"Aku ingin kembali menjadi anak laki - laki," ujarku suatu hari.
"Ha?"
"Aku ingin jadi anak laki - laki," ujarku lagi.
"Kenapa?" tanyanya.
"Laki - laki itu lebih bebas, tak banyak aturan. Jadi anak perempuan itu repot. Harus bisa jaga diri, harus menjaga manner, harus selalu menjaga imej di mata publik," jawabku. "Kalau aku laki - laki mungkin orang tuaku juga bisa lebih bisa tenang dan tidak harus selalu mengatur ini - itu, atau khawatir ini - itu."
Dia terdiam sebentar. "Adikmu perempuan juga, kan? Tapi orang tuamu tidak terlalu mengkhawatirkannya dan selalu mendukung pemikirannya," ujarnya. "Kau yakin masalahnya bukan pada dirimu sendiri?"
Ucapannya memaksaku mengeluarkan ekspresi kesal. "Aku benci kalau kau benar," ujarku.
Dia terkekeh.
"Tapi aku tetap berharap kalau aku ini laki - laki," ujarku.
"Kenapa?" tanyanya, bingung.
"Baju anak laki - laki yang dijual di department store itu keren - keren! Ada yang imut juga tapi tetap terlihat keren!" ujarku.
Dia tertawa. "Kalau itu sih tanpa harus jadi laki - laki pun bisa kau lakukan," ujarnya.
Aku menggembungkan pipi. "Kau tidak mengerti! Ada pakaian yang hanya kelihatan cocok dan imut kalau dipakai oleh anak laki - laki! Walau kubeli dan kupakai tetap saja terlihat kurang bagus karena aku perempuan!" seruku.
Dia tertawa lagi. "Itu hanya perasaanmu saja. Menurutku kau akan tetap kelihatan imut memakai pakaian apapun," ujarnya.
"Kenapa kau begitu yakin? Kau kan tidak pernah melihat seperti apa rupaku?" ujarku.
"Aku yakin saat aku melihatmu pasti kau tetap terlihat imut," ujarnya.
Aku refleks menatap ke arah cermin di kamarku. "Kau bicara seolah kau tahu semuanya. Aku tak mau tahu kalau kau akan menyesal pada akhirnya," ujarku.
"Kau terlalu memandang rendah dirimu," ujarnya.
"Aku bukannya berpikiran negatif, tapi sejujurnya aku tak bisa membayangkan kalau bisa merasa percaya diri berjalan di sampingmu," ujarku.
"Itu namanya berpikiran negatif," ujarnya.
"Ya, ya terserahlah," pintaku. "Tapi, aku tetap tidak terima! Setiap melihat wajahmu di komputer aku merasa ingin menghajarmu sampai babak belur."
"Kenapa??"
"Itu karena kau membuatku merasa minder. Kenapa aku harus merasa minder seperti ini?! Kenapa aku harus merasa tidak pantas dan tak percaya diri untuk bisa bertemu denganmu?!" seruku.
Dia tertawa kencang.
"Kau! Kau ini padahal kalau dibandingkan denganku kau bukan apa - apa! Kau hanya menang di tampang dan pamor!" ...dan di talenta, bisikku dalam hati. "Kenapa aku harus merasa minder pada anak cengeng, manja, lemah, dan masochist sepertimu!?"
Kau yakin sedang tak membicarakan dirimu sendiri? samar pertanyaan itu muncul di dalam kepalaku.
Dia hanya tertawa mendengar ucapanku tanpa merasa tersinggung sedikitpun.
"Apa yang lucu? Dasar masochist!" ujarku.
Dia menghentikan tawanya dan kembali berbicara, "Bukan begitu. Aku hanya merasa kau berubah," ujarnya.
"Hah? Berubah? Aku?" tanyaku.
"Ya," jawabnya. "Sekarang kau lebih bisa bicara leluasa denganku tanpa memikirkan hal - hal yang tak penting. Kau juga sudah mulai berhenti berpikir negatif tentang dirimu dan dunia. Kau terlihat lebih percaya diri."
Aku tertergun. "Kau merasa begitu?"
"Ya," jawabnya.
"Yah, aku hanya bosan kalau harus berpikir negatif terus. Itu bodoh. Lagipula selama ini aku merasa bodoh kalau harus hidup menuruti pandangan orang lain. Aku adalah aku. Masa bodoh dengan apa yang mereka katakan. Mereka hanya orang - orang sok tahu yang merasa mengenalku padahal sama sekali tak tahu apa - apa. Aku sudah malas mengurusi mereka," ujarku.
"Daripada percaya diri, mungkin sebaiknya kukoreksi jadi sarkastik," pintanya.
"Apa salahnya aku memandang rendah pada orang yang memandang rendah padaku?" ujarku. "Mereka menyedihkan."
Dan dia tertawa lagi. "Kau ada benarnya," ujarnya.
Aku terdiam sejenak. "Hei, jangan mendukung pikiran bodohku!" tegurku.
"Oh? Kau sadar kalau yang kau ucapkan bodoh?" ejeknya.
"Tentu, Tuan Putri. Berhentilah mengolokku!" ujarku.
"Lalu kenapa kau mengatakannya?" tanyanya.
"Untuk kepuasan diri sendiri," jawabku, kesal.
Dia terkekeh. "Sadist," ujarnya.
"Diamlah, maso!" balasku.
"Tapi kau benar - benar berubah," ujarnya kemudian. "Boleh aku tahu apa yang membuatmu berubah seperti itu?"
Aku menyeringai. "Karena aku adalah 'harapan'," ujarku.
"Harapan?" tanyanya, bingung.
"Ya, aku yang sekarang adalah 'harapan'. Aku sudah memutuskan untuk hidup penuh sesuai keinginanku dan tanpa penyesalan. Aku tak akan lagi menyerah dan mengeluh. Yang menentukan jalan hidupku adalah diriku sendiri!" ujarku. "Yaah...walau mungkin ada hari di mana aku akan kembali berpikir negatif atau mengeluh, tapi itu bukan masalah. Yang penting adalah sekarang aku akan tetap berjalan di jalan yang baru ini. Hidupku baru saja dimulai!"
Beberapa saat hening menyelimuti kami berdua.
"Kau siapa?" tanyanya tiba - tiba.
"Ha? Apa maksudmu? Aku ya aku," ujarku.
"Tidak, tidak. Kau berubah terlalu drastis! Kau yang kukenal bukan orang yang akan dengan percaya diri mengucapkan kalimat yang tadi kau ucapkan!" serunya.
"Apa maksudmu?" tanyaku, bingung.
"Kau selama ini selalu seperti langit malam yang gelap, tapi sekarang kau seperti--"
"Bintang?" ujarku.
"Ya, betul. Bintang!" serunya.
"Tentu saja. Bukankah sudah kubilang aku adalah 'harapan'? Aku yang sekarang memiliki jutaan cercah cahaya yang membantuku bersinar! Mimpi yang kuimpikan tak lagi terasa mustahil," ujarku.
"Kau menemukan mimpimu?" tanyanya.
"Ya, walau harus kuakui kali ini jalan menuju mimpi itu akan lebih sulit dari sebelumnya," ujarku.
Dia terdiam sesaat. "Siapa yang membuatmu menyadari hal itu?"
Aku tersenyum. "Banyak orang," jawabku, membuatnya tertegun. "Apa kau sadar kalau di dunia ini banyak sekali orang - orang hebat? Walau mereka bukan artis, walau bukan pemimpin, walau hanya orang biasa, tapi mereka semua memiliki cahaya dan karisma sendiri. Mereka benar - benar menakjubkan! Seluruh dunia mungkin akan menganggap mereka aneh atau tak waras, tapi dibalik itu semua mereka juga sebenarnya takjub pada mereka semua. Dan suatu hari nanti aku yakin seluruh dunia pasti akan mendukung mereka, meniru mereka!"
"Siapa saja mereka itu?" tanyanya.
"Tentu saja orang - orang yang berada di sekitarku, juga orang - orang hebat di seluruh dunia," ujarku seraya tersenyum.
"Aku iri pada mereka," ujarnya.
"Kenapa?" tanyaku.
"Karena mereka bisa mengubahmu dengan mudah," jawabnya.
"Apa maksudmu? Bukankah salah satu dari orang - orang itu adalah dirimu?" ujarku.
Dia tertegun. "Kau serius?!"
"Ya, tentu saja. Justru aku paling berterimakasih padamu," ujarku. "Kau banyak membantuku melewati masa - masa sulit dan banyak bersabar dengan sikapku yang egois. Kalau bukan karenamu, aku pasti sudah melenceng dari jalan yang benar. Karena kau selalu menegurku, dan mengingatkan aku tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuanku, maka aku yang sekarang bisa terlahir. Aku benar - benar bersyukur bisa mengenalmu. Terima kasih."
Dan setelah itu aku tak bisa mendengar suaranya untuk beberapa saat. Walau begitu aku tahu kalau dia masih berada di sana, masih mendengar suaraku.
"Apa aku boleh tahu apa impianmu itu?" tanyanya kemudian.
Aku tersenyum. "Aku ingin menjadi bintang yang bersinar terang di langit malam. Yang membimbing dan membawa harapan untuk semua orang yang mendengar suaraku. Sama seperti orang itu," ujarku.
"Maksudmu kau ingin menjadi--"
"Yap! Benar sekali," ujarku.
"Yang benar?!" serunya.
"Tentu saja. Apa kau pikir aku bercanda?" ujarku.
"Tidak, tidak. Tentu tidak," ujarnya.
"Aku tak akan kalah darimu," ujarku. "Aku akan membuktikan pada semua orang bahwa bukan aku yang tak pantas berjalan bersamamu, tapi sebaliknya!" aku menyeringai.
Dia lalu kembali tertawa dan kemudian menghilang begitu saja seperti hari - hari biasanya. Aku menghela nafas panjang. Waktu telah habis. Aku lalu berbaring di atas tempat tidur dan kembali memikirkan kembali kata - kataku sendiri.
'Menjadi bintang yang bersinar terang di langit malam', itu hal tergila yang perah kupikirkan. Namun, entah mengapa aku merasa hal itu tak mustahil. Aku pasti akan banyak menangis, akan banyak tersiksa karena impian itu. Tapi itu bukan masalah. Aku bukan lagi anak SMA ababil yang hanya bisa memikirkan diri sendiri, yang sok tahu tentang dunia tapi sebenarnya tak tahu apa - apa. Yang hanya bisa menyalahkan orang lain dan merasa paling benar. Aku telah bertemu dengan banyak orang dan mulai belajar melihat sekeliling.
Aku lalu menatap komputerku dan memfokuskan pikiran pada lagu yang mengalun dari speaker komputer. Marvelous Road, jalan yang kau pilih mungkin akan penuh air mata dan penyesalan. Jalan yang kau tempuh mungkin akan penuh dengan angin dingin yang menusuk hatimu, membuatmu ingin menyerah. Dan kata - kata orang - orang di sekitarmu mungkin akan menggoyahkan keyakinanmu. Walau begitu cahaya yang membimbingmu tak akan pernah hilang. Jika kau selalu percaya dan tetap tak menghentikan langkahmu.
Saat ini aku belum bisa melakukan apa - apa. Aku masih berdiri di depan gerbang tanpa tahu bagaimana cara membuka gerbang itu. Tetapi melodi dari bintang - bintang yang membimbingku selamanya tak akan pernah hilang. Musik telah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa musik. Dan aku lebih memilih mati daripada harus kehilangan kemampuanku untuk bernyanyi.
Aku sadar kalau suaraku saat ini bahkan tak bisa menggapai orang - orang terdekatku. Dan aku sadar kalau aku masih kehilangan perasaan dan ketulusan dalam mengungkapkan perasaanku. Tapi karena itu pula aku harus pergi, kembali menjelajahi jalan - jalan yang pernah kulewati, demi menemukan tanda - tanda yang mungkin pernah kulewatkan karena selalu berjalan menatap ke bawah. Kini aku mulai berjalan menatap ke depan sambil memandangi langit biru yang tak pernah kusadari berada di sana sebelumnya. Melihat sekeliling sambil belajar banyak hal dari banyak orang.
Dengan begitu, suatu hari nanti, kunci dari gerbang bintang yang tertutup itu pasti akan kutemukan.
Dan kali ini, aku pasti akan dapat memenuhi janjiku padamu...