"Halo, selamat siang. Dengan Pusat Pelayanan Supranatural Nasional, Mandala, ada yang bisa kami bantu?" kata seorang wanita customer service.
"Halo, selamat siang…"
"Apa keluhan bapak?"
"Oke, kami akan segera kirim orang ke sana…"
Ruangan itu dipenuhi dengan orang-orang yang menjawab telepon dari mana-mana. Masing-masing orang sibuk melayani dengan telemarketer-nya. Berusaha menjawab dengan ramah dan santun. Memberikan jawaban dan solusi terbaik.
Seorang pria dengan jaket militer berjalan masuk. Ia memilik kumis dan janggut yang cukup tebal dan rambutnya disisir rapi ke samping. Ia menghampiri seorang laki-laki yang sedang sibuk dengan komputernya.
"Hei, Andre! Lu jadi nggak makan bareng?" tanya pria itu.
"Ah, Arslan! Pas banget!" jawab laki-laki bernama Andre dengan ekspresi lega. "Tolong jagain pos gue dulu dong bentar. Gue mesti ke kamar mandi, nih."
Dia menyerahkan headset kepada pria yang bernama Arslan itu. Dengan terbirit-birit, ia berlari ke arah kamar mandi. Pria yang diserahkan headset tadi pun duduk di kursi bilik temannya. Ia menaruh headset di atas meja
"Gue, kan, bagian dari Pasukan Siaga. Ngapain jadi jaga call center?" gumamnya. "Yah, semoga saja tidak ada panggilan telepon."
Arslan menatap layar komputer dengan bosan. Ia melihat ratusan riwayat telepon. Banyak sekali pesan dan panggilan masuk. Hampir semuanya telah ditandai 'terjawab' atau setidaknya 'dibaca'. Terpampang juga statistic di layar itu. Menunjukkan antara panggilan yang masuk, terbaca atau terjawab, dan terselesaikan. Andre menunjukkan angka positif dalam kinerjanya itu. Arslan hanya tersenyum.
"Si Andre itu memang kerjanya bagus dari dulu," gumam Arslan.
Seorang perempuan berkacamata datang menghampiri Arslan. Perempuan itu berparas langsing dan berambut panjang sepinggang.
"Lan, Andre mana?" tanyanya.
"Lagi ke kamar mandi," jawab Arslan sambil menoleh ke arah perempuan itu. "Mira, lo ngapain kesini? Lu nggak makan siang bareng pacar lo?"
"Ih, siapa lagi pacar gue?" jawab perempuan bernama Mira itu.
"Lho, katanya atasan lo, Pak Ant-"
"STOP!" sanggah Mira sambil tersipu. "Itu cuman salah sangka! Gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia!"
Arslan hanya bisa terkekeh. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke layar komputer. Mira juga menatap ke layar komputer.
"Wah, Andre, dari dulu dia memang hebat," celetuk Mira dengan takjub.
"Ya, memang dia lulusan terbaik di angkatan kita, kan?" tanggap Arslan.
Mira mengangkat sebelah alis matanya, "Kecuali soal hal ini…" Ia menunjuk layar komputer. "Delapan panggilan tak dijawab dan dua belas pesan tak terbaca. Semuanya dari tempat yang sama."
"Hah?! Serius?" Arslan menatap layar dengan serius. "Bercos. Dimana itu?"
Andre pun kembali dari kamar mandi. Ia kebingungan melihat kedua temannya.
"Guys, ada apa? Kenapa kalian serius sekali?" tanya Andre.
"Andre, delapan panggilan tak terjawab, dua belas pesan tak terbaca?" Arslan bangkit dari duduknya. "Dan lo nggak ngasih laporan apapun? Gila lu, Ndre!"
Andre memutar bola matanya dan duduk di kursinya. "Oh, Bercos. Kami sudah kirim orang ke sana sebulan yang lalu. Tapi, mereka melaporkan tidak ada hal yang aneh di sana. Jadi, kuanggap itu hanya salah pecet aja. Atau mungkin iseng."
"Nggak mungkin. Kalau sebanyak ini pasti ada apa-apanya," tanggap Arslan.
"Terserah. Lo cek aja sendiri," balas Andre dengan nada sinis.
"Oke!" balas Arslan. "Mir, lo mau ikut nggak?"
"Iya, gue juga ngerasa aneh," jawab Mira. "Gue ikut, Lan."
Arslan mengangguk. Mereka pun beranjak dari ruangan customer service. Meninggalkan teman mereka yang akan memulai pekerjaannya lagi.
"Palingan juga nggak ada apa-apa," gumam Andre.
Tiba-tiba, Arslan datang kembali kepada Andre.
"Lu jadi mau makan bareng, nggak?"
***
"Ka-kau masih ingat?" Romo tercengang.
"Tentu saja, itu adalah sirkus favoritku!" jawab Erik sambil tersenyum.
Romo tersenyum tidak percaya. Tanpa ia sadari, air mata mengalir di pipinya. Dia pun tertawa. Bukan dengan tawanya yang biasa, tapi tawa seperti orang biasanya.
"Waktu itu aku kelas 4 SD. Karena belum pembagian rapor, aku tidak sempat menonton pertunjukkan kalian di bulan Oktober," ujar Erik. "Tapi, siapa sangka itu adalah pertunjukkan terakhir kalian."
"Ah, tentang itu…"
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Erik. "Katanya salah seorang pemain kalian cedera."
"Heh, cedera pada seorang pemain. Itulah yang dikatakan media." Romo turun dari sepedanya. "Menutupi kejadian yang sebenarnya. Ceritanya panjang. Kami juga tidak paham apa yang terjadi. "
***
Lima tahun yang lalu.
Tenda besar bergaris merah putih berdiri dengan gagah di lapangan hijau. Spanduk besar terpampang di pintu tenda. 'Sirkus Ceridwen', begitulah yang tertulis. Romo terdiam dan terkesima melihatnya.
"Hei, bengong saja. Ayo!" ajak seorang pria dengan bertopi tinggi. Menyadarkan Romo dari lamunannya.
"O-oh, oke!"
Mereka pun memasuki tenda itu. Di dalam, banyak orang berlalu-lalang. Sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Seorang berambut kribo sedang bermain dengan seekor singa. Mereka berdua terlihat bahagia. Ada juga pria berpostur tinggi dan besar yang sedang mengangkat barbel. Tulisan '1T' terukir di barbel itu. Dan macam-macam lagi. Romo hanya bisa ternganga melihatnya. Semua hal yang ia kagumi. Kini dia akan menjadi bagian dari mereka.
"Gugup?" tanya pria bertopi tinggi itu.
"Ah, tidak juga, Pak Deni," jawab Romo dengan segan. "Hanya saja saya masih belum bisa percaya. Dari dulu ini yang saya impikan."
"Yah, kau harus percaya. Karena kau yang lolos tesku. Dan tidak mudah melewati tes dariku, lho."
Deni menghentikan langkahnya di tengah-tengah para pemain Sirkus. Romo pun mengikuti. Kemudian, dengan suara keras dia berkata, "PERHATIAN SEMUANYA!"
Semua pemain sirkus langsung menoleh kepada Deni. Mereka semua berjalan ke tengah, mengelilingi bos mereka.
"Seperti yang kita ketahui, badut terakhir kita, Pak Joko, pensiun tiga minggu yang lalu," ujar Deni. "Dan selama itu, sirkus kita mengalami kekosongan di posisi badut. Banyak penonton yang mengutarakan kebingungan mereka dan hasrat mereka untuk melihat seorang badut lagi. Tapi, tentunya, selama tiga minggu terakhir pula, saya pun sedang mencari penggantinya."
Deni merangkul Romo, "Tiga hari yang lalu, saya akhirnya menemukan penggantinya. Yaitu pemuda ini. Namanya Romo. Dia yang akan menggantikan posisi Pak Joko. Mohon untuk membantu dia beradaptasi."
Semua pemain sirkus sontak bertepuk tangan. Ada yang bersuit-suit pula. Seekor singa mengaum untuk menyambutnya juga. Romo tersanjung dengan apresiasi mereka. Ia pun membungkukkan badannya.
"Oke, sekarang kembali ke tempat kalian masing-masing!" perintah Deni.
Semua pemain sirkus kembali ke pekerjaan mereka masing-masing. Kecuali seorang perempuan. Rambutnya panjang dikuncir dua dan badannya langsing bagaikan seorang pesenam. Dia menghampiri Romo dan mengulurkan tangannya.
"Namaku Karla. Aku ahli akrobat disini. Salam kenal."
"Ya, aku Romo. Salam kenal juga," balas Romo sambil menjabat tangan Karla. "Aku juga bisa akrobat."
"Oh, ya, mungkin kita bisa tampil bersama?"
Seorang laki-laki berambut kribo menghampiri mereka. Ia bertelanjang dada. Kulitnya coklat. Badannya kekar. Dia membawa cambuk di tangannya. Dan di belakangnya, seekor singa mengikuti.
"Kukira siapa yang akan menggantikan pak tua Joko. Sepertinya kau seumuran denganku," ujar laki-laki itu. Ia mengulurkan tangannya. "Namaku Rembo. Aku pawang singa disini. Singaku yang ini namanya Simba. Cuman dia, sih, singa disini."
Romo menjabat tangannya, "Aku Romo."
Seorang pria berbadan tinggi dan kekar juga datang menghampiri mereka.
"Romo, ya? Nama gue Roman. Bukan nama asli gue, sih. Gue orang kuat disini," katanya memperkenalkan diri.
"Heh, gue pikir lo bakalan ngangkat barbel terus, ternyata butuh teman juga, toh," ledek Rembo.
"Terserah lo, lah," balas Roman tidak peduli. "Oh iya, kan, lu badut, ceritain hal lucu, dong."
Romo terdiam. Kemudian ia berkata, "Kenapa mobil kalo lampu merah berhenti?"
"Kenapa?" tanya Roman.
"Karena direm."
Mereka semua terdiam. Karla dan Rembo saling menoleh kepada satu sama lain. Tiba-tiba, Roman terkikik, lalu tertawa terbahak-bahak.
"AHAHAHAHAHA! Lucu banget, sumpah!"
"Roman!" kata seseorang memanggilnya. "Tolong bantuin angkat ini, dong!"
"Ah, iya, oke!" jawab Roman. Ia pun bergegas kepada orang yang meminta bantuannya.
"Sumpah, yang tadi itu garing. Banget," celetuk Karla.
"Iya. Tak kusangka kau seorang badut," Rembo ikut menimpali.
"Aku belum pakai dandanan badutku, tahu!" seru Romo. Ia duduk di atas sebuah kotak kayu. "Kelucuanku lebih ke aksi."
Karla juga duduk di atas kotak kayu di samping Romo, "Iya, iya," Ia menoleh ke arah Roman. "Tapi, baru pertama kalinya aku lihat Roman tertawa seperti itu. Biasanya dia hanya termenung sendirian."
"Iya, dari pertama kali aku dateng, dia begitu," Rembo menanggapi.
"Oh, iya, kalian sudah berapa lama di sirkus ini?" tanya Romo.
Karla dan Rembo tersenyum. "Sebenarnya kami juga baru sepertimu!" seru Karla.
"Ya, aku baru disini tiga bulan yang lalu," kata Rembo tersenyum bangga.
"Dan aku baru disini enam bulan yang lalu," Karla menjawab dengan riang. "Yang paling lama di antara kami tadi, itu si Roman. Dia sudah satu tahun disini."
Romo menghela nafas, "Yah, kalau begitu, mari kita bekerja sama dengan baik, Karla, Rembo."
Mereka berdua mengangguk sambil tersenyum. Awal dari sebuah kerja sama yang akan bertahan lama.
Pertunjukkan demi pertunjukkan mereka jalani dengan penuh sukacita. Riuh tepukan dan apresiasi orang menjadi hal yang lumrah bagi mereka. Indahnya penampilan acrobat Karla, lihainya permainan juggling dan lucunya Romo, kekuatan fisik Roman yang luar biasa, serta atraksi Rembo dan singanya yang memukau adalah bahan pembicaraan bagi orang-orang yang telah menyaksikan mereka. Tawaran untuk tampil menjadi ramai di berbagai tempat. Tanpa sadar, dalam dua tahun, mereka sudah hampir tampil di seluruh penjuru negeri. Kehidupan mereka sudah nyaman dan tentram.
Sampai suatu ketika, Romo mendengar Deni bertengkar dengan seseorang. Mereka bertengkar di dalam trailer milik Deni. Adu mulut mereka begitu kentara sampai luar ruangan. Yang bertengkar dengan Deni berbicara dengan nada tinggi. Sementara Deni hanya menjawab dengan nada datar, namun tegas.
"Lu bayar gak?!" ancam pria itu. Pria itu badannya tidak terlalu besar. Dia memakai setelan jas rapi dengan topi fedora dan rokok di mulut. Ia ditemani oleh seorang pria yang berbadan besar dan kekar. Ia juga memakai setelan jas rapi. Rambutnya cepak dan kulitnya berwarna sawo matang. Pria dengan rokok itu sepertinya seorang bos.
"Gak bisa. Uang kami lagi kurang," jawab Deni dengan tenang. "Pemain kami ada yang masuk rumah sakit kemarin, butuh banyak biaya."
Si bos menghisap rokoknya, kemudian mengeluarkan asap dari mulutnya. "Deni, Deni, kita ini sama-sama butuh. Gue butuh uang. Lo butuh keamanan," ujarnya. "Lo pikir, gara-gara siapa, sirkus lo bisa aman? Gak pernah keganggu orang? Siapa lagi yang bisa jamin? Hah? Polisi? Tentara? Mandala? WGO? Apalagi dengan harga yang murah gue kasih ke lo."
Si bos menoleh. Ia melihat foto Deni dan para pemain sirkus di depan tenda sirkus mereka. Foto itu tergantung di dinding trailer. Mereka semua tersenyum bahagia di foto tersebut. Si bos pun tersenyum sinis.
"Lo gak mau, kan, kalo sampai apa-apa terjadi sama mereka?" si bos memengang figura foto itu dan menjatuhkannya ke lantai. Kaca figura pun pecah dan berserakan di lantai. Deni hanya bisa terdiam.
"Mau bagaimana pun juga, tetep aja gue gak punya duitnya, Jack," ucap Deni.
Pria kekar yang bersama si bos itu mencengkram baju Deni dan mengangkatnya. Ia berteriak, "Ya, lu mikir, lah, goblok! Gimana caranya dapet duit!"
Romo yang sedang mengintip semua ini mengepal tangannya dengan keras. Giginya menggertak. Kepalanya panas. Tiba-tiba, ia merasakan tepukan di pundaknya. Romo menoleh. Ternyata Karla.
"Romo, kamu ngapain di sini?" tanya Karla.
"Ssssttt!" Romo menempatkan telunjuknya di depan bibir. Ia menunjuk ke arah trailer milik Deni.
Dengan berbisik, Karla bertanya, "Siapa orang yang lagi sama Pak Deni? Hah?! Pak Deni diapain, tuh?!"
"Nggak tahu juga kenapa. Tapi, aku udah kesel aja," jawab Romo dengan suara pelan pula.
Pria bernama Jack itu memegang lengan temannya. "Sudah, kita nggak usah ngapa-ngapain dia. Kita pake cara yang lebih kena." Ia pun tertawa kecil.
Pria kekar itu menurunkan Deni. Deni pun mengerang kesakitan. Karena ia dijatuhkan dengan cukup keras. Jack dan anak buahnya pun pergi dari trailer milik Deni. Romo dan Karla agak bersembunyi supaya tidak terlihat. Setelah lewat, mereka berdua pun mendatangi Deni di dalam trailer-nya. Romo dan Karla menghampiri Deni dengan penuh cemas.
"Anda tidak apa-apa, Pak Deni?" tanya Romo.
Deni terbatuk, "Ya, aku tidak apa-apa."
"Mereka itu tadi siapa?" tanya Karla.
"Kalian sudah tahu, ya," Deni bangkit dari duduknya. "Kurasa aku harus memberitahu kalian."
Ia berjalan ke sebuah sofa. Romo dan Karla mengikuti dan duduk di sofa seberangnya. Deni terbatuk-batuk sedikit. Karla pun langsung mengambil gelas. Mengisinya dengan air dari dispenser dekat sofa dan memberikan gelas itu kepada Deni. Ia pun menengak air itu.
Deni menghela nafas, "Kalian tahu bahwa setiap pertunjukkan perlu keamanan, kan?"
Mereka berdua mengangguk. "Jangan-jangan…" Karla menutup mulutnya.
"Ya, sejak sepuluh tahun terakhir ini aku membayar sejumlah uang kepada geng mafia. Agar mereka menjaga sirkus ini," ujar Deni.
"Tapi, kenapa?" tanya Romo, "kenapa kau tidak minta polisi saja? Atau mungkin perusahaan keamanan yang lain?"
"Harga," jawab Deni singkat. "Sirkus ini belum sesukses sekarang pada saat itu. Harga keamanan dari polisi atau perusahaan lainnya sangat mahal. Sementara, Jack dan gengnya menawarkan dengan harga yang jauh lebih murah."
"Murah seperti apa?" tanya Karla.
"Kalau kuibaratkan, membayar ke Jack pada waktu itu setara dengan gajimu sebulan. Sementara, kalau ke polisi atau perusahaan keamanan bisa sepuluh kali lipatnya."
"HAH!?" Karla dan Romo tercengang.
"Gaji kami sebulan saja bisa kami pakai untuk bulan depannya!" seru Karla.
"Ya begitulah," kata Deni. "Harganya memang murah, tapi kesepakatannya itu…"
"Kenapa?" tanya Karla.
"Sekali kau bersepakat dengan mafia, kau bersepakat dengan mereka selamanya," celetuk Romo.
Mata Karla terbelalak. Deni menghela nafas.
"Jadi, jadi…" Karla berkata dengan terbata-bata.
"Kalau gagal membayar, pasti akan ada sebabnya. Ya, kan, Pak Deni?" tanya Romo.
"Aku memang sangat bodoh," kata Deni sambil menutup mata dengan tangannya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan pasrah. "Yang pasti mereka tidak akan menjaga pertunjukkan kita lagi. Dan entah apa lagi yang mereka akan lakukan."
Karla memandang Deni dengan penuh cemas. Ia mengacak-acak rambutnya dengan kesal.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Jadi begitu ceritanya," ucap sebuah suara berat.
Mereka semua langsung menengok ke arah pintu trailer. Ternyata Roman dan Rembo mendengar percakapan tadi. Mereka pun masuk ke dalam. Roman duduk di samping Deni. Sementara Rembo duduk di samping Romo.
"Jadi, selanjutnya gimana, bos?" tanya Rembo.
"Tenang aja, ada kita di samping lo," kata Roman.
Deni pun tersenyum. Dia memperbaiki posisi duduknya.
"Rencanaku dari awal memang tidak akan menyerah," jawab Deni.
Semua anggota sirkus itu tersenyum.
"Pertunjukkan kita akan tetap berjalan, dengan atau tanpa keterlibatan mereka!" seru Deni.
"OKE!"
Meskipun begitu, di dalam hati Romo masih ada saja hal yang ganjil. Namun, ia berusaha untuk menepisnya. Sebuah keputusan yang akan ia sesali untuk waktu yang lama.
***
"Jadi, kami tetap melanjutkan pertunjukkan kami seperti yang dijadwalkan," ujar Romo kepada Erik. "Pada awalnya, acara kami berjalan lancar. Sampai akhirnya…"
"Sampai akhirnya?" tanya Erik.
"Ketika Karla melakukan atraksinya, tali ayunan yang ia gunakan putus. Ia terjatuh menabrakku yang sedang naik sepeda roda satu.," jawab Romo. "Sepedaku pun terpental, membuat Roman yang sedeng mengangkat barbel terpleset. Tanpa sengaja, barbell Roman menghimpit ekor singanya Rembo. Ia pun mengaum kesakitan dan berlari menabrak podium yang digunakan Karla untuk berayun. Podium itu terjatuh dan menimpa penonton. Sekitar lima belas orang meninggal dan puluhan lainnya terluka. Karla yang mendarat dengan tangannya, setelah menabrakku, pun patah."
"Hah?!" Erik tercengang.
"Polisi yang menyelidiki kasus ini menganggapnya sebagai kelalaian dari pihak sirkus. Jadi mereka menahan bos kami," lanjut Romo.
"Tapi, kan-"
"Ya, kami tahu, dan polisi pasti juga tahu, kalau ini perbuatan para mafia itu."
Erik terdiam. Badannya terasa kaku. Ia tidak dapat berkata apa-apa.
"Sirkus kami pun ditutup. Kami jadi kehilangan pekerjaan. Semua pemain sirkus pisah jalan. Kecuali aku, Karla, Rembo, dan Roman. Kami masih tetap bersama. Karena kami tidak memiliki tempat untuk kembali," ujar Romo. "Setiap hari kami sesali kelemahan kami. Ketidakmampuan kami. Kepasrahan kami. Kami ingin menjadi lebih kuat. Agar kami tidak mudah diperdaya."
"Dan kemudian kalian bertemu Beni?" tanya Erik.
"Ya, dan si ilmuwan gila itu" jawab Romo. "Ia menawari kami sebuah kesempatan. Sebuah kekuatan."
"Euphoroid?"
"Dengan ini, kami bisa menjadi lebih kuat, atau setidaknya itulah yang kami pikirkan."
"Nggak tahunya kalian dimanfaatkan," kata Erik.
"Tapi, kami berhutang kepadanya. Dengan Euphoroid ini, Karla bisa sembuh dari cederanya," bela Romo.
Erik menghela nafasnya, "Oh, ya, bagaimana dengan mafia yang menghancurkan hidup kalian? Apakah kalian balas dendam?"
"Tidak sempat," jawab Romo. "Tiga bulan setelah sirkus kami ditutup, geng mafia itu dibantai habis. Katanya yang membantai mereka hanya seorang."
"Hah?! Orang gila mana yang bisa!?" tanggap Erik terkejut.
"Entah," balas Romo singkat.
Mereka berdua pun terdiam. Sunyi mengelilingi seluruh ruangan itu. Tiba-tiba, suara kaca pecah terdengar. Asalnya dari bangunan sebelah. Mereka pun menghampiri jendela. Pabrik. Kemudian, terdengar pula suara perempuan mengerang.
"AAAAAHHHH!"
"Karla!" seru Romo. Ia buru-buru menaiki sepeda roda satunya dan mengayuh. Tujuannya adalah bangunan pabrik itu.
Erik pun mengikuti dari belakang. Ia berayun dengan tali lendirnya.
"Hei, ada apa?" tanya Erik.
"Karla adalah orang pertama yang paling banyak terpapar Euphoroid. Kalau dia over-dosis dalam sekali pakai, bisa bahaya," jawab Romo sambil mengayuh. "Temanmu tidak ada yang sedang melawan Karla, kan?"
"Ng-nggak tahu," balas Erik sambil berayun. "Kalau nggak salah Kak Barqi, Kak Eriza dan Kak Yura pergi ke arah pabrik itu. Mungkin salah satu dari mereka sedang melawannya."
"Bahaya, temanmu bisa terbunuh, tahu!"
***
"Karla!" seru Romo sambil mendobrak pintu.
Ia tercengang melihat pemandangan yang berada di depannya. Erik yang mengikuti dari belakang juga sama tercengangnya.
Mereka melihat Karla terikat di dinding dengan sebuah mantra pengikat. Eriza terkapar di lantai. Dan, seorang pria dengan jaket yang sama seperti Erik berdiri tegap di antara itu semua. Ia memegang sebuah tongkat khakkara.
Pria itu menoleh kearah mereka berdua. Anehnya, semua tentang pria itu mirip dengan Yura, wajahnya, rambutnya, matanya. Yang membedakan hanya tinggi badan dan pakaian yang dikenakan. Pria itu tersenyum. Sebuah kabut asap tebal menyeruak darinya. Pria itu berganti menjadi Yura. Kemudian, ia pingsan.
"A-apa yang baru saja terjadi?" tanya Romo.
Erik menganga lebar, "Ha-ha-HANTUUUU!!!"
To be continued…
Next chapter: Lies inside