Chapter 9 - Mendapat petunjuk

Di petilasan itu duduk Eyang Kyai, Raden Kuning dan Putri Retno Wulan. Dengan isyarat tanggannya Eyang Kyai meminta Wuwu mundur ke belakang. Kini dua lelaki berbeda zaman itu saling berhadapan. Sorot mata Eyang Kyai yang tajam seolah menusuk ke dalam sanubari Raden Kuning. Kendati ingin sekali ia menundukkan kepala, tetapi tatap mata itu seolah menghipnotis kesadarannya sehingga tak mampu ia menggerakkan kepala.

"Aku melihat engkau dalam seribu bentuk. Saat ini bentukmu jauh dari kepribadian sebenarnya. Mengapa engkau bersembunyi cucuku." Eyang Kyai memegang nadinya dan seketika ia kaget. Denyut nadi Raden Kuning menolak kehadiran benda asing. "Aih kau rupanyaโ€ฆ., Lir i lir!" Eyang sontak kaget. Sekilas diliriknya cucu muridnya Wuwu. Kemudian ia meneruskan perkataannya. "Engkau sepertinya berjodoh denganku, cucu. Tetapi ada satu syarat yang harus engkau penuhi."

"Nuwun sewu Eyang. Benarkah semua perkataan Eyang. Apa syarat yang harus aku penuhi?" Raden Kuning bertanya sambil membungkukkan pundaknya.

Eyang Kyai memalingkan pandangannya ke Putri Wulan. Dengan isyarat ia meminta cucu muridnya itu untuk pergi meninggalkan petilasan. Wuwu paham sekali jika Eyangnya seperti itu artinya ia tidak ingin diganggu. Wuwu kemudian menunduk hormat dan beringsut meninggalkan mereka berdua.

"Nadimu menolak kehadiranku tadi. Sepertinya engkau terbalik menafsirkan kidung Lir i lir yang diturunkan oleh Kakanda Sunan Ampel kepada Raden Fatah. Tidak perlu engkau bercerita, aku tahu asalmu dari Djipang dan engkau pastilah kerabat dekat Arya Penangsang. Hanya orang pilihan saja yang belajar ilmu sangkan paraning dumadi. Kau terkunci, Lir ilir....!"

Eyang Kyai lagi-lagi menghembuskan nafas beratnya. Raden Kuning hanya terdiam. Tak sanggup ia menjawab perkataan pria sepuh yang dihormati umat ini. Apa yang disampaikan olehnya semuanya benar. Ia mempelajari tafsir sangkan paraning dumadi yang berkaitan dengan kesatuan asal dan tujuan dan penciptaan manusia dan alam semesta. Kesemuanya kembali kepada satu Zat Yang Esa. Tetapi ia tak bisa menerjemahkan kidung Lir i lir. Akibatnya latihannya mentok. Setiap ia coba bangkit, nadinya berubah kacau.

"Dalem Eyang Kyai. Hamba mohon petunjuk. Apapun syaratnya dan resikonya, aku manut!"

"Baiklah. Syaratnya engkau harus rela akan kehilangan semua yang kau punya saat ini. Jika engkau memang berjodoh, engkau akan dapat menembus batas kemampuanmu, jauh sekali dari pencapaianmu sekarang. Tetapi jika engkau tidak berjodoh, maka dirimu akan jadi orang biasa selamanya."

Syarat yang disampaikan Eyang Kyai itu sangat berat untuk dilakoni Raden Kuning. Terlebih saat ini ia sedang bertugas sebagai telik sandi untuk meloloskan keluarga Keraton Djipang dari upaya pemusnahan keluarga Arya Penangsang. Ia tak punya waktu banyak. Tetapi kesempatan langka ini tak mungkin ia lewati begitu saja. Alih-alih mendapat informasi tentang rute pelarian ke Palembang, ia justru mendapat anugerah diberi petunjuk oleh salah satu manusia pilih tanding yang namanya dikenang hingga akhir zaman.

"Ampun Eyang Kyai. Apapun resikonya, aku ikut semua petunjukmu!" Raden Kuning akhirnya mengambil keputusan.

"Baik. Mendekatlah kau ke sini. Balikkan badanmu menghadap ke Barat."

Eyang Kyai tak lagi berkata-kata. Ketika tubuh Raden Kuning telah membelakanginya, ia menotok tujuh tempat di tubuh prajurit Djipang itu. Diawali dari leher, pundak kiri dan kanan, dua tempat di belikat, dan di bagian pinggang kanan dan kiri. Seketika hawa panas muncul dari tempat yang tersentuh tangan Eyang Kyai. Panas itu berputar-putar kemudian menjalar seperti menyatu untuk selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh. Hawa panas itu baru berhenti di bawah pusar Raden Kuning. Awalnya hawa panas itu menenangkan, tetapi setelah berkumpul di pusat tubuhnya, Raden Kuning mendapati bahwa tenaga dalam tubuhnya tak bisa ia kendalikan lagi. Hawa panas itu menyerap semua tenaganya bergulung-gulung tanpa bisa ia kontrol. Keringat bercucuran dari sekujur tubuhnya. Tatapannya nanar. Eyang Kyai membisikkan bait kesepuluh Kidung Kawedar di telinganya.

"๐˜ˆ๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ช๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ช ๐˜๐˜ข๐˜ณ๐˜ต๐˜ข๐˜ต๐˜ช

๐˜š๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข ๐˜ธ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฉ ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ฆ ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ธ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ

๐˜‹๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ๐˜ด๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฆ

๐˜”๐˜ช๐˜ธ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜จ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ

๐˜’๐˜ช ๐˜š๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ณ๐˜ต๐˜ข ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜’๐˜ช ๐˜š๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ณ๐˜ต๐˜ช

๐˜•๐˜จ๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฉ ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฑ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ต๐˜ช๐˜จ๐˜ข

๐˜ˆ๐˜ณ๐˜ต๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ข๐˜บ๐˜ข ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ด๐˜ถ๐˜ฏ

๐˜ˆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ซ๐˜ฆ๐˜ซ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข

๐˜’๐˜ช ๐˜๐˜ข๐˜ณ๐˜ต๐˜ข๐˜ต๐˜ช ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฌ๐˜ฐ ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ๐˜ด๐˜ถ๐˜ฏ ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฉ

๐˜š๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข ๐˜ธ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฉ ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ธ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ"

Eyang Kyai mengambil nafas sejenak. Tangan sebelah kanannya masih menempel di bagian pundak Raden Kuning. Selanjutnya ia membisikkan bait kesebelas Kidung Kawedar.

"๐˜š๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข ๐˜ธ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฉ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ด ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ช

๐˜š๐˜ข๐˜ด๐˜ข๐˜ต ๐˜ธ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฉ ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ฆ ๐˜ข๐˜ณ๐˜ต๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ข๐˜บ๐˜ข

๐˜›๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ๐˜จ๐˜ข๐˜ญ ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ค๐˜ฆ๐˜ณ ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ถ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฑ๐˜ฆ

๐˜š๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข ๐˜ธ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฉ ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ถ๐˜ซ๐˜ถ

๐˜š๐˜ข๐˜ด๐˜ข๐˜ต ๐˜ด๐˜ถ๐˜จ๐˜ช๐˜ฉ ๐˜ฑ๐˜ข๐˜จ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ ๐˜ธ๐˜ฆ๐˜ด๐˜ช

๐˜™๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ด๐˜ข ๐˜ธ๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ด๐˜ข๐˜ซ๐˜ข๐˜จ๐˜ข๐˜ต

๐˜’๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ช๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ถ

๐˜“๐˜ข๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฏ ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ญ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ข

๐˜’๐˜ช๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜ฅ๐˜ฆ๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ถ๐˜ต๐˜ถ๐˜จ ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ฉ๐˜ข ๐˜ด๐˜ข๐˜ธ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ช

๐˜ˆ๐˜ฅ๐˜ฐ๐˜ฉ ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜จ๐˜ข๐˜ธ๐˜ฆ ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข"

Selesai melagukan bait Kidung Kawedar, Eyang Kyai kemudian menarik kedua tangannya bersidekap di depan dada. Nafasnya terlihat tersengal, nampak buliran keringat di keningnya. Raden Kuning semakin menggigil oleh hawa panas itu. Seluruh alam pikirannya saat ini bahkan tersandera oleh hawa panas. Lambat-lambat ia ikuti bait ke sepuluh Kidung. Hawa panas bergulung-gulung menuju kepalanya. Sekuat tenaga Raden Kuning bertahan agar kesadarannya tidak ikut terampas. Semakin ia melawan, semakin besar hawa panas itu menyerang kepalanya.

"Jangan kau lawan, cucu muridku. Bacakan bait kesebelas." Eyang Kyai memberikan arahan.

Benar saja, ketika Raden Kuning mengulang bait kesebelas Kidung Kawedar, hawa panas itu kembali menyebar ke seluruh tubuhnya. Hawa panas itu kembali menenangkannya. Tetapi keadaan itu tidak lama karena hawa panas yang menyebar kembali berpusat di bawah pusarnya dan kembali merampas kekuatannya. Keadaan seperti itu terus berulang-ulang. Tanpa terasa hari telah menjelang malam, Raden Kuning yang tengah menyatukan dirinya dengan sang khalik sedapat mungkin mengerjakan ibadah syariat dengan isyarat matanya. Hanya itu yang kini ia bisa lakukan. Hingga akhirnya tepat tengah malam, tubuhnya tak kuat lagi. Raden Kuning yang gagah perkasa dan memiliki kesaktian tinggi itu tak sadarkan diri. Terbaring lemas di petilasan. Seluruh kepandaian yang telah ditempanya bertahun-tahun menjadi taruhannya.

Eyang Kyai lalu memerintahkan Putri Retno Wulan untuk berdzikir menyatukan diri dengan Sang Pencipta di petilasan. Kali ini Wuwu mendapat tugas untuk menjaga tubuh Raden Kuning yang tengah berjihad dengan takdirnya, antara hidup dan mati, melompat lebih tinggi atau jadi tak berarti.

(Bersambung)