"Ya tuan Putri. Saya hanya pelajar yang ingin mencari ilmu di Tuban. Saya tidak pandai kanuragan."
Raden Kuning membungkuk dalam-dalam. Ia masih terbungkuk-bungkuk ketika Putri Retno Wulan selesai mengobati lukanya.
"Siapa namamu. Jangan berdiri saja di sana. Lekas duduk di dekatku!"
Raden Kuning masih membungkuk ketika ia duduk di meja milik Putri Retno. Luka kecil di kakinya itu seolah membuatnya kesakitan. Dalam hatinya ia tertawa, alangkah mudahnya ia menyembuhkan luka itu. Tetapi ia tak mau sembrono. Kulitnya yang putih menguning itu mendukung kepura-puraannya. Ya, wajahnya memang lebih mirip pelajar ketimbang seorang jago silat.
"Ampun tuan Putri. Hamba tidak berani duduk dekat paduka. Saya di sini saja."
Putri Retno Wulan mengangkat tangan dan membelalakkan matanya seolah ia hendak memukul Raden Kuning. Selanjutnya ia mengeluarkan hardikan.
"Awas kau jika berani melawan perintahku. Cepat duduk di sini," ujarnya sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya. "Sebagai hukumannya, selama tiga hari aku di Tuban ini, engkau harus menjadi penunjuk jalanku. Dan satu lagi, jangan engkau memanggilku tuan Putri, cukup panggil Wuwu saja!"
"Maaf tuan Put…put…putri, eh salah, maaf Wuwu. Aku tidak berani menolak perintahmu. Tetapi aku juga orang baru di sini, tidak tahu jalan."
"Tak usah kau banyak alasan. Tugasmu hanya menemaniku saja agar tidak ada lagi orang kurang ajar mengganggu aku minum teh. Aku hapal di setiap sudut wilayah Tuban. Pelayan berikan kue dan suguhkan teh untuk, eh siapa namamu?"
"Nama saya Wirayudha Put.. eh Wuwu. Aku biasa dipanggil Wira, tetapi meski namaku begitu aku tak pandai merayu," ujarnya Raden Kuning bercanda.
"Loh apa hubungan namamu dengan merayu?"
"Namaku kan Wi-Rayu-dha," Raden Kuning tersenyum. Wajahnya semakin gagah diterpa sinar matahari yang keluar dari sela-sela atap warung kopi yang terbuat dari daun Nipah.
Mereka berdua selanjutnya terlibat obrolan santai. Ternyata Wuwu adalah seorang teman yang enak diajak bicara. Tanpa disadari keduanya, pertemuan ini nantinya akan mendatangkan banyak sekali persoalan di masa mendatang. Hubungan yang diawali dengan kebohongan tentu saja akan melahirkan banyak peristiwa pelik yang menguras air mata.
Raden Kuning tak sempat kembali ke perahu. Tetapi ia telah meninggalkan petunjuk di warung kopi yang hanya bisa dimengerti oleh kedua rekannya.
Putri Retno Wulan mengajaknya menuju pinggiran kota Tuban. Disana ada sebuah pesanggrahan yang meskipun tidak tergolong mewah, tetapi sangat apik dan resik. Di depan pesanggrahan tertulis aksara Jawa, "Kawedar". Berdetak jantung Raden Kuning. Bagaimana mungkin ia bisa membohongi pemilik pesanggrahan ini. Hatinya makin tak karuan ketika Putri Retno mengucapkan salam dan memanggil nama orang yang sangat disegani oleh masyarakat Jawa itu.
"Assalamualaikum Eyang Kyai Raden Said. Aku cucumu Wulan izin silaturohim."
Putri Retno Wulan menarik tangannya untuk ikut duduk bersimpuh di depan sebuah bangunan yang paling besar di pesanggrahan itu. Tak lama terdengar suara orang batuk dari dalam. Ketika sosok itu muncul di hadapan keduanya, ia mengenakan baju Jawa dan blankon menghiasi kepalanya. Kumisnya yang tebal itu telah berubah warna menjadi putih. Meskipun terlihat sepuh, namun pria yang disapai Raden Said itu masih terlihat gagah dan sehat.
"Wa alaikum salam, cucuku. Siapakah gerangan pria berkulit kuning yang datang bersamamu. Sepertinya aku belum pernah melihat dia datang ke sini bersamamu. Ayo duduk di meja petilasan di depan sana. Janganlah berlama-lama engkau duduk bersimpuh seperti itu." Suaranya sangat tenang dan mengandung kewibawaan.
"Maaf Eyang, pria ini temanku, namanya Wirayudha. Ia pelajar yang baru datang ke Tuban untuk mencari ilmu pengetahuan."
Sorot mata Raden Mas Said tajam menerawang ke mata Raden Kuning. Selanjutnya ia nampak menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Subhanallah cucuku, sungguh banyak sekali aral merintang di depanmu. Ayo lekas ikuti aku ke petilasan!"
(Bersambung)