Diam, bahkan jangan berbisik sedikitpun
Bahkan angin akan menyampaikan kepada awan
Lalu awan akan turun dalam air hujan
Dan menyampaikan cintaku padamu
'O Tuhan betapa aku mencintai senyum itu. ' Diana keluar dari liturgi devosional sore itu di Katedral terbesar di kota tersebut. Melihat Oswald ditahbiskan sore itu membuat hatinya bulat untuk memisahkan antara hidup pribadinya dengan pekerjaan dan cintanya.
'Oswald, selamat.' bisik Diana meninggalkan tempat parkir tersebut menuju ke gedung perkantoran dimana dia bekerja. Lima belas menit trafik membuatnya merasa lapar dan singgah ke sebuah coffee shop untuk membeli sekedar kopi dan roti croissant keju yang terkenal kelezatannya di kota tersebut.
'Pagi, Aska….' Diana menyapa asistennya tersebut sambil meletakkan satu cup kopi dan sejumlah roti croissant keju di atas mejanya.
'Selamat siang, Kakak.. Sudah pukul dua belas masak tetap masih pagi sih kakak…' jawab Aska sambil tersenyum dan langsung menyambar cangkir kopi kertas yang disajikan di mejanya. 'Wah kopi J pasti nikmat sekali, apalagi croissant kejunya. Terimakasih kakak cantik.' lanjutnya sambil tertawa.
'Jam sih sudah pukul dua belas, tapi semangat tetap pagi selalu, kawan.' Diana menjawab sambil tertawa dan menuju ke mejanya yang tersembunyi dibalik pintu di ujung ruangan.
Belum lima menit Diana memasuki ruangan tiba-tiba Diana keluar dengan raut muka yang tidak dapat ditebak. Sebuah kotak yang ada di mejanya membuatnya terkejut sekali. Sebuah selendang hijau yang dilipat dalam bentuk segitiga sama kaki membuatnya mendadak terdiam dan terpaku sejenak.
Dia langsung menuju ke meja Aska dan duduk di samping Aska yang sangat sibuk bermain Dotanya.
'Aska, siapa yang mengirimkan kotak di meja kerja saya?' tanya Diana dalam suara yang hanya Aska yang mengerti.
Aska yang mendengar perubahan di dalam nada suara Diana langsung menghentikan permainan Dotanya dan memandang Diana. Aska melihat tangan Diana yang gemetar sambil memegang selendang hijau terlipat dalam bentuk segitiga tersebut.
'Tadi 366 mampir kakak untuk mengirimkan bingkisan kepada kakak, saya tidak tahu kalau isinya seperti itu.' jawab Aska menyesal karena tidak menyelidiki terlebih dahulu isi kotak yang ditaruhnya di meja Diana.
'Akan ada sesuatukah kakak?' tanya Aska dengan hati-hati.
'Akan ada korban, Aska. Atau ada yang bersiap untuk bersiaga penuh dan siap mati jika diperlukan. Kalau sudah seperti ini biasanya akan ada serangan besar-besaran di kota kita.' Jawab Diana sambil menghela nafas panjang. Lanjut Diana, 'selendang hijau ini, kalau bukan untuk menandai aku berarti menandai Michael dan lapisan terkhusus anggota kita. Semoga semua selamat dan kota ini tetap aman.'
'Kami bersiap untuk mati, setiap hal akan mungkin terjadi apapun itu.' Diana duduk sambil berkata kepada Aska, 'Pesan dari kiriman itu adalah : Kami siap mati, Kakak.'
'Lalu siapa yang mengirimkannya, Kakak ?' Tanya Aska penasaran dengan semua ucapan-ucapan Diana.
'Seorang teman di Surabaya.' sahut Diana pelan.
'Kamu tahu Aska mengapa kota Surabaya yang terkena bom kemarin ?' Lanjut Diana baru seperti tersadar dari mimpinya. 'Mereka mencari dia.'
'Siapa dia itu Diana ?' tanya Aska makin penasaran.
'Semua bom itu dirancang untuk memancing di air keruh, mereka ingin melihat siapa dan dari golongan mana yang bereaksi dengan aksi yang mereka lakukan.' Lanjut Diana seakan tidak memperdulikan pertanyaan Aska.
'Kakak tahu siapa dia ?' tanya Aska.
'Dia …. ,' Diana tersenyum samar. 'Kami pernah bertemu di sebuah lokasi di Surabaya. Dia yang mengajari Kakak waktu awal-awal bergabung di Kapadokya. Dia seorang senior yang sangat baik.'
'Tapi kami berbeda haluan, dia lebih ke arah kiri dan garis keras, tapi persahabatan kami tidak dapat dihilangkan oleh perbedaan kami.' Diana kembali tersenyum samar. 'Tidak akan ada yang dapat menemukannya. Dia ada dimana-manapun dia kehendaki dan tidak ada seorang pun dapat mengenalinya.'
'Kakak.' Aska mulai menangkap adanya suasana yang lain dari perubahan hati Diana. Dan benar, Diana melanjutkan ceritanya, 'Kami pernah bercinta 4 kali malam itu.'
'Kakak …. !' seru Aska sambil tertawa. 'Mana mungkin ?' lanjutnya.
Diana hanya tersenyum samar dan memanggut-manggutkan kepalanya. 'Ya, mana mungkin.'
'Kami siap mati, Aska. Kami siap mati.'