Suara binatang liar terdengar mendominasi hari yang telah larut itu. Di dalam lambung kapal Jung terdengar sayup-sayup orang yang tengah berbicara. Sesekali suara mereka tertutup deras arus air, sesekali angin mendorong suara ke arah berlawanan sehingga suaranya menghilang.
"Engkau harus menyelidiki ke wilayah Tuban. Aku khawatir musuh tidak hanya bersiap di sana tetapi juga di sepanjang aliran anak Bengawan Solo," suara Pangeran Arya Mataram membelah malam.
"Daulat gusti Yang Mulia. Jika gusti perkenankan saya, Tuan dan Bujang akan mendahului laju kapal ini ke wilayah Tuban. Kami akan menyesatkan pasukan musuh agar tidak berjaga di anak sungai."
Raden Kuning lalu menggambarkan rencananya agar rombongan dapat segera berlayar ke laut lepas.
Sayup suara itu tak terdengar lagi. Sementara di dinding kapal sebelah Timur ada sepasang telinga berusaha mencuri dengar. Ya, pria bertubuh kecil berkulit hitam itu jelas bagian dari rombongan pelarian Djipang. Anehnya ia berusaha sekuat tenaga menguping percakapan majikannya.
Kaki tanpa alas itu diangkat pelan. Sepertinya ia hendak berjinjit mendekat ke arah sumber suara. Namun terlihat keraguan mengiring langkahnya.
Dari atas tempat layar terkembang nampak Punggawa Kedum memperhatikan dengan seksama. Jika saja tadi Raden Kuning tidak mewanti-wanti agar ia tidak gegabah bertindak, tentulah kepala orang itu sudah berpindah tempat ditrabas golok tajamnya.
Pria bertubuh hitam itu membalikkan tubuhnya. Ia langsung berjalan biasa ke arah dapur. Selanjutnya dibukanya sebuah lemari usang yang biasa menjadi tempat menyimpan peralatan dapur. Didorongnya perlahan pintu lemari itu dan dari dalamnya ia merogoh sesuatu. Ternyata ia mengambil burung merpati. Diambilnya secarik kertas daun lontar dari balik bajunya. Dicoretnya kata-kata sederhana di atasnya, lalu dilekatkan tulisan itu di kaki Merpati sebelum melepasnya ke udara.
Tanpa pikir panjang, Punggawa Kedum melesat ke arah terbangnya Merpati. Kendati telah berupaya mengeluarkan kepandaiannya terbang di udara, ia kalah cepat. Merpati itu kini telah menghilang di pekat malam. Punggawa Kedum kembali melesat ke arah dapur dan langsung menyergap si pelepas Merpati.
Serangan tiba-tiba itu ternyata bisa dielakkannya. Dengan gesit pria berkulit hitam itu balik menyerang. Punggawa Kedum yang ingin mengorek keterangan darinya, membalas serangan itu dengan hati-hati. Mereka bertukar jurus, tetapi jelas bahwa Punggawa Kedum di atas angin. Setelah jurus ke sembilan, pria itu berhasil diringkusnya.
Dengan sigap diseretnya tubuh kaku tertotok itu hingga dibawa ke hadapan Pangeran Arya Mataram. Sayang ketika ia tiba Raden Kuning dan rombongan kecilnya telah pergi menelisik ke wilayah Tuban.
"Ampun yang mulia. Kita kesusupan telik sandi musuh. Orang ini aku lihat melepas Merpati. Mohon petunjuk?"
Pria berkulit hitam itu tersungkur di hadapan lelaki dengan raut wajah bijaksana itu. Pangeran Arya Mataram lalu mengibas ujung bajunya, seketika terdengar suara merintih. Terlepaslah totokan Punggawa Kedum.
"Siapa engkau, dan informasi apa yang kau kirim ke Pajang?"
Suara itu seolah menghipnotis kesadaran si penyusup. Tiba-tiba terdengar teriakan tertahan dari mulutnya. Peristiwa sangat cepat itu tak dapat diantisipasi oleh Punggawa Kedum. Darah menetes dari mulut si telik sandi. Tubuhnya berkelojotan, tak lama ia telah terkulai. Tewas.
Pangeran Arya Mataram menghembus nafas panjang. Sorot matanya masih bijaksana ketika ia berkata., "Kedum urus mayatnya."
"Njih Gusti."
Dengan sigap Punggawa Kedum menyingkirkan mayat mata-mata Pajang itu. Mereka tidak menyadari ada bahaya yang mengancam dari berita yang dibawa Merpati telik sandi Pajang.
(Bersambung)