Chereads / StellaLuna / Chapter 9 - Chapter 9: Star Rendezvous

Chapter 9 - Chapter 9: Star Rendezvous

Belakangan melihat banyaknya kasus yang terjadi di negaraku, muncul sebuah pertanyaan dalam kepalaku.

"Mengapa begitu banyak orang yang berlomba - lomba ingin masuk Surga?"

Dia menjawab, "Yah, itu karena Surga adalah tempat yang indah dan dipenuhi kebahagiaan. Tentu banyak yang ingin bisa ke sana."

Hanya itu. Hanya itulah jawabannya sebelum kembali terdiam. Aku tak bertanya lebih lanjut lagi. Aku tahu walau dia hanya menjawab dengan ringan seperti itu, aku tahu dengan jelas kalau dia punya pemikiran yang sama denganku.

Surga, yang kami kenal, bukanlah tempat yang bisa dengan mudah dimasuki hanya dengan berusaha sekuat tenaga. Surga tak bisa kau kejar. Sebab semakin kau mengejarnya, Surga akan semakin menjauh darimu.

Aku dan dia memang tak pernah mengetahui seperti apa Surga itu, tetapi kami mengenal Tuhan. Dan kami berdua tahu selama Tuhanlah yang menjadi pemilik Surga, pintu masuk Surga tak akan pernah bisa terbuka dengan mudahnya, sesuai keinginan manusia.

Tuhan itu bagaikan seorang anak kecil yang usil, yang sulit dimengerti, dan selalu bertindak seenaknya. Jika Ia mau, bahkan seorang kafir yang terhina di mata dunia pun bisa dimasukkannya ke dalam Surga, dan seorang pendeta suci yang dipuja dunia bisa dilemparkannya ke neraka begitu saja.

Tuhan, yang kami kenal, adalah seorang Ayah yang lebih mencintai anak-Nya yang penuh dosa, daripada anak-Nya yang patuh dan penurut. Pikiran-Nya tak dapat ditebak dan apa yang sebenarnya diinginkan-Nya tak bisa dimengerti oleh akal sehat. Semua itu pastilah akan membuat semua manusia terheran - heran bahkan mungkin protes akan keputusan-Nya. Tapi Sang Ayah hanya akan menanggapi semua itu dengan diam dan tersenyum penuh tanda tanya, seolah tak memperdulikan keluhan dari anak - anak-Nya yang lain.

Karena itu pula aku yang sekarang memutuskan untuk tak lagi mencoba menjadi seorang anak yang patuh, yang berusaha untuk menyenangkan hati Sang Ayah. Aku hanya akan berjalan sesuai dengan kata hatiku, sesuai keinginanku. Tak peduli dengan apa yang akan dikatakan oleh orang - orang di sekitarku. Walau harus dicerca, dihina, dan ditertawakan, aku hanya akan percaya pada diriku sendiri dan jalan yang ditujukan-Nya untukku. Aku tak akan meminta apapun padaNya. Aku hanya akan berdoa dalam hati meminta bimbingan-Nya agar aku tak melenceng dari jalan-Nya. Itu saja.

Egois? Biar saja mereka mengatakan semua itu. Lagipula memangnya ada manusia yang tak egois? Jawabannya tidak. Mungkin akan ada yang akan menyangkal jawaban itu dan berkata kalau mereka mengenal seseorang yang tak egois. Tapi itu omong kosong. Manusia itu egois, secara sadar maupun tak sadar. Hanya saja mereka yang sadar akan keegoisan mereka, akan secara terang - terangan menunjukkannya di depan umum. Sedangkan yang tak sadar akan tersembunyi di balik topeng bernama cinta, kelemahlembutan, dan welas asih. Tapi itu sama sekali bukanlah sebuah kesalahan. Itu hal yang normal. Karena itulah manusia. Justru manusia yang tak pernah memikirkan dirinya sendiri itulah yang dinamakan tak normal.

Aku dan dia pun begitu. Kami pun egois. Mungkin sangat egois, bahkan melebihi dugaan kami sendiri. Aku menyadari kalau kami memiliki banyak kesamaan, terutama pada kebiasaan buruk. Kami sering iri pada orang lain, sering menginginkan hal yang tak bisa kami dapatkan, dan tak sabaran. Kami bertingkah seolah tak peduli dengan perkataan orang - orang dan selalu berpikiran positif, padahal sebenarnya di dalam hati kami muak dan kesal pada hinaan dan tawa mereka. Kami bahkan berkata percaya pada hal yang sebenarnya sulit untuk kami percayai.

Tetapi, mungkin karena hal ini pula kami menjadi tergantung satu sama lain. Mengenyampingkan persamaan di antara kami, aku dan dia memiliki banyak perbedaan. Aku memiliki apa yang tidak dia miliki, dan dia memiliki apa yang tak kumiliki.

Jika orang bilang cinta itu seperti sebuah sihir yang membuat hidupmu jadi lebih indah dan bersinar, itu adalah omong kosong. Setidaknya, untuk kami, cinta itu seperti narkotik. Seperti ekstasi. Awalnya kau hanya penasaran dan mulai mencobanya. Sekali mencoba kau menjadi tertarik dan mencobanya lagi untuk kedua kalinya. Kedua kali, kau akan mulai terbiasa dengan rasanya. Ketiga kali, kau akan mulai sulit untuk hidup tanpanya. Dan pada akhirnya, kau akan mulai kecanduan. Kau akan terobsesi padanya. Kau tak akan bisa berhenti lagi, karena kau tahu kau akan jadi gila tanpanya.

Cinta yang kami rasakan itu tak seindah kata para pepatah. Cinta ini menyesakkan. Membuatku tak bisa bernafas tanpanya. Membuatku merasa seperti berada di neraka, walau saat ini aku tak lagi berada di neraka.

Berbicara soal neraka, aku pun sering berpikir, apakah orang - orang itu tahu seperti apa neraka yang sebenarnya? Bagi kami yang telah merasakan kematian, yang mengerikan bagi kami bukanlah kematian itu, melainkan apa yang akan kami tinggalkan begitu kami terjatuh ke jurang maut.

Neraka adalah tempat yang dipenuhi oleh api dan tempat di mana para pendosa akan disiksa secara tak manusiawi oleh para iblis, kata mereka? Aku tertawa melihat imajinasi manusia. Memang itu tak sepenuhnya salah, tapi yang sebenarnya mengerikan dan menyakitkan di neraka bukanlah api atau siksaan iblis, melainkan rentetan ingatan, memori akan dosa - dosa yang kau perbuat di kehidupanmu. Rentetan penyesalan yang tak henti - hentinya dimasukkan ke dalam kepalamu. Hal itulah yang akan membakarmu. Hal itulah yang akan mencabik - cabikmu.

Walau kau menangis, berteriak, memohon agar semua itu dihentikan, doamu tak akan dijawab oleh Tuhan. Rasa bersalah dan penyesalan itu akan terus menggerogoti dan menyiksamu. Mengocok perutmu, membuatmu mual dan muntah beratus - ratus kali, sampai tak ada lagi yang tersisa di dalam perutmu.

Walau begitu, bayang - bayang itu tak akan pernah hilang, dan kau akan dipaksa untuk membelah kepala dan perutmu sendiri hanya untuk mencoba lari dari semua rasa sakit itu, walau itu pun tentunya percuma. Pada akhirnya, kau hanya akan membusuk di tengah darah, air mata, dan muntahanmu sendiri.

Lelah dan stres, ditinggalkan, ditindas, difitnah, dihina, ditertawakan orang, dilempari batu, bahkan dibakar hidup - hidup; itu bukanlah apa - apa dibandingkan neraka yang sebenarnya. Dan demi Tuhan, aku akan lebih memilih untuk merasakan semua itu sekali lagi, dibandingkan harus mati dalam penyesalan dan dosa yang tak terhapuskan.

Tak ingin lagi aku mendengar suara tangisannya dalam kepalaku. Tak ingin lagi aku melihat air matanya di dalam khayalku. Tak ingin lagi aku menyaksikan kematian dan hatinya yang tercabik - cabik karenaku tanpa bisa berbuat apa - apa untuk mengubah semua itu. Hal itu lebih mengerikan beratus - ratus kali dibandingkan definisi dari neraka itu sendiri.

Kami yang kini dilahirkan kembali dalam keadaan yang terbalik. Yang terpisah jarak dan waktu, dan hanya dapat berbicara melalui bintang - bintang. Yang harus menjalani masa hukuman 100 tahun sebelum akhirnya dapat bertemu kembali, membuat kami berhasil melahirkan sebuah perasaan cinta yang mengerikan tetapi juga mengesankan.

Dia memiliki separuh jiwaku, dan begitu pula sebaliknya. Walau begitu, kami telah bersumpah untuk tidak akan lagi berkata bahwa kami tak bisa hidup tanpa satu sama lain. Karena kami yang sekarang telah memiliki banyak hal untuk kami pertahankan. Banyak hal yang ingin kami lindungi dan perjuangkan. Bertemu atau tidak, kami akan tetap meneruskan kehidupan kami saat ini, karena kami tak ingin lagi hidup dalam penyesalan.

Namun, rasa rindu dan perasaan ingin segera bertemu itu tetap terus menggerogoti kami. Setiap aku mendengar tangisnya, mendengar nyanyiannya, aku semakin ingin bertemu dengannya. Aku ingin melihat seperti apa dirinya saat ini. Aku ingin menjadi orang yang egois sekali lagi hanya demi bertemu dengannya. Sebab aku ingin menjadi satu - satunya orang yang dapat memberikannya kebahagiaan. Karena aku tak ingin menjadi bulan milik orang lain.

Betapa aku berharap Tuhan segera mencabut rantai tak terlihat yang mengikat kaki dan sayapku ini, agar aku bisa segera terbang ke tempatnya berada. Untuk segera memenuhi janjiku padanya, pada Tuhan.

Lalu suatu hari Tuhan kembali datang kepadaku dan berkata, "Apakah kau mempercayai-Ku?"

"Ya, selalu," jawabku.

Tuhan kembali berkata, "Kalau begitu percayalah padaku sampai akhir dan jangan pernah ragu!" Itu adalah sebuah tantangan. Sebuah ujian. Dan kuharap itu adalah yang terakhir.

Lalu aku pun kembali menjawabnya, "Jika itu yang Kau inginkan, Tuhan. Aku akan menunjukkan padamu sebesar apa kepercayaanku pada-Mu," aku menerima tantangan itu dengan membuat sebuah pertaruhan dalam hidupku yang sebenarnya sangat kutakuti, sebab aku pernah gagal dalam taruhan itu.

Dan ketika taruhan itu kubuat, semua rantai tak terlihat yang mengikat itu terlepas seketika, dan suara Tuhan bagai menggema di telingaku, "Sekarang semuanya hanya tergantung padamu."

Ia benar. Sekarang yang mengikatku bukan lagi tangan Tuhan, melainkan perasaanku sendiri. Rasa takut, rasa terburu - buru, dan ragu dalam hatiku. Saat pertemuan telah semakin mendekat dan suaranya semakin sulit untuk kudengar. Itu membuatku tak tenang, sebab terkadang aku tak lagi bisa membedakan yang mana suaranya yang sesungguhnya, dan yang mana suara dari imajinasiku sendiri, yang tak terbiasa dengan kesunyian ini.

Berkali - kali aku bermimpi bertemu dengannya, dan terbangun dengan rasa sakit yang menyesakkan di hatiku. Berkali - kali aku mendengarnya berbisik 'aku ingin bertemu denganmu', 'aku merindukanmu', 'aku sudah tak sabar ingin bertemu denganmu'. Membuatku tak dapat tidur dengan tenang di malam hari. Membuatku kembali ketakutan akan masa depan.

Tetapi aku tak akan lagi kalah dengan perasaan itu. Tidak sekarang. Permohonanku kepada bintang - bintang pasti akan terkabul. Have faith, believe. Suara bintang - bintang itu terus mendorongku untuk maju. Sekali pun aku merasa lelah dan ingin berhenti, tetapi dua bintang yang bersinar di langit malam di hatiku mengajarkanku untuk tak pernah menyerah. Untuk percaya pada kekuatan cinta yang telah diberikan padaku sejak lahir. Untuk selalu tetap bersinar di tengah kegelapan tanpa kenal rasa takut. Untuk bisa selalu memiliki kekuatan untuk berdiri dengan dada tegak dan penuh kebanggaan. Untuk selalu bisa selalu percaya bahwa tak ada air mata yang tak akan mengering. Untuk percaya bahwa bahkan di langit malam pun aku pasti dapat melihat pelangi. Untuk yakin bahwa suatu saat matahari akan terbit dan bersinar di langit malam abadi ini.

Walau mungkin aku tetap tak bisa bertemu dengannya kali ini. Walau waktu belum berada di pihak kami. Kakiku tak akan pernah lagi berhenti. Sayapku akan terus membentang. Aku akan terus berlari. Aku akan terus berusaha menggapainya. Tak peduli walau harus melewati waktu beribu - ribu tahun lamanya, aku akan terus mencarinya.

Kereta bintang yang menghubungkan kami berdua pasti akan dapat menemukan tempat perhentiannya...