Chapter 10 - Misteri Kidung Kyai

Kecemasan tak dapat ditutupi dari wajah gadis cantik itu. Akibatnya dzikir yang ia lantunkan dalam hatinya tak mencapai khusuk. Entah untuk alasan apa ia mengkhawatirkan pemuda yang baru saja dikenalnya ini. Ya, Putri Retno Wulan saat ini dalam keadaan yang serba tak karuan. Hatinya berdebar-debar saat memandang tubuh yang kini tak sadarkan diri itu. Air mata tak mampu dibendungnya. Hal itu terlihat dari sudut kerling matanya yang indah. Wuwu khawatir keadaannya ini diketahui oleh Eyang Kyai. Beruntung saja yang dikhawatirkannya tak kembali lagi ke petilasan. Biasanya Eyang selalu mengasingkan diri di kamar bacanya. Ia baru akan keluar menjelang waktu-waktu sholat.

Jarak petilasan dengan pesanggrahan cukup jauh, jaraknya dua ratusan depa. Jika ditempuh dengan berjalan kaki, kira-kira sependidih air. Subuh telah menyingsing, Wuwu telah selesai menunaikan kewajibannya menunaikan sholat. Dilihatnya tubuh Raden Kuning masih tak bergerak. Kesedihannya masih terlihat dari murung wajahnya, tetapi dalam hatinya Wuwu yakin bahwa tak mungkin Eyang Kyai membuat temannya ini celaka.

Sementara itu dalam ketidaksadarannya, Raden Kuning merasa berada dalam dimensi dunia lain. Hawa panas yang berputar-putar menggulung tenaganya dan masih tidak bisa dikendalikan. Raden Kuning hanya bisa berpasrah seraya terus mengumandangkan kidung Kawedar, hingga akhirnya pria berkulit kuning langsat itu teringat akan pesan dari gurunya Arya Penangsang.

"Dalam kidung Lir i lir tersembunyi sebuah makna yang jika diresapi akan menjadi sebuah kekuatan dahsyat. Kidung itu berisi ujar-ujar jika ilir adalah batas hidupmu, maka menggeliatlah dari matimu. Oleh karenanya engkau harus bangun hidupmu yang sekarang sebetulnya masih dalam keadaan tertidur."

Raden Kuning tetiba teringat pesan gurunya. Mengapa harus dimulai dari Lir i lir. Hilir kehidupan adalah mati. Untuk dapat melompat jauh ke depan, maka manusia harus pernah merasakan situasi antara hidup dan mati. Itu adalah fase pertama yang harus dilaluinya. Selanjutnya fase kedua ia harus menggeliat dari keadaan mati untuk hidup.

Sebagaimana nasehat gurunya bahwa hidup yang ternyata mati adalah pertentangan dari keadaan mati yang sesungguhnya. Otak Raden Kuning terus berputar dalam keadaan separuh mati itu ternyata ia justru bisa berpikiran jernih. Tentu saja hal itu disebabkan keinginannya yang sangat kuat untuk lepas dari keadaan tak berdayanya ini.

Otaknya terus melagukan kidung Lir i lir. Hingga ia menyadari ada bait 𝘊𝘢𝘩 𝘈𝘯𝘨𝘰𝘯 𝘗𝘦𝘯𝘦𝘬𝘯𝘰 𝘉𝘭𝘪𝘮𝘣𝘪𝘯𝘨 𝘒𝘶𝘸𝘪. 𝘊𝘢𝘩 𝘈𝘯𝘨𝘰𝘯 berarti anak yang dipelihara atau ditempa dengan ilmu sehingga diharapkan dapat menjadi pemimpin di masa mendatang. Dipelihara dan ditempa dengan ilmu. Itu adalah dua keadaan yang harus dilalui untuk menciptakan 𝘊𝘢𝘩 𝘈𝘯𝘨𝘰𝘯.

Selanjutnya muncul pertanyaan, mengapa perumpamaannya buah Blimbing. Sampai di sini Raden Kuning belum dapat memutuskan kesimpulan yang ada dalam otaknya. Akhirnya, iya menyadari hubungan antara Blimbing yang jika dibelah dengan pisau akan memunculkan bentuk segi lima. Itu adalah perlambang Rukun Islam. Lima perkara juga menyangkut kewajiban untuk mendirikan sholat lima waktu. Dan fase ini adalah fase pamungkas atau fase yang ketiga, yaitu dua ditambah lima artinya ia harus menyebarkan hawa panasnya ke tujuh titik syaraf vital dalam tubuhnya.

Iya mencoba mengingat ketika Eyang Kyai menotok tubuhnya di tujuh syaraf. Di leher, kedua pundaknya, dua titik di belikat dan dua titik di pinggang kanan-kiri. Jumlahnya tujuh titik. Seolah menemukan cara untuk lepas dari keadaannya sekarang, Raden Kuning mulai menjalankan fase yang pertama, mati.

Ia lalu menutup semua aliran darahnya. Benar saja, hawa panas yang menyiksa tubuhnya, perlahan-lahan kehilangan kekuasaannya. Dalam fase mati ini sesungguhnya membutuhkan waktu tak terhingga. Bisa tujuh, sepuluh atau bahkan hingga empat puluh hari atau lebih. Tetapi keajaiban terjadi, Raden Kuning hanya membutuhkan waktu satu hari dalam keadaan mati.

Hari telah berganti dari pagi menjelang pagi lagi. Dua hari ia dalam keadaan mati suri. Ketika subuh menyingsing, hawa panas membuka aliran darah Raden Kuning. Seketika ia bangun dari tidurnya.

Ya, Raden Kuning telah melewati fase yang pertama. Kini ia memasuki fase kedua. Tubuhnya masih terbaring di petilasan, tetapi matanya terbuka. Sinar matahari yang mulai muncul itu seolah sudah terikat janji dengannya untuk bangun bersama-sama.

"Uuuuhh..... Ada di mana aku?" Erangnya.

Putri Retno Wulan yang masih tafakur di dekatnya menyambut kesadaran Raden Kuning dengan senyum sumringah. Nampak di wajahnya perasaan bahagia tak terkira. Orang yang ditunggunya selama dua hari ini akhirnya membuka matanya.

"Alhamdulillah engkau telah siuman, Wira. Aku mengkhawatirkanmu!"

Wuwu lalu mengangkat tubuh Raden Kuning agar dapat kembali duduk bersemedi. Tetapi ia terkejut karena tindakannya itu justru membuat Raden Kuning kembali terjatuh kehilangan tenaga, lemas. Hanya matanya saja yang terbuka, sedangkan tenaganya tidak ikut siuman. Bergegas Wuwu berlari memanggil Eyang Kyai.

"Eyang tolong sahabatku, Wira!"

Belum sependidih air, Eyang Kyai ternyata telah datang. Kelebatan tubuhnya mendatangkan semilir angin sejuk dan wangi bunga Melati. Eyang Kyai tidak melakukan apa-apa kecuali duduk bersila dan menyanyikan kidung Lir i lir.

" 𝘓𝘪𝘳 𝘪𝘭𝘪𝘳 𝘭𝘪𝘳 𝘪𝘭𝘪𝘳 𝘵𝘢𝘯𝘥𝘶𝘳𝘦 𝘸𝘰𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘮𝘪𝘭𝘪𝘳

𝘛𝘢𝘬 𝘪𝘫𝘰 𝘳𝘰𝘺𝘰 𝘳𝘰𝘺𝘰

𝘛𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘱𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯 𝘢𝘯𝘺𝘢𝘳

𝘊𝘢𝘩 𝘢𝘯𝘨𝘰𝘯 𝘤𝘢𝘩 𝘢𝘯𝘨𝘰𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘦𝘬𝘯𝘢 𝘣𝘭𝘪𝘮𝘣𝘪𝘯𝘨 𝘬𝘶𝘸𝘪

𝘓𝘶𝘯𝘺𝘶 𝘭𝘶𝘯𝘺𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘦𝘬𝘯𝘢 𝘬𝘢𝘯𝘨𝘨𝘰 𝘮𝘣𝘢𝘴𝘶𝘩 𝘥𝘰𝘥𝘰𝘵𝘪𝘳𝘢

𝘋𝘰𝘥𝘰𝘵𝘪𝘳𝘢 𝘥𝘰𝘥𝘰𝘵𝘪𝘳𝘢 𝘬𝘶𝘮𝘪𝘯𝘵𝘪𝘳 𝘣𝘦𝘥𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘳 𝘋𝘰𝘯𝘥𝘰𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘫𝘳𝘶𝘮𝘢𝘵𝘢𝘯𝘢 𝘬𝘢𝘯𝘨𝘨𝘰 𝘴𝘦𝘣𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘬𝘰 𝘴𝘰𝘳𝘦

𝘔𝘶𝘮𝘱𝘶𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘦𝘮𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯𝘦

𝘔𝘶𝘮𝘱𝘶𝘯𝘨 𝘫𝘦𝘮𝘣𝘢𝘳 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘦

𝘚𝘶𝘯 𝘴𝘶𝘳𝘢𝘬𝘢 𝘴𝘶𝘳𝘢𝘬 𝘩𝘪𝘺𝘰"

Dalam ketidakberdayaannya, Raden Kuning masih sayup-sayup mendengar Eyang Kyai melantunkan kidung Lir i lir. Ia lalu menghayati kidung yang dilantunkan dengan langgam Jawa itu. Pada kali ketiga Raden Kuning menyadari ada susunan baku dari kidung itu, tiga baris-dua baris, dua baris-tiga baris. Hawa panas itu muncul lagi dalam ketidakberdayaannya yang kedua ini. Tenaganya semakin melemah dan nyaris merenggut kesadarannya kembali.

Raden Kuning akhirnya dapat menangkap maksud kidung yang dinyanyikan Eyang Kyai. Iya salah hitungan. Angka dua adalah kunci untuk melewati fase yang kedua, bangun dari kematian. Artinya dia harus menutup kembali jalan darahnya sehingga berada dalam posisi mati untuk kedua kalinya sebagai jalan untuk melewati fase ini. Hanya dengan cara itulah ia bisa bangun dengan selamat. Sebelumnya akalnya menghitung bahwa angka dua ditambahkan dengan angka lima sehingga menjadi tujuh untuk melewati fase yang ketiga. Akan tetapi jika cara ini benar, maka angka dua berdiri sendiri. Hal itu digambarkan oleh jumlah baris kidung tiga-dua, dan dua-tiga.

Lalu timbul fase ketiga masih belum dapat dipecahkannya. Arti segilima Blimbing? Apa maksudnya. Pertanyaan itu tidak sempat lagi terjawab olehnya. Tenaga Raden Kuning semakin melemah dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali menutup jalan darahnya sehingga ia kembali tertidur dalam posisi tak bernafas untuk kedua kalinya.

"Subhanallah, anak muda. Ternyata engkau sangat cerdas dan dapat menangkap intisari dari ilmu yang kuturunkan kepadamu. Engkau tenang saja, Wulan. Ia akan baik-baik saja setidaknya ia akan melewati fase yang kedua ini dengan selamat. Tugasmu masih sama, jaga ia agar latihannya tidak ada yang mengganggu."Eyang Kyai kemudian kembali ke pesanggrahan. Di tempat itu tinggal Wuwu dan Raden Kuning yang dalam keadaan tidak sadarkan diri.

***

(Bersambung)