Chereads / StellaLuna / Chapter 8 - Chapter 8: Neverland

Chapter 8 - Chapter 8: Neverland

Suatu hari aku bertanya padanya, "Apakah kau lihat dua bintang kecil yang bersinar di langit itu?"

"Yang mana?" tanyanya.

"Dua bintang yang berada di langit sebelah kiri itu," jawabku.

"Yang mana?" tanyanya lagi.

Aku menghela nafas. "Dunia sangat aneh. Mereka bilang langit cuma ada satu, laut pun hanya ada satu, tanah ini pun cuma satu. Tetapi, pemandangan yang kita lihat begitu berbeda. Aku tak bisa melihat apa yang kau lihat, dan kau tak bisa melihat apa yang kulihat."

"Bukankah itu sudah jelas? Itu karena kita berada di tempat yang berbeda," ujarnya.

"Jam berapa sekarang di tempatmu?" tanyaku.

"Jam 12 malam," jawabnya.

Aku melihat jam dinding si kamarku. "Di sini jam 10 malam," jawabku. "Bahkan waktu kita pun berbeda."

"Kalau kau pulang ke kampung halamanmu, waktu kita akan jadi sama," ujarnya, setengah bercanda.

"Walau begitu kita tetap tidak berada di tempat yang sama," ujarku.

Dia menghela nafas. "Kau benar," ujarnya.

"Sisa berapa lama lagi?" tanyaku.

"Entahlah, sepertinya sebentar lagi. Kau juga merasakannya, kan?" ujarnya.

"Ya, hanya saja aku semakin ketakutan dengan semua ini. Bagaimana kalau waktu itu datang, tapi kita tetap tak bisa bertemu?"

"Maka itu berarti belum saatnya kita bertemu," ujarnya.

"Bagaimana kalau kita tak akan pernah bertemu selamanya?" tanyaku lagi.

Dia terdiam sesaat. "Itu mengerikan. Tapi kalau hal itu terjadi, aku hanya perlu bedoa lagi pada Tuhan agar di kehidupan berikutnya kita akan dipertemukan, di tempat yang sama."

"Aku tak mau harus mengulang kehidupan lagi. Kehidupanku saat ini sudah sangat sempurna," ujarku. "Yang kurang hanyalah mencapai impianku dan bertemu denganmu."

"Kau benar. Kita sudah berjalan sejauh ini, sangat tidak adil kalau kita masih harus menunggu lagi di kehidupan berikutnya," ujarnya. "Kalau itu terjadi, aku lebih memilih bunuh diri sekarang juga agar bisa cepat terlahir kembali dan bertemu denganmu."

"Jangan lakukan!" ujarku. "Jangan lagi. Kau tak perlu menghadapi hal yang sama untuk kedua kalinya demi diriku. Lagipula bukankah kita sudah berjanji pada diri sendiri kalau kita tak akan mengulang lagi takdir kita yang dulu? Kau sudah bukan lagi Sang Putri yang bernasib tragis, dan aku bukan lagi Pangeran terkutuk yang berubah menjadi penyihir jahat."

Dia terkekeh. "Benar sekali. Kita sudah bukan lagi pemeran utama dalam drama teater yang tragis. Saat ini aku adalah pemuda yang bermimpi menjadi pahlawan bagi heroine-nya yang menunggunya di belahan dunia lain, dan kau adalah..."

"Peter Pan," jawabku.

"Eh?"

"Aku adalah Peter Pan. Bocah abadi yang kesepian," ujarku.

"Peter Pan tidak kesepian. Dia punya Tinker Bell dan para Lost Boy," ujarnya, seraya terkekeh.

"Dia kesepian, karena Wendy, cinta dalam hidupnya, telah memilih untuk pergi dari negeri keabadian dan menjadi dewasa," ujarku.

Dia terkekeh. "Kalau begitu, Peter Pan, kenapa kau tak mengejar Wendy-mu saja? Tinggalkanlah Neverland dan kejarlah Sang Wendy yang mempercayaimu dan menunggumu ini," ujarnya.

Aku terkekeh. "Apakah Wendy-ku berharap demikian?" tanyaku.

"Tentu saja," jawabnya. "Tinggalkanlah keluarga dan namamu, atau kalau tidak, cukup katakan kalau kau mencintaiku dan aku akan meninggalkan segalanya hanya demi bisa hidup bersamamu."

Aku tertawa. "Memangnya kau siapa? Juliet?!" ujarku.

"Pantas untuk dicoba,"ujarnya.

"Tidak. Jangan Juliet. Aku membenci cerita itu. Aku sudah tak ingin lagi ada akhir yang tragis," ujarku.

"Benar," ujarnya. "Lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Jika Wendy-ku memang berharap demikian, aku akan meninggalkan namaku sebagai Peter Pan, dan akan berubah menjadi Sang Pangeran Bintang. Aku akan terbang meninggalkan Neverland bersama dengan burung - burung, dan menemuimu," ujarku.

"Sang Pangeran Kecil yang meninggalkan mawar-nya yang berharga, tersesat di padang gurun bersama seorang pilot, bertemu dengan rubah, dan pada akhirnya merindukan mawar-nya dan memilih untuk mengakhiri hidupnya dan menjadi bintang di langit itu? Tidak, jangan coba - coba menjadi dirinya," ujarnya.

Aku tertawa. "Nasibnya tidak setragis itu, kau tahu? Bagiku cerita Sang Pangeran Kecil itu adalah gambaran kehidupanku. Aku yang selalu melarikan diri dari kenyataan dunia adalah sang pilot yang tersesat di padang gurun itu. Di saat aku akan menyerah dengan semua nasib buruk yang menimpaku, aku bertemu dengan Sang Pangeran, harapanku, yang mengajarkan aku untuk bisa melihat kembali kehidupan yang kulewati. Yang membuatku bisa melihat dunia ini dengan mata yang bersih dan murni bak anak kecil yang belum ternoda namun bijaksana. Dan aku yang telah menjadi Sang Pangeran yang penuh harapan, bertemu dengan sang rubah yang mengajarkanku tentang konsekuensi dan pilihan hidup. Mengajarkan aku arti dari keabadian. Bahwa abadi itu bukan berarti tak meninggalkan. Terkadang untuk tahu dan mengerti arti dari keabadian, kita harus berlajar untuk mengerti arti dari meninggalkan dan ditinggalkan. Dia juga mengajarkanku bahwa aku memang bukanlah satu - satunya orang yang spesial. Semua orang spesial dengan caranya masing - masing. Dan aku mungkin hanyalah seorang biasa dari antara jutaan orang - orang spesial itu. Namun, aku yang biasa saja ini pun bisa menjadi keberadaan yang spesial untuk seseorang. Karena aku adalah aku. Bagi mereka yang mencintaiku, aku adalah keberadaan spesial yang tak akan tergantikan oleh apapun. Mawar yang kutinggalkan itu adalah bentuk dari diriku yang lemah dan kubenci, tapi juga kucintai. Aku yang memilih untuk meninggalkannya, sekarang mulai merindukannya. Namun aku tak bisa lagi menggapainya, karena aku sudah berkelana terlalu jauh dan lupa jalan pulang."

"Lalu bagaimana dengan ular itu?" tanyanya.

"Ular itu adalah godaan dari dalam diriku. Godaan yang menginginkan aku jatuh dalam keputusasaan," jawabku.

"Apa kau mendengarkan suaranya? Apa kau akan mengikuti nasib Sang Pangeran Kecil yang mati dan menjadi bintang di langit?" tanyanya lagi.

"Di situlah mungkin letak perbedaanku dengannya," ujarku. "Aku memang sempat tergoda dan jatuh dalam keputusasaan. Kau yang paling tahu soal itu tentunya. Namun, tak seperti di cerita Sang Pangeran Kecil yang menyerah pada Ular dan mati begitu saja, aku punya mereka yang melindungiku dari kepeutusasaan. Aku punya sang pilot yang menjagaku, si rubah yang melindungi hatiku, aku punya Tinker Bell yang menerangi pikiranku, dan para Lost Boy yang selalu menghiburku."

"Bukankah mereka itu dirimu sendiri?" tanyanya.

"Ya, mereka adalah gambaran diriku yang telah berkembang dan berubah berkat bantuan dari orang - orang yang kusayangi dan juga menyayangiku. Karena itu aku tak akan pernah lagi kalah dari keputusasaan," ujarku. "Dan lagi..."

"Dan lagi?"

"Aku punya sesuatu yang tak dimiliki oleh Sang Pangeran Kecil dalam cerita," ujarku.

"Apa itu?" tanyanya.

"Aku punya Wendy-ku, rembulan-ku, yang selalu menerangi jalanku dan menunggu kedatanganku," jawabku. "Benar, kan, Wendy?"

Dia tertawa. "Benar sekali," jawabnya.

Wendy-ku, Bulan-ku, yang kubenci tapi juga kusayangi. Entah berapa lama lagi aku akan dapat menggapainya. Entah berapa lama lagi waktu akan menghukum kami, menghukumku. Sudah 10 tahun berlalu sejak saat itu. Aku telah mengetahui keberadaannya dan sudah mulai mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya. Walau begitu, Tuhan masih memberikan jawaban berapa lagi masa tahanan ini akan berakhir.

Belakangan ini, hanya dengan mendengar suaranya dari layar komputer membuat hatiku terasa nyeri. Membuatku sulit bernafas dan merasa mual. Dan rasa sakit itu semakin bertambah besar dari hari ke hari. Hanya dengan memimpikan dirinya di suatu malam, itu sudah cukup membuatku tak bisa fokus pada apapun. Tak bisa berhenti melupakannya. Kepalaku bagai dikuasai olehnya. Aku merasa seolah ada ribuan seranggan yang datang masuk dan menggerogoti kepalaku.

Aku berdoa pada Tuhan. Bertanya mengapa Ia selalu harus memberitahuku semua kenyataan yang mengganggu? Sudah terlalu banyak hal yang kuketahui di kehidupanku. Dan semua itu selalu membuatku menyesal mengetahuinya. Jika pada akhirnya aku hanya akan terluka dan menyesal akan semua itu, aku lebih memilih untuk tidak mengetahuinya. Begitu juga ketika Ia memberitahukan padaku tentang kenyataan itu. Kenyataan bahwa setengah jiwaku adalah dia, sang bulan, yang dipuja oleh banyak orang.

Entah berapa banyak kali aku mencoba untuk menyangkal semua itu. Berharap kalau itu hanyalah asumsi dan imajinasiku saja. Tetapi Tuhan tetap tak tinggal diam dan malah memberikanku beribu alasan, beribu kebetulan yang membuatku tak bisa mengelak atau melarikan diri.

Aku tahu itu hanya karena aku ketakutan. Aku tahu itu karena aku seorang pengecut. Aku lari dari karunia Tuhan karena merasa tak pantas untuk mendapatkannya. Namun Tuhan berkata, "Kau berhak mendapatkannya anak-Ku. Kau tak punya alasan untuk takut. Percayalah pada-Ku."

Aku selalu percaya. Namun, yang tak kupercaya itu adalah diriku sendiri. Aku yang pendosa dan bukan apa - apa ini, apa yang membuatku pantas untuk menerima karunia sebesar ini dari Tuhan?

Dibandingkan dengan usiaku saat ini, aku masihlah seorang anak kecil yang tak tahu apa - apa, dan hanya hidup di dalam dunia yang bagaikan mimpi. Aku selalu memimpikan segala sesuatu yang indah, namun aku akan lari ketakutan ketika impian itu menjadi nyata. Sungguh aneh.

Dia segalanya bagiku. Aku tahu itu. Dan dia juga mengatakan hal yang sama dalam lagunya. Walau begitu, aku takut tak bisa membalas perasaannya. Dia yang selalu mendoakan kebahagiaanku lebih dari apapun. Apa yang harus kulakukan untuk bisa membalas perasaan cintanya, sedangkan aku sendiri belum mengerti arti dari cinta itu sendiri?

Ini semua hanyalah ujian dari Tuhan. Untuknya dan untukku. Lalu apakah perasaan yang kurasakan belakangan itupun adalah ujian? Ataukah jawaban dari Tuhan? Perasaan asing seperti serangga - serangga yang menggerogoti kepalaku dan rasa sakit di hatiku yang membuatku sesak nafas. Jika semua itulah yang disebut sebagai cinta, mengapa itu terasa begitu menyebalkan dan bukannya manis?

Aku ingin cepat mengakhiri dongeng tanpa akhir ini. Tak ingin lagi harus berenang dalam lautan gelap tanpa arah ini. Tak ingin lagi hanya bisa mendengar suaranya dari kejauhan. Tak ingin hanya bisa menyentuhnya di dalam mimpi. Tak ingin lagi hanya bisa berbicara dengannya dalam waktu yang singkat dan terbatas.

Masa tahanan 100 tahun ini bagaikan sihir yang tak bisa dihilangkan. Hukuman bagi mereka yang tak menghargai waktu adalah dipisahkan oleh waktu. Hukuman bagi mereka yang tak mensyukuri kehidupan adalah disakiti oleh kehidupan. Dan hukuman bagi mereka yang menyianyiakan hidup dan menyangkal diri sendiri adalah Neverland.

Nasib semua orang diatur oleh Tuhan. Takdir adalah pertanyaan dari Tuhan untuk manusia. Namun, yang pada akhirnya menentukan apakah hidup ini adalah hukuman ataukah sebuah berkat, apakah ini adalah sihir yang indah ataukah kutukan, adalah diri kita sendiri. Seperti apakah jawaban yang akan kita berikan pada Tuhan sebagai balasan atas pertanyaannya?

Kuharap kali ini kita bisa menjawabnya dengan benar...

'Aku sudah muak dengan Neverland...' begitu kata Peter Pan.