Chereads / StellaLuna / Chapter 7 - Chapter 7: Lunaria

Chapter 7 - Chapter 7: Lunaria

Sejak kecil aku selalu mendengar kisah tentang Adam dan Eve. Tentang bagaimana Eve adalah setengah dari jiwa Adam, pasangan hidupnya, yang tercipta dari tulang rusuk Adam. Kemudian aku bertanya - tanya apakah arti dari pasangan jiwa, soulmate, apakah itu berarti mereka tercipta dari jiwa yang sama, yang kemudian dibagi dua dan dimasukkan dalam dua tubuh yang berbeda? Ataukah itu memang hanyalah sebuah ungkapan untuk memperindah saja? Entah yang mana yang benar, tak ada seorang pun yang tahu. Namun, belakangan ini, sejak hari di mana aku bertemu dengannya, aku merasa sedikit mengerti apakah arti dari pasangan jiwa itu.

Sejak dulu aku selalu merasa kehilangan sesuatu. Seperti ada saja yang kurang dari diriku, dan aku tak pernah merasa puas akan sesuatu. Sampai suatu hari di mana aku mendengar suaranya. Saat itu, walau hanya untuk sekejap saja, rasa tak puas itu menghilang. Apa yang kurasa kurang menjadi terpenuhi. Kekosongan itu hilang dalam sekejap bagaikan sihir. Aku merasa sempurna. Tak lagi merasa bagai manusia yang hidup dengan setengah jiwa. Dan di saat itulah aku tersadar. Bahwa selama ini aku hidup hanya dengan setengah jiwa. Perasaan kosong yang selama ini kurasakan adalah akibat dari hilangnya separuh jiwa dalam diriku. Dan aku tak akan pernah merasa terpenuhi selama aku belum menemukan penggalan jiwaku, tak peduli berapa banyak kali pun aku berusaha memenuhinya dengan sesuatu yang dapat memuaskanku walau hanya sementara. Akulah Sang Adam yang kehilangan tulang rusuknya. Akulah dia yang terus mencari dan mendambakan pasangan jiwanya yang berada jauh di sana.

Sejujurnya aku sedikit kesal dengan keadaan ini. Mengapa aku harus hidup dengan setengah jiwa? Mengapa akulah yang menjadi Sang Adam? Tetapi seperti biasa jawabannya selalu ada di dalam diriku. Pendosa tak punya hak untuk memilih. Ini adalah hukuman dan juga berkat dari Tuhan untukku. Dan juga keputusan yang kubuat sendiri. Yang bisa kulakukan, yang harus kulakukan hanyalah mensyukuri apa yang kumiliki saat ini. Mencoba mengubah hidupku sedikit demi sedikit, agar tak lagi menyakiti orang lain.

Namun Tuhan terkadang muncul sebagai seorang anak kecil yang usil. Di suatu hari, Ia datang dan berkata: "Apakah kau ingin mengakhiri kekosongan dalam dirimu? Apakah kau ingin mencoba bagaimana rasanya hidup dengan jiwa yang penuh?"

Dan untuk menjawab tantangan dari Tuhan, aku menyetujui permainan kecil-Nya. Sebab aku sendiri penasaran, apakah yang aku rasakan ketika semua kekosongan ini terpenuhi Bagaimana rasanya hidup tanpa harus lelah mencari dan mendambakan sesuatu lagi? Apakah penderitaan dan kesedihanku akan berakhir?

Lalu sejak saat itu, seperti janji Tuhan, aku tak lagi merasakan kekosongan dalam diriku. Tak lagi bisa mendengar suaranya.

Seumur hidup untuk pertama kalinya aku merasa ingin sekali mengutuk Tuhan. Ujian, atau keusilan, yang diberikan-Nya padaku membuatku hampir menjadi gila. Sebulan berlalu sejak hari itu dan aku masih tak bisa mendengar suaranya. Ikatan di antara kami bagai terputus tiba - tiba. Ikatan yang kuat bagai rantai besi itu telah diputus olehnya secara paksa. Dan walau memang Ia telah mengembalikan penggalan jiwaku yang hilang dan aku tak lagi merasakan kekosongan itu, tetapi rasa sakit dan rasa mual yang melilit perut itu tak kunjung hilang. Sebaliknya, rasa sakit itu semakin bertambah besar setiap harinya. Memaksaku untuk menangis setiap malam dan di saat aku terbangun di pagi hari.

Tak pernah kurasakan derita seperti ini sebelumnya. Aku merasa bagai kehilangan sesuatu yang berharga sebagai ganti dari rasa kepuasan sementara. Aku hidup bagai robot yang tak memiliki jiwa dan hanya bisa bergerak tanpa ada tujuan. Daripada ketika aku hanya memiliki setengah jiwa, aku merasa lebih kosong dan mati ketika memiliki jiwa yang penuh. Lubang dalam hatiku membesar dan membuatku hampir gila.

Aku pun sadar kalau mungkin inilah maksud Tuhan menciptakan manusia tidak sempurna. Karena Ia tahu bahwa ketika manusia tercipta sempurna, maka mereka akan kehilangan tujuan hidup. Karena itulah manusia tercipta memiliki potensi tak terbatas. Tak pernah merasa puas dan serakah. Sebab manusia yang tak memiliki keinginan apapun adalah sama dengan robot tak berjiwa.

Maka aku pun kembali berdoa kepada Tuhan. Berlutut dan memohon agar Dia mengembalikannya ke dalam hidupku. Mengembalikan ikatan kami yang telah diputuskannya. Agar aku dapat mendengar suaranya lagi.

Egois, memang. Tapi begitulah manusia. Manusia terus membuat pilihan yang salah dan menyesal di kemudian hari. Walau begitu aku tahu tak bisa lagi melanjutkan hidup tanpa dia. Meski aku sendiri belum tahu apakah perasaan yang kurasakan padanya adalah cinta atau hanya ketergantungan belaka.

Untungnya, Tuhan mengabulkan doa-ku dan keesokan harinya ikatan yang terputus itu kembali menyatu. Namun sebagai gantinya, suaranya tak lagi sering kudengar. Dan setiap kali kami kembali berbincang - bincang, dia selalu terdengar sedih.

Apakah ini ganti dari semua karunia Tuhan yang diberikan padaku? Ataukah memang waktu perjanjian telah tiba? Yang mana pun itu, jawaban yang kudapatkan atas pertanyaanku hanya 'Percayalah'. Percaya bahwa Ia tak akan menginkari janjinya. Percaya bahwa apapun yang terjadi kami berdua akan bertemu. Percaya bahwa ikatan ini jauh lebih kuat dari yang aku pikirkan.

Dan ketika keyakinanku mulai runtuh dan aku kembali terjatuh dalam ketakutan dan keraguan, Ia akan datang dan berkata: "Janganlah takut dan ragu! Aku selalu berada di sisimu. Kau telah sempurna di mataku. Kau sudah sangat cukup menjawab ekspektasi-Ku padamu. Aku mencintaimu apa adanya, kini dan sampai sepanjang masa."

Maka aku pun kembali berdiri, dengan keyakinan yang lebih besar dan kuat dari sebelumnya. Karena aku mempercayai kata - kata-Nya. Ia yang selalu berada di sisiku. Ia yang selalu mencintaiku, sang pendosa ini, apa adanya. Ia yang selalu dan tak pernah kenal lelah membimbingku ke arah yang benar.

Aku memilih untuk percaya pada Tuhan dan padanya yang menungguku di ujung langit malam. Sang bulan yang terus - menerus mempercayaiku dan menantiku di negeri yang jauh. Yang terus - menerus menyanyikan lagunya hanya agar dapat menggapaiku. Yang membantuku untuk tetap dapat bersinar walau tertutup awan gelap di langit malam.

Dan walau kini aku hampir tak bisa mendengar suaranya lagi, aku bisa merasakan ikatan di antara kami semakin bertambah kuat setiap harinya, dan aku selalu bisa merasakan hawa kehadirannya di sampingku ketika aku tidur setiap malam.

Setiap aku ketakutan sendirian di malam hari yang gelap, cahaya rembulan selalu bisa membuatku tenang. Bulan yang selalu kubenci, namun juga kucintai. Bulan yang selalu bisa bersinar lebih terang daripada bintang, walau bersinar dengan bantuan cahaya sang mentari dan bukan dengan cahaya sendiri.

Dan seperti biasa, aku selalu saja bertanya: Apa yang dapat membuatnya bisa bersinar seterang itu? Apa yang bisa membuatnya bisa tak kalah dari gelap malam? Apa yang membuatnya bisa selalu dapat mengalahkan cahayaku, si bintang kecil, yang selalu berusaha untuk mempertahankan cahaya kecilku di tengah lautan kegelapan sang malam?

Aku yang mengagumi sang mentari, serta mencintai sang rembulan. Aku yang bermimpi menjadi bintang yang terang seperti Spica dan Sirius. Entah masa depan seperti apa yang akan tercipta dari pertemuanku dan sang bulan. Aku yang sekarang masih belum bisa membayangkannya.

Bahkan ketika seseorang bertanya padaku: 'Apa yang akan kau lakukan jika walau setelah kalian bertemu, ujian dan cobaan yang kalian terima masih terus berlanjut?' Sejujurnya aku tak mengetahui jawaban yang pasti. Namun entah mengapa, ada keyakinan di hatiku, bahwa walaupun suatu saat nanti masih banyak cobaan yang akan kami hadapi, kami berdua akan bisa melewatinya dengan mudah. Karena saat itu, sang bintang akan bercahaya lebih terang dan sang bulan akan berada di sisinya untuk menerangi langkahnya.

Dan dari keyakinan itu, tanpa kusadari, cahaya dari bintang dalam hatiku membentuk sebuah permohonan kecil yang berhasil menggerakkan roda takdir yang sempat terhenti.

Aku adalah harapan. Aku ingin melindungi semuanya dengan cahayaku. Walau suatu hari nanti aku akan terbakar habis oleh cahayaku sendiri, aku tak ingin berhenti berlari...