan kau yang memohon untuk mengisikan galian ini, tapi aku yang memohon padamu untuk mengisi galian ini. Jadi adatmu bukan di nodai olehmu, tapi olehku. Kalau saja hukuman adat itu ada, maka aku yang akan menerimanya. Aku masih muda dan kuat, jadi aku yang akan menerimanya."
"Kau... bukan! Anda petualang yang sangat luar biasa." Dia masih menunduk. Aku mendengar suara isaknya. "Terima kasih banyak!"