Chapter 11 - Tuban

Dua hari menunggu dan berkemah di hutan pohon pinang di sekitar aliran Sungai Bengawan Solo, Raden Kuning tak ada khabar berita. Bujang Jawa dan Punggawa Tuan khawatir. Sore itu, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk mencari tahu di daratan. Punggawa Tuan kemudian mendayung perahu kembali menuju pelabuhan Tuban. Di antara puluhan kapal pedagang dan nelayan, perahu kecil yang berisi prajurit Djipang itu melempar sauh menambatkan tali di dermaga.

Sore itu Pelabuhan Tuban seperti biasa sangat ramai dengan aktifitas bongkar muat. Kesibukan paling banyak terlihat di kapal besar milik pedagang Bonyaga. Ya, pelabuhan Tuban memang merupakan pelabuhan yang disinggahi oleh kapal dari manca negara. Pedagang Bonyaga merupakan pedagang yang memiliki jalur perdagangan hingga ke Cina, Turki dan India dan negara di Timur Tengah serta negara-negara di benua Eropa.

Ya, untuk para pedagang sendiri dibedakan menjadi tiga kategori, yang pertama yaitu pedagang abakul atau pedagang lokal. Mereka merupakan pedagang yang berdagang di wilayahnya sendiri dengan menjual barang-barang eceran. Kedua adalah pedagang adagang yaitu pedagang yang menjual barang dagangannya hingga ke desa-desa tetangga dan antar kota. Ketiga adalah Bonyaga, yaitu seorang yang wilayah perdagangannya hingga keluar negeri, ia akan membawa barang dagangan yang dihasilkan wilayahnya untuk dibawa keluar wilayah yang membutuhkan barang tersebut. Begitupun sebaliknya mereka kembali ke wilayah asalnya dengan membawa komoditas atau barang dagangan yang tidak ada diwilayahnya agar untuk dijual kembali.

Di Pelabuhan Tuban banyak dijumpai kalangan bonyaga, karena kelompok pedagang asing banyak yang tinggal disana untuk menunggu angin baik agar dapat berlayar kembali ke Negara asalnya, dan selain itu setiap pedagang asing mempunyai kantor dagang yang berdekatan dengan pelabuhan untuk memudahkan jalannya perdagangan, sehingga dapat dijumpai banyak bonyaga di pelabuhan-pelabuhan besar. Pembagian kategori pedagang itu telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit di mana Tuban adalah salah satu wilayah Majapahit.

Tuban merupakan salah satu kota dari sekian kota cabang atau ranting di jalur sutera laut pelayaran perdagangan yang melewati Selat Malaka. Tuban merupakan negeri yang rindang dan menghasilkan beras dalam jumlah yang besar dari pedalaman. Tuban juga menghasilkan berbagai jenis kayu, anggur, ikan dan air berkualitas. Selain itu Negeri Tuban juga menghasilkan banyak asam dan cabe Jawa, dan memiliki berbagai daging, yaitu daging sapi, daging kambing, daging rusa, daging ayam dan buah-buahan.

Perdagangan yang terjadi antara Cina hingga ke India ini didukung oleh kapal-kapal dari Nusantara yang menghubungkan antara keduanya. Dengan kata lain Nusantara sebagai jalur yang dilewati dan sebagai tempat transitnya barang dagangan dari Cina untuk dikirim ke India dan juga sebaliknya. Dengan transitnya mereka di Pelabuhan-pelabuhan Nusantara menjadikan komoditas dari Nusantara juga laku keras di pasaran Eropa dan juga India.

Dijadikannya Pelabuhan Tuban sebagai cabang atau ranting jalur perdagangan internasional sangat diperhatikan oleh para pedagang bonyaga untuk memanfaatkan pasar. Ada pula kelompok pengrajin yang menghasilkan barang-barang dagangan untuk dijual di pasar-pasar atau untuk menjadi barang komoditas ekspor ke berbagai wilayah lain maupun ke luar negeri.

Kelompok ini disebut sebagai paramicra yang meliputi pembuatan keranjang dari daun kelapa (magawai kisi), pembuatan Upih (mopih), anyam-anyaman (manganamanam), dan pembuatan priuk dari tembaga (dyun). Selain itu ada juga pembuat tali (mangapus), pembuat jerat burung (makala manuk), dan pembuat arang (mangaren).

Bujang Jawa dan Punggawa Tuan dengan sigap melompat ke daratan. Mereka berdua jalan beriringan. Bekal makan yang dibawa telah habis dan Bujang Jawa merasa perutnya berkeriukan sejak sore tadi.

"Bujang, kita harus mengisi perut terlebih dulu. Tak tahan aku menahan lapar seperti ini."

Badannya yang besar tinggi itu nampak lucu di mata Bujang Jawa. Terlebih ketika bicara tadi, Punggawa Tuan memegangi perutnya.

"Aih.... Punggawa Tuan yang terkenal tidak ada takutnya ini ternyata takut lapar."Bujang Jawa terkekeh. Suaranya yang besar bahkan membuat kaget anak-anak kecil yang berkeliaran di sekitar dermaga.

Tembok batu yang mengelilingi kota Tuban nampak terlihat dari pelabuhan. Bujang Jawa dan Punggawa Tuan belum akan ke sana, tetapi akan menelusuri petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Raden Kuning di sekitar pelabuhan. Keriukan perut Punggawa Tuan juga akhirnya tanpa mereka sadari mengarahkan ke warung kopi tempat Raden Kuning meninggalkan petunjuk. Keduanya bergegas menuju warung itu.

Di depan warung nampak seorang pria buta bersorban duduk bersemedi melantunkan kisah tentang kerajaan Demak. Di depan tempat ia bersimpuh, ada batok kelapa yang berisi beberapa kepeng uang Demak. Ia sepertinya pengamen yang menjajakan kisah lewat suara.

Suaranya kendati halus, tetapi terdengar oleh orang yang lalu lalang di sana, termasuk dua prajurit Djipang yang sedang kelaparan itu. Kidung yang dinyanyikan pria bersorban menarik perhatian keduanya.

(Bersambung)