Chereads / Panglima Bayangan (Palembang di ujung runtuhnya Demak) / Chapter 5 - Keributan kecil di dermaga

Chapter 5 - Keributan kecil di dermaga

Raden Kuning, Punggawa Tuan dan Bujang Jawa mengerahkan tenaga dalamnya agar perahu nelayan yang ditumpangi mereka lebih cepat membelah malam di Sungai Bengawan Solo. Jika saja ada yang memperhatikan kecepatan perahu kecil itu, pasti mereka akan menyadari bahwa perahu melaju dengan tidak wajar. Maklumlah tiga orang penumpangnya adalah prajurit pilihan Keraton Djipang.

Subuh membayang, tujuan mereka nampak semakin dekat. Raden Kuning memberikan aba-aba agar dua rekannya menghentikan pengerahan tenaga tak biasa mereka. Mulailah perahu melaju dengan normal. Dari kejauhan nampak pelabuhan Tuban berwarna-warni, ramai oleh perahu yang ditambatkan di dermaga. Dalam pandangan mata Raden Kuning, keramaian itu tidak wajar. Entah apa sebabnya ia berpikir seperti itu. Yang jelas ia hanya mengandalkan instingnya saja.

Tak ingin menarik perhatian orang, Bujang Jawa menepikan perahu ke dermaga. Tambang pengikat perahu lalu dikaitkan ke tepian, tiga pria gagah yang kini menyamar sebagai nelayan itu, berloncatan ke daratan.

Penyamaran mereka sangat sempurna. Orang-orang yang beraktivitas di pelabuhan, tidak ada yang curiga dengan kedatangan perahu prajurit Djipang itu.

"Kita berpencar. Saat matahari tepat di atas kepala, kita bertemu lagi di sini. Jika terjadi peristiwa, selamatkan diri masing-masing, kembali ke Kapal Jung. Tuan, engkau menjaga perahu!" Bisikan Raden Kuning itu menjadi perintah bagi keduanya.

Raden Kuning tidak lagi menoleh ke belakang. Ia segera menghilang di tengah kerumunan aktivitas warga Tuban di tepian sungai Bengawan Solo. Tempat yang ditujunya adalah warung kopi. Ya, jika ada pergerakan pasukan Tuban pastilah terlihat banyak orang di sana.

Benar saja dugaan Raden Kuning. Warung kopi tanpa nama itu dipenuhi pengunjung. Pandangan Raden Kuning seketika diedarkannya ke penjuru tempat itu. Ada tiga meja besar yang disatukan berisi sepuluh orang laki-laki bertubuh besar. Suara mereka berisik sekali, seakan-akan mereka adalah penguasa di tempat itu. Raden Kuning segera memilih tempat kosong di belakang mereka.

"Sudah seharian penuh kita menunggu pelarian itu, tetapi tidak ada tanda-tanda mereka akan tiba di sini. Jika sampai besok pelarian itu tidak muncul, aku lebih baik pulang mengeloni istriku, hahahaha.....!"

Pria gendut berkumis lebat itu terkekeh. Nampak matanya merah akibat terpengaruh tuak. Teman-temannya pun ikut tertawa.

Ketika itu ada seorang wanita berkulit hitam manis melintas di dekat meja para pemabuk tersebut. Suara si kumis makin menjadi. Ia bahkan terang-terangan mencegat langkah perempuan berpakaian pria itu.

"Mau kemana nona cantik. Aku mengurungkan niatku pulang ke rumah jika engkau sudi menemaniku di sini," pria berkumis kembali terkekeh. Tangannya diarahkannya ke dagu wanita. Namun ia kecele. Wanita itu dengan tenang mengibaskan ujung bajunya dan menampar tangan jahil yang bermaksud melecehkannya.

Tak ayal si kumis berteriak kesakitan. Tubuhnya yang besar terpelanting ke samping. Sontak semua temannya berdiri dan langsung menyerang wanita itu. Tanpa dikomando, mereka berusaha menyergap tubuh mungil yang kini melompat mundur ke belakang.

"Engkau telah menghina prajurit Tuban. Terimalah senjata kami!"

Hardikan si kumis itu laksana instruksi yang menggerakkan senjatanya masing-masing. Pertarungan yang seharusnya berat sebelah itu justru menempatkan si wanita di atas angin. Tidak ada satupun serangan sepuluh laki-laki seram yang berhasil menyentuh tubuhnya. Bahkan sekali sontak sepuluh pria yang mengaku prajurit Tuban itu terlempar keluar warung kopi. Salah seorang diantaranya kemudian meniup peluit tanda bahaya, tetapi sang wanita tetap tenang. Ia bahkan duduk manismemanggil pelayan.

"Buatkan aku teh panas dan suguhkan aku kue!"

Panggilannya itu malah membuat pelayan ketakutan. Di luar sana, sepuluh pria yang terlempar keluar telah bangkit dan bersiap-siap menunggu kedatangan temannya untuk menangkap gadis galak itu.

Raden Kuning menyaksikan peristiwa itu hanya tersenyum simpul. Wanita ini sakti tapi masih hijau pengalaman. Begitu batinnya.

Benar saja tak lama berselang terdengar derap puluhan langkah kuda menuju warung kopi. Sepertinya mereka merespon tiupan peluit prajurit Tuban yang terkapar di tanah tadi.

"Hai perempuan jalang, cepat kau keluar dari warung. Besar sekali nyalimu membuat onar di Tuban!"

Suara itu terdengar tenang tetapi menggema ke empat penjuru angin. Kelihatan sekali bahwa si pemilik suara adalah orang berilmu.

Si wanita dengan enteng memenuhi tantangan prajurit Tuban. Tanpa bicara ia lalu berkelebat meloncat keluar seraya menampar puluhan prajurit yang mengepungnya. Teriakan prajurit kesakitan sontak pecah menimbulkan keributan di pagi yang tenang itu. Aksi wanita baru terhenti ketika pria muda pemimpin pasukan siempunya suara keras tadi menyerangnya dengan trengginas.

Dua orang yang bertempur itu hanya kelihatan bayangannya saja. Sesekali terdengar suara tangan beradu. Tak mau menunggu adu kesaktian selesai, Raden Kuning diam-diam meninggalkan tempat pertempuran.

Banyaknya prajurit Tuban sudah cukup baginya untuk membuktikan bahwa tempat ini tidak aman. Ia langsung menyeret langkahnya menuju tambatan perahu. Ketika sampai di dermaga, dilihatnya Bujang Jawa juga sudah berada di sana. Ketiga pria gagah itu segera berlompatan ke perahu dan kembali menuju tempat kapal Jung berada. Dalam perjalanan pulang itu tidak ada satupun diantara mereka yang bersuara.

(Bersambung)