Chereads / StellaLuna / Chapter 4 - Chapter 4: Reincarnation

Chapter 4 - Chapter 4: Reincarnation

Belakangan aku menyadari kalau beberapa kejadian di dalam hidupku bukanlah sebuah kebetulan. Sejak suara itu terdengar, banyak perubahan yang terjadi dalam hidupku. Walau bukan perubahan yang bisa dibilang besar, tetapi sedikit demi sedikit aku menyadari bahwa tak satu pun dari setiap kepingan kehidupanku yang tak memiliki arti. Dan hal itu juga yang membuatku menyadari kenyataan yang tak pernah ingin kusadari.

Keinginanku, yang kusampaikan pada Tuhan, sebelum menutup mata: "Agar aku bisa terlahir kembali sekali lagi. Agar sekali lagi aku dipertemukan dengannya. Agar sekali lagi aku diijinkan untuk mencintainya. Agar sekali lagi aku bisa mendengar suaranya. Agar aku dapat menebus dosaku padanya. Agar kali ini aku dapat membahagiakannya. Agar kali ini aku dapat memperlihatkan padanya dunia penuh cahaya. Agar kali ini aku dapat menemaninya, berada di sampingnya. Sampai ajal kembali memisahkan kami berdua."

"Beritahu aku, kau ini nyata atau tidak?" tanyaku.

"Kau meragukan aku lagi," gumamnya.

"Apa aku tak boleh ragu? Aku bahkan tak tahu kau siapa dan berada di mana," ujarku.

"Kau tahu aku di mana," ujarnya.

Dia benar.

"Walau begitu tidak ada kepastian apa kau benar - benar ada di sana atau tidak. Bahkan, aku ragu kalau kau benar - benar nyata!" ujarku.

"Kau sungguh ingin mengulangi ini lagi? Kau ingin kita bertengkar karena hal bodoh ini lagi?" ujarnya.

"Ini bukan hal bodoh! Aku butuh kepastian!" seruku dalam hati.

"Tak bisakah kau percaya saja padaku?" tanyanya.

"Aku tak ingin berharap dan kecewa pada akhirnya," jawabku.

"Kau kejam. Kau tahu itu?" ujarnya.

Ah, dia menangis lagi.

"Kejam? Apa maksudmu? Aku mengikuti semua keinginanmu. Selama ini aku hidup dengan mempercayai kata - katamu. Tapi kau bahkan tak bisa satupun pertanyaanku dengan jujur!" ujarku. "Aku tak punya waktu untuk hanya terus hidup dalam khayalan!"

"Kau tak berubah. Kau tetap saja egois. Kau tak sekali pun memikirkan perasaanku," ujarnya.

"Bagaimana bisa kau memintaku memikirkan perasaanmu sedangkan kau tak pernah bercerita apapun tentangmu padaku?" ujarku tak mau kalah.

"Kau tahu betul betapa inginnya aku menceritakan semuanya padamu! Tapi tak bisa. Kau tahu apa yang akan terjadi kalau aku mengatakannya," ujarnya. "Aku tak mau kalau harus menunggumu lebih lama dari ini!"

"Kalau begitu kau saja yang ke sini! Kenapa harus aku yang mengejarmu? Kenapa aku harus bersusah payah seperti ini hanya untuk bertemu seseorang yang bahkan tak diketahui eksistensinya?!" seruku.

"Jangan bercanda!!" untuk pertama kalinya dia membentakku. "Sekarang kau menyalahkanku?! Apa kau kira aku yang memberikanmu takdir ini?! 'Kenapa harus aku yang mengejarmu?' katamu?! Kau tak pernah mengejarku! Bukankah yang kau kejar itu impianmu?! Kau yang bilang sendiri kalau kau ingin mengejar impianmu dan bertemu denganku di sini! Di tempat yang kita janjikan! Jangan menjadikanku bulan - bulananmu hanya karena kau merasa impianmu sulit untuk digapai! Jangan menyalahkan aku atas ketidakmampuanmu!!"

Dan dia benar. Aku hanya depresi. Aku hanya kesal. Impian yang kupikir telah berada di depan mataku, ternyata begitu sulit untuk dicapai. Dan aku menimpakan semua padanya hanya karena aku tak ingin lagi dikecewakan. Hanya karena aku ketakutan. Takut pada impianku yang besar. Takut akan terluka jika impian itu tak akan pernah tercapai.

Sejak saat itu, suaranya tak pernah terdengar lagi untuk beberapa saat.

Keinginannya, yang disampaikannya pada Tuhan, sebelum menutup mata: "Agar sekali lagi aku dipertemukan dengannya. Agar sekali lagi aku dapat mencintainya. Agar sekali lagi ia dapat mengulangi hidupnya, yang kali ini penuh dengan kebahagiaan, yang kali ini penuh dengan cinta, yang kali ini penuh dengan cahaya. Agar sekali lagi ia dapat kembali ke dirinya yang lembut, yang bercahaya bagaikan bintang - bintang di langit. Agar kali ini, aku dapat mendampingi dan melindunginya selamanya. Agar aku dapat menerangi hidupnya. Sampai sekali lagi ajal datang menjemput kami berdua."

Dia benar - benar tolol. Apa gunanya mencintai--menunggu--seseorang yang jelas selalu menyakitimu? Bagaimana bisa dia bisa memiliki kepercayaan begitu besar padaku?Aku tak berubah. Tetap sama seperti dulu. Aku bukanlah sang pahlawan penyelamat dalam dongeng. Aku adalah penyihir jahat. Dan dia, sang putri--pangeran--yang bodoh, yang jatuh cinta pada sang penyihir.

Dia tak berubah. Tetap saja cengeng. Tetap saja memiliki hati yang lemah lembut. Tetap saja keras kepala. Tetap saja menyebalkan.

Kalau aku adalah langit malam, dia bilang akan menjadi kegelapan yang selalu meyelimuti langit malam. Jangan bercanda! Dia bahkan tak berhak menamai dirinya kegelapan. Bagiku dia seperti bulan. Bulan yang selalu kubenci.

Aku berharap aku tak pernah membuat permintaan seperti itu pada Tuhan. Mungkin akan lebih baik kalau aku tak pernah terlahir kembali. Mungkin akan lebih baik kalau aku masuk neraka saja dan membayar dosa - dosaku di masa lalu. Dan lagi, aku juga tak bisa mengerti mengapa Tuhan mau mengabulkan permintaan pendosa sepertiku?

Kemudian aku berpikir, seandainya kalau dia mendengar isi pikiranku sekarang, apa yang akan dikatakannya?

'Karena Tuhan mempercayaimu. Karena Dia mengenalmu lebih baik dari siapapun. Karena Dia tahu kau bisa berubah jauh lebih baik dari sebelumnya.'

Jawabannya selalu telah ada di dalam kepalaku.

Walau begitu setelah menyadari banyak hal, aku tak bisa melepaskan pikiranku dari masa lalu yang terlanjur kuingat itu. Darah yang mengalir di tangan ini sudah terlalu banyak. Luka yang kuberikan pada orang lain sudah terlalu banyak. Bahkan di masa sekarang pun, aku banyak melukai orang - orang yang kucintai hanya keegoisanku. Mungkin akan lebih baik kalau dia berbahagia tanpa diriku. Mungkin akan lebih baik jika dia melupakanku.

Hidupku yang sekarang adalah hadiah dan juga hukuman bagiku. Aku diberkahi dengan banyak hal yang dulu tak kumiliki. Atau lebih tepatnya, pernah kumiliki tapi tak pernah kusyukuri. Tetapi, walau begitu, karena keegoisanku, aku kembali lagi melukai mereka yang mencintaiku. Karena kelemahanku, aku terus mengecewakan mereka yang mempercayaiku. Aku pernah diberikan segalanya. Kekuatan, nama besar, dan cinta. Namun, semua itu kubuang karena keserakahan dan keegoisanku. Sekarang, aku tercipta lemah, tak memiliki nama besar, tak memiliki kesempurnaan. Hidupku diawali dengan kesengsaraan dan ketidakadilan. Walau begitu, ada mereka yang selalu mengulurkan tangannya padaku. Yang tetap mencintaiku apa adanya. Tetapi pada akhirnya kukecewakan karena terlalu sibuk memikirkanku rasa sakit yang kurasakan. Aku menutup mata dari rasa sakit yang diterima orang lain karena diriku. Sama seperti dulu.

Aku lalu menutup mata dan berdoa. "Bisakah aku berubah, Tuhan? Aku ingin lebih mensyukuri apa yang kumiliki saat ini."

Dan pertanyaan itu dijawab oleh suara sang bintang. "Tentu saja kau bisa. Aku selalu percaya padamu."

Aku tersenyum. "Kau bodoh. Kau tahu itu?"

"Ya, aku memang bodoh," jawabnya.

"Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau begitu memperdulikanku?" tanyaku, kali ini dengan sungguh - sungguh dan tanpa praduga.

Dia tersenyum. "Kau tahu siapa aku," jawabnya.

"Benarkah?" aku terkejut.

"Ya, kau hanya tak menyadarinya," ujarnya.

"Bagaimana bisa?" tanyaku.

"Itu karena kau tak pernah memperhatikanku dengan baik!" aku menangkap nada merajuk pada suaranya. "Sesekali cobalah berpaling dari apa yang kau sukai dan tatap sekelilingmu."

"Apa itu berarti aku tak menyukaimu?" tanyaku.

"Kau menyukaiku. Hanya saja tak sebesar mereka yang kau kagumi. Padahal aku selalu memikirkanmu. Dalam setiap laguku, aku hanya menyanyikan perasaanku padamu. Tapi tak sekali pun kau mendengarnya. Dan walaupun kau mendengarnya, kau tak menyadarinya," ujarnya.

"Bukankah itu berarti kau tak berusaha cukup keras untuk membuatku berpaling padamu?" ujarku.

Dia tampak kesal. "Kau tunggu saja! Aku akan menyanyikan lagu yang membuatmu tak bisa lagi mengacuhkanku! Aku bahkan akan berdoa siang - malam pada Tuhan agar Dia merestuiku!"

Aku terkekeh. "Aku menunggu, tapi tak akan banyak berharap."

Tanpa kusadari, dalam beberapa bulan ke depan, aku akan menyesali perkataanku sendiri. Karena ketika aku menyadari siapa dia yang sesungguhnya, aku sudah terlanjur terjebak dalam perangkapnya, dan tak bisa lagi berpaling.

Kurasa dia memang pantas mendapat penghargaan seperti itu dari Tuhan setelah apa yang kulakukan padanya di masa lalu. Dia sangat berhak dengan semua itu. Tapi ini semua di luar ekspektasiku. Dia telah terlahir kembali bukan hanya sebagai bulan yang bercahaya terang, tetapi juga sebagai bintang yang berkilau dan dipuja banyak orang.

Aku menatap layar komputerku dengan tak percaya, berusaha untuk berpikir logis dan tidak berasumsi. Ini hanyalah kebetulan semata. Namun kemudian aku kembali tersadar bahwa tak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, lalu membenamkan wajahku ke kedua telapak tanganku dan menjerit sekuat tenaga.

Tuhan, aku bahkan tak tahu harus bahagia atau harus ketakutan.