'Aku tidak apa - apa' adalah kalimat yang selalu kuucapkan pada diri sendiri ketika sedang berada di masa - masa sulit. Orang lain pasti ada yang merasakan hal yang lebih buruk dari ini. Aku selalu berusaha meyakinkan diriku untuk tidak membiarkan diriku jatuh sekali lagi ke dalam godaan perasaan egois yang selalu menghantui.
Bermanja - manja ketika sedang sakit, mengeluh ketika ada hal yang merepotkan; bagiku itu masih dapat ditolerir. Manusia mana yang tak ingin dimanja atau tak ingin mengeluh sekalipun? Tetapi ketika menghadapi masa - masa sulit di mana aku harus menanggung rasa sakit hati dan ketakutan yang berlabihan, aku memilih untuk menanggungnya sendiri. Keluargaku, teman, orang lain, tak perlu menjadi bulan - bulanan keegoisan dan kelemahanku. Dan aku juga lebih memilih untuk tidak menunjukkan kelemahan di depan orang lain. Karena itulah, setiap kali suara itu datang dan bertanya, "Apa kau baik - baik saja?", aku akan merasa jengkel--kesal, seolah ada seseorang yang mencoba masuk ke dalam ruang privasi-ku.
Saat itu walau sambil menahan kekesalan, aku selalu mencoba menjawabnya dengan tenang, "Aku tidak apa - apa". Terkadang setelah mendengar jawabanku, dia akan diam seakan lega dan tak bertanya lebih lanjut lagi. Tetapi ada kalanya juga dia akan bersikeras dan berkata kalau aku tak baik - baik saja, bertanya apa yang sebenarnya terjadi, memaksaku untuk menceritakan permasalahanku.
"Aku baik - baik saja. Kau tak perlu khawatir!" ujarku.
"Aku tak merasa kau baik - baik saja. Hatimu, pikiranmu, terasa seperti sedang kacau. Katakan apa yang terjadi? Itu akan membuatmu sedikit tenang," ujarnya.
"Memangnya apa yang bisa kau lakukan?!" seruku. "Walau kuceritakan memangnya kau bisa berbuat sesuatu?! Ini bukan urusanmu! Berhenti mencampuri masalah pribadiku!"
Seperti itulah aku akan meneriakinya, membentaknya. Sekali lagi menimpakan amarahku padanya. Namun...
"Kau sendiri bisa apa?! Apa kau pikir bisa menyelesaikan masalah hanya dengan diam dan bergelut dengan pikiranmu sendiri?! Aku tahu ini bukan urusanku, tapi setidaknya aku ingin tahu sedikit saja tentangmu! Apa aku tak diperbolehkan untuk mengkhawatirkanmu?! Kau tidak tahu seberapa frustasinya aku yang tak bisa berbuat apa - apa! Aku sadar aku tak akan bisa mengubah apapun, tapi setidaknya aku ingin bisa ikut menanggung beban itu bersamamu!" serunya.
'Lalu kenapa harus repot - repot mencari tahu kalau kau tahu itu hanya akan menambah luka hatimu?' adalah kalimat yang terlintas di pikiranku begitu mendengar ucapannya. Walau begitu, kalimat itu tak bisa kuucapkan. 'Kau tak tahu seberapa frustasinya aku yang tak bisa berbuat apa - apa', kalimatnya itu berhasil menahan diriku untuk tak mengucapkannya, sekaligus membuatku sadar akan satu hal. Kenyataan bahwa ikatan ini, keresahan ini, rasa frustasi ini tak hanya kurasakan secara sepihak. Dia juga merasakan hal yang sama. Dan begitu menyadari semua itu, aku juga menyadari hal lain yang menyedihkan. Bahwa sebenarnya kami berdua mungkin hanyalah dua orang egois yang saling ketergantungan satu sama lain.
Kenyataan bahwa aku bisa mendengar suaranya dan bisa berbicara dengannya melalui pikiran itu tentunya berlaku dua arah. Aku mengingat hari - hari di mana aku merasa seperti orang gila, frustasi pada diri sendiri dan pada dunia. Hari - hari di mana aku marah kepada Tuhan karena memberikan aku kehidupan yang tak normal seperti ini. Hari - hari di mana aku menangis dan berdoa--berteriak sekuat tenaga di dalam hati kepada Tuhan untuk menghentikan semua kegilaan ini dan membiarkan aku hidup normal seperti orang lain. Hari - hari di mana aku selalu ketakutan dengan pandangan orang lain. Di mana aku selalu ketakutan kalau suatu saat keluarga atau sahabat terdekatku mengetahui rahasia ini dan memandangku sebagai orang gila. Perasaan itu, apakah dia juga merasakannya? Apa dia juga melalui masa - masa itu? Hari itu untuk pertama kalinya aku memikirkan hal itu.
Ketika dia bertanya 'apa kau baik - baik saja?', sebenarnya apa yang saat itu dia rasakan? Apa dia merasa gelisah atau takut? Karena kami hanya bisa berkomunikasi melalui pikiran tanpa dapat saling melihat ekspresi masing - masing atau bersentuhan sama lain, apakah dia takut jika suatu saat aku akan menghilang? Atau mungkin dia merasa tersiksa dan frustasi karena tak bisa berada di dekatku, dia khawatir kalau terjadi sesuatu padaku yang berada di luar jangkauannya dan tak bisa melakukan apapun. Karena itukah setiap hari dia bertanya 'apa kau baik - baik saja?' padaku?
Betapa menyedihkannya pemikiran itu.
Tetapi di sisi lain, aku merasa dia tak keberatan dengan menjadi menyedihkan. Daripada ketakutan dengan pandangan orang lain, dia lebih ketakutan kalau aku menghilang atau meninggalkannya. Yah, mungkin itu hanya pemikiranku saja. Namun setelah kupikir kembali, mungkin itu bukan hal yang mustahil. Sebab aku pun terkadang berpikir seperti itu.Ada kalanya aku ketakutan kalau dia menghilang begitu saja dari hidupku. Aku ketakutan kalau pada akhirnya dia benar tak nyata dan hanya imajinasi belaka. Sebab selama ini aku selalu berusaha mempercayainya--aku ingin mempercayainya--bahwa suatu saat masa penantian ini akan berakhir dan kami akhirnya bisa bertemu. Kurasa dia pun pasti merasakan ketakutan yang sama. Karena dia memiliki keyakinan yang lebih besar dariku, kurasa ketakutan yang dirasakannya pastilah lebih besar.
Akhirnya aku mengerti mengapa manusia selalu saja berusaha mempertahankan keyakinan mereka sendiri walau harus menyakiti orang lain atau menginjak - injak kepercayaan orang lain. Itu karena mereka ketakutan. Ketakutan kalau kepercayaan--keyakinan mereka itu salah. Takut kalau harus kehilangan semua yang mereka perjuangkan. Takut kalau mereka harus menghadapi konsekuensi dari apa yang telah mereka lakukan demi mempertahankan keyakinan mereka itu. Karena itulah, mereka bersikeras mempertahankan keyakinan mereka walau seluruh dunia dan bahkan hati mereka sendiri berusaha meyakinkan mereka kalau apa yang mereka percayai itu salah.
Kepercayaan, keyakinan. Kata - kata itu terdengar begitu sederhana namun memiliki makna yang sangat dalam. Cukup dalam untuk mengubah hidup seseorang. Cukup dalam untuk menyakiti seseorang, atau bahkan menghancurkan orang itu sendiri. Menyedihkan memang, tapi inilah realita. Terkadang untuk mempertahankan keyakinanmu, kau harus tega menghancurkan keyakinan orang lain.
Kami berdua pun mungkin juga seperti itu. Demi mempertahankan ikatan yang rapuh ini, sudah berapa banyak orang yang kami kecewakan. Berapa banyak tangan yang kami lepaskan. Yang kami tepis demi mempertahankan keyakinan yang tak jelas ini.
Memikirkan hal itu, entah berapa banyak kali aku berpikir untuk memutuskan ikatan ini. 'Aku tak ingin lagi menyakiti orang lain' itu hanyalah alasan. Aku hanya ketakutan karena tak ingin kecewa. Yang tak ingin kusakiti itu adalah diriku sendiri dan bukannya orang lain. Karena pemikiran ini jugalah, aku semakin membenci diriku sendiri. Dan aku yakin, dia pun merasakan hal yang sama.
Walau begitu, dia tetap tersenyum setiap kali berbicara denganku. Selalu mendorongku untuk percaya. Selalu menyemangatiku ketika melihatku mulai kehilangan kepercayaan. Selalu menegurku ketika aku mulai berjalan ke arah yang salah. Walaupun yang bisa kulakukan hanya menyakitinya, menginjak - injak keyakinannya, dan menutup diri darinya setiap kali aku merasa lemah. Walau yang kulakukan hanyalah melindungi harga diriku dan sama sekali tak pernah memikirkan perasaannya.
Aku menatap layar komputerku sambil mendengar kata demi kata di dalam lirik lagu yang dinyanyikannya.
Curang. Curang. Curang...
Kalau kau selalu bernyanyi seperti itu, selalu mengatakan hal itu, selalu memikirkan aku seperti itu, aku tak akan bisa lepas dari sikap egois ini selamanya. Aku akan selamanya akan menyusahkanmu. Aku akan selalu merasa terbiasa dengan kebaikanmu.
Aku yang tak bisa membalas perasaanmu. Aku yang masih tak bisa jujur pada diriku sendiri. Aku yang hanya bisa memikirkan perasaanku sendiri, tak pantas untuk menerima semua kebaikanmu.
"Kalau kita bertemu suatu saat nanti, ingatkan aku untuk memukulmu seribu kali," ujarku.
"Ha?! Kenapa?!" dia terkejut.
"Karena kau menyebalkan dan aku membencimu," gumamku.
"Apa yang telah kulakukan?" tanyanya.
"Entahlah," jawabku singkat.
Aku tahu dia ingin protes, tapi terlalu tertegun untuk bisa membalas lagi.
"Asalkan jangan di wajah, aku tak keberatan," ujarnya kemudian.
Aku tertegun. "Kau menjijikkan," ujarku. "Apa kau masochist?!"
Dia hanya terkekeh, dan aku dipaksa untuk menunjukkan ekspresi jijik.
"Kalau kita bertemu ingatkan aku untuk menjaga jarak darimu," ujarku.
"Eh? Kenapa?" tanyanya, bingung.
"Aku tak ingin punya hubungan dengan seorang masochist gila sepertimu" ujarku.
Dia tertawa kencang. Aku menggeleng - gelengkan kepalaku.
"Aku bersumpah kalau kau berusaha mendekatiku dengan tampang seperti itu, aku akan menghajar wajahmu!" ujarku.
"Memangnya kau bisa melihat seperti apa ekspresiku saat ini?" ujarnya dengan nada mengejek.
Menyebalkan. "Aku tak perlu melihatnya, aku cukup membayangkannya!" ujarku tak mau kalah.
Dia terkekeh. "Kau lucu juga," ujarnya.
Aku semakin naik darah. "Kau! Aku tak peduli kau itu siapa, walau kau seorang idol sekalipun, aku bersumpah akan menghajarmu! Aku akan menghajar wajahmu sampai semua orang tak akan bisa mengenalimu lagi!!" seruku.
Dia tertawa lagi. "Aku tak sabar menunggu," ujarnya.
"Dasar masochist!! Kau gila!" seruku.
Reaksiku hanya membuatnya semakin tertawa semakin kencang. Dan entah mengapa, walau aku tak bisa melihat wajahnya, aku bisa membayangkan ekspresi bahagianya di kepalaku. Walau masih kesal, bayangan itu berhasil membuatku terkekeh dan tersenyum. Memikirkan ternyata aku bisa membuatnya tertawa dan tersenyum seperti itu sudah cukup membuatku merasa bahagia. Membuatku semakin tak sabar ingin melihat seperti apa wajahnya yang sebenarnya ketika sedang tertawa. Seperti apa ekspresinya ketika tersenyum. Tetapi, tentu saja semua pemikiran itu kusimpan sendiri di dalam hati dan kututup rapat - rapat, dan tak pernah sekali pun kukatakan padanya.
Aku tak ingin dia menyadari kalau ikatan yang disangkanya rapuh ini mulai berubah menjadi rantai besi yang kuat dan mengikat kami berdua lebih erat. Karena itu, maafkan aku, untuk sekali ini saja biarkan aku menyakitimu lagi.
"Hei, kemarin kau bilang kalau kau mau menceritakan semua tentang dirimu padaku, kan?"
"Ya, walau mungkin tidak bisa semua. Tapi karena kau sudah tahu siapa aku, aku bisa sedikit cerita padamu," ujarnya.
"Soal hal itu, aku sudah memikirkannya baik - baik, dan aku memutuskan kalau kau tak perlu menceritakan apapun padaku," ujarku.
"Kenapa? Apa kau tak ingin tahu tentang diriku? Bukannya kau bilang tidak adil jika hanya aku yang tahu tentang dirimu?" tanyanya, sedikit panik.
Aku menghela nafas panjang. "Kau benar. Tapi aku merasa tak perlu mengetahuinya sekarang," ujarku.
"Kenapa?"
"Alasannya masih tetap sama. Karena aku tak ingin berharap lebih. Aku percaya padamu, tapi untuk bisa membuka hati dan mengenalmu lebih jauh di keadaan kita saat ini, kurasa itu masih mustahil bagiku," jawabku.
Dia terdiam.
"Walau aku tahu macam - macam tentangmu sekarang, itu tak akan ada gunanya untukku. Aku tak akan bisa berbuat apapun dengan semua informasi itu. Dan itu hanya akan menambah beban pikiranku. Karena itu kupikir kita harus tetap bertahan dengan keadaan seperti selama ini," ujarku lagi. "Dengar, kau bahkan tak tahu nama asliku, dan begitu pula sebaliknya. Walau aku tahu kau berada di mana, dan kau tahu aku di mana, tapi kita bahkan tak bisa mengenali satu sama lain. Bahkan walau seandainya aku bisa pergi ke tempatmu berada, ada kemungkinan kita tak akan bertemu, atau saling berselisih jalan. Walau kita sudah cukup lama berkomunikasi, kau harus sadar kalau kita masih tetap orang asing yang tak saling mengenal."
Dia masih tetap terdiam.
"Sekalipun aku sudah tahu siapa dirimu yang sebenarnya, itu bukan berarti aku bisa dengan mudahnya datang padamu dan berkata 'hei, apa kau ingat padaku?' atau 'hei, ini aku', dan begitu pula sebaliknya. Tentunya kau sudah mengerti semua itu, kan? Makanya aku ingin hubungan kita untuk sementara ini tetap seperti ini. Aku ingin semuanya berjalan secara natural jika waktunya tiba. Kita tak hidup di dalam cerita dongeng atau novel. Ini adalah kenyataan. Ini realita! Semua tak akan berjalan semudah yang kita pikirkan," jelasku.
Dia mengeluarkan sebuah tawa kecil yang pahit.
"Aku tidak suka kalau kau berpikiran negatif pada diri sendiri, tapi aku paling benci ketika kau berbicara secara logis tentang realita seperti ini," gumamnya. "Itu membuatku kembali menyadari kenyataan yang tak pernah ingin kupikirkan."
"Apa kau ingin lari dari kenyataan?" tanyaku.
"Tidak," ujarnya. "Hanya saja aku kesal karena perkataanmu benar dan walau betapa inginnya aku berseru dan menyangkal semua itu, aku tak bisa berbuat apa - apa. Aku tak bisa menyangkalnya."
Aku menghela nafas. "Maafkan aku, tapi kurasa ini yang terbaik untuk kita saat ini," ujarku.
"Ya," gumamnya.
Aku sedikit lega mendengar jawabannya.
"Tapi..." ujarku lagi, dan sepertinya aku berhasil menarik perhatiannya lagi. "Begitu kita bertemu nanti, begitu kita telah saling mengenal satu sama lain, aku ingin kau menceritakan semuanya tanpa ada satu rahasia pun! Mengerti?!"
Ada hening di antara kami selama beberapa saat. Lalu beberapa detik kemudian, tawanya menggema di kepalaku.
"Hahaha...OK! Aku janji!" serunya girang.
Aku sekali lagi menghela nafas lega ketika mendengar tawanya. Sepertinya mood-nya kembali membaik.
"....--kurlah..."
Sesaat aku tertegun dan terpaku. Jauh di dalam diriku, aku seperti mendengar sebuah suara yang memanggil. Suara bintang, apakah aku mendengarnya lagi? Apa ada orang lain lagi? Tidak. Ini berbeda. Suara bintang yang kali ini kudengar tak berasal dari luar seperti suaranya. Suara bintang yang kudengar ini berasal dari dalam diriku sendiri. Seperti suara hati yang menggema keras dalam diriku.
"S-Siapa di sana?" aku menggumam pelan dalam hati.
Dan suara bintang yang samar itu menjawab perlahan. Ketika itulah aku sadar bahwa di jalan warna - warni yang panjang, yang selama ini tak hentinya kulalui sendiri, akhirnya muncul sebuah gerbang. Langit malam yang gelap dan hitam yang menyelimutiku mulai berubah. Sebuah bintang kecil telah lahir dan sedikit demi sedikit menerangi langit malam yang gelap.
Salam kenal, diriku, namaku adalah 'harapan'...