Chereads / The Rosemary / Chapter 17 - Chapter 16: Waktunya pulang

Chapter 17 - Chapter 16: Waktunya pulang

Air membasahi seluruh tubuhku, begitu aku menuangkan air dari gayung. Menyapu sabun yang menyelimuti. Kemudian, aku mengambil handuk. Mengelap seluruh air dari tubuhku agar kering. Aku mengambil pakaianku dan memakainya, sebelum keluar dari kamar mandi. Begitu keluar dari kamar mandi, aku disapa oleh Kak Putri.

"Gimana, Sonia? Seger mandinya?" tanyanya dengan ramah.

"Ya, akhirnya aku bisa mandi juga setelah disekap hampir dua hari," jawabku. "Jangankan mandi, bebas saja tak terpikir olehku."

"Hm? Kupikir kau tahu teman-temanmu akan menyelamatkanmu?"

"Ya…sebenarnya kami baru menjadi kelompok belum lama ini," jawabku dengan malu. "Jujur saja, kukira mereka tak akan bisa. Apalagi, kami baru SMP-SMA, melawan gembong narkoba."

"Benar juga, sih. Tapi, pada akhirnya, mereka berhasil menyelamatkanmu, kan," kata Kak Putri. "Bukan hanya kamu, tapi, kampung ini seluruhnya berhasil mereka selamatkan."

"Kau bisa berterimakasih kepada Kapten soal itu," Kak Barqi tiba-tiba datang. Ia membawa handuk dan peralatan mandi. "Kalau bukan karena tekad dan kekeras kepalaannya, kampung ini tidak akan bebas."

Kapten? Oh, maksudnya Kak Sifari, kan? Sejak kapan mereka memanggilnya 'Kapten'? Aku baru tahu. Kenapa juga tiba-tiba dia dipanggil Kapten?

"Oh, ya, ngomong-ngomong dimana yang lain?" tanyaku kepada Kak Barqi.

"Mereka sedang menahan dan mengikat Beni, Argus, dan yang lainnya," jawab Kak Barqi. "Mereka sedang berada di mansion itu."

"Kau tidak ikut?" tanya Kak Putri.

"Mereka melarangku. Karena aku baru sembuh dari luka, katanya," jawab Kak Barqi lagi. "Dan Kapten menyuruhku untuk mandi. 'Bar, mandi, Bar', begitu katanya."

"Oh begitu, ya…" tanggapku singkat.

"Kau mau menyusul mereka?" tanya Kak Putri. "Mungkin mereka perlu bantuanmu."

Aku mengangguk, "Baiklah, aku pergi dulu kalau begitu."

Aku pun menaruh handuk dan peralatan mandiku kembali ke tasku. Dan segera pergi keluar rumah. Yang kutuju adalah mansion bekas Beni dan kawanannya. Letaknya cukup mudah ditemui. Tepat berada di ujung perkampungan. Letak rumah mereka membuatku ngeri. Seakan mereka sudah mengaturnya agar dapat dicapai oleh penduduk desa. Yang dipaksa untuk menjadi pekerja mereka.

Di sepanjang perjalanan, aku disapa oleh beberapa warga kampung. Ucapan seperti, "Hei, penyelamat!" Atau, "Terima kasih, karena telah menyelamatkan kampung kami." Muncul dari mereka. Beberapa bahkan ada yang mengundangku untuk singgah. Menawariku makanan dan minuman. Aku jadi malu. Padahal, bukan aku yang menyelamatkan mereka. Yah, aku hanya berperan sebagian kecil saja.

Aku pun tiba di mansion yang dimaksud. Di sana, ada semua anggota kelompok kami dan beberapa warga. Di perkarangan rumah, mereka sedang mengikat Beni dan kawan-kawannya. Sebuah kandang juga ada di dekat mereka. Di dalam kandang itu, terdapat seekor singa yang sedang tertidur.

Kak Alan keluar dari dalam rumah. Dengan bentuk monsternya, ia membawa seorang berpakaian badut. Badut itu tidak melawan sama sekali. Sepertinya sudah diikat dengan Tenere. Ia diletakkan bersama dengan kawanannya yang lain. Mereka dikumpulkan melingkar.

Erik melontarkan sebuah tali lendir dari tangannya. Kemudian, ia berlari mengitari Beni dan kawanannya. Membuat mereka terikat dalam lendir.

"Oke, sudah selesai, Kapten!" seru Erik.

"Ya, kerja bagus, Erik!" balas Kak Sifari. "Oke, sekarang tinggal menunggu Mandala datang saja."

Argus tiba-tiba terkikik, "Hrk! Mandala."

Kak Sifari mengangkat alisnya, "Hm? Apa maksudmu?"

"Mandala hanyalah anjing kami. Ditangkap oleh mereka tidak ada artinya."

Kak Sifari memincingkan matanya, kemudian ia mendengus, "Hei, yang satu ini perlu ditutup mulutnya, nih!"

Seorang warga mengambil lakban dan menutup mulut Argus. Wah, beneran dilakukan, ya?

"Erik, aku tak tahu harus berkata apa…" Si badut berbicara.

"Tak perlu berkata apa-apa, selesaikan saja hukumanmu, lalu kembali lagi ke sirkus," kata Erik, "Aku akan selalu menunggu pertunjukkan kalian. Yah, itu kalau kau tidak mendapat hukuman mati."

Aku bergidik. Benar juga. Apa mereka akan dapat hukuman mati? Kekacauan yang mereka ciptakan cukup parah juga, soalnya.

Kak Sifari menepuk pundak Erik, "Yah, percaya saja. Lagian mereka, kan, bukan Insaneis. Mereka juga korban. Tapi, entahlah, hukum di negeri ini susah untuk diprediksi."

Tidak membantu, Kak Sifari. Aku tahu dia berusaha untuk menghibur Erik. Tapi, ucapan terakhirnya malah membuat Erik tambah ragu sepertinya.

Kulihat Kak Yura sedang berbincang dengan seorang perempuan yang diikat. Kak Yura tampak kebingungan. Aku pun mencoba untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

"Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi?" tanya perempuan yang diikat itu.

Kak Yura menggeleng, "Sama sekali tidak. Segera setelah serangan Kak Eriza gagal, aku merasa panik, dan tiba-tiba sekelilingku menjadi gelap. Begitu aku sadar, kami sedang berkumpul setelah Argus kalah."

"Hmmm… aneh juga. Karena aku mengingat dengan jelas, meskipun dalam pengaruh obat, yang mengalahkanku adalah seorang pria," kata perempuan itu. "Dan ia mirip denganmu."

Kak Yura terlihat muram. Kenapa?

"Hei, bocah berkilauan!" seru seorang pria kribo yang diikat juga. Ia memanggil Kak Solari. "Jika kau butuh pertunjukan yang hebat, kau tahu kepada siapa harus meminta! Asalkan kau tidak membutakan mataku lagi saja."

"Ya, aku akan mengingatnya," jawab Kak Solari datar.

Oh, ya, aku baru ingat. Kak Sifari dan Erik bilang Kak Solari tiba-tiba menghilang waktu mencariku. Kami baru bertemu dengan dia lagi setelah akan pulang. Dia berjalan dari, kata Kak Raja, gudang penyimpanan Euphoroid. Dan setelah kami cek, ternyata Kak Solari memusnahkan stok Euphoroid yang masih tersisa. Bagaimana caranya? Kak Sifari hanya tertawa begitu melihat gudang yang luluh lantak.

"Yah, pekerjaan kita di sini sudah selesai," kata Kak Sifari. "Ayo."

"Ayo? Kemana?" tanyaku.

"Kemana lagi," Kak Sifari tersenyum, "waktunya pulang, Sonia."

Kak Raja menghampiri kami, "Kalian sudah akan pulang saja? Padahal kami belum memberikan ucapan terima kasih apapun."

"Ah, tidak perlu. Kalian baru saja bebas. Nikmatilah kebebasan ini dengan diri kalian masing-masing," kata Kak Sifari. "Lagian, seharusnya kalian berterimakasih pada pamanmu. Tanpanya, tak mungkin kami bisa ke sini."

Pak Jaya datang dan terkekeh, "Tapi, beneran, lho. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Akhirnya, setelah dua tahun ini, kami bisa hidup dengan tentram."

"Kurasa, aku juga harus berterimakasih padamu," Kak Sifari mengulurkan tangannya pada Kak Raja. "Aku tidak bisa mengalahkan Argus, kalau waktu itu kau tidak membantuku memecahkan ilusi Euphoroid."

Kak Raja menjabat tangan Kak Sifari, "Yang kugunakan juga alatmu, kok."

Kak Sifari menghela nafas, "Oke! Waktunya kita pulang!"

Aku, Kak Eriza, Erik, Kak Alan, Kak Yura, dan Kak Solari menjawab dengan serempak, "YA!"

"Oh, ya, Raja," panggil Kak Sifari.

"Hm? Ada apa?" tanya Raja.

"Kau punya bawang goreng?"

Hah? Yang kaupikirkan sekarang itu?

***

Sebuah mobil sedan berwarna hitam memasuki perkampungan. Ia diparkirkan di dekat pintu masuk kampung. Dua orang keluar dari mobil itu. Oramg itu adalah Arslan dan Mira. Mereka melihat-lihat sekitar. Berkeliling, berusaha mencari keanehan, seperti yang diduga.

"Jadi, ini Bercos?" kata Mira.

"Kampung ini lumayan terpencil, tapi tidak terlalu jauh dari pusat kota," kata Arslan. "Tempat yang cocok kalau tidak ingin terlihat mencolok. Jadi, masalah apa yang mereka punya? Serangan monster? Insaneis hilang kendali?"

"Yah, kata Andre, orang yang dikirim ke sini bebeberapa waktu lalu, katanya tidak menemukan kejanggalan apapun. Mereka menduga hanya salah pencet atau pun iseng."

"Kita tanyakan saja pada warga sini," Arslan menghampiri seorang bapak-bapak. "Permisi, pak. Mohon maaf, kami dari Mandala," ucap Arslan sambil menunjukkan lencananya, "boleh kami tanya sebentar?"

"Hm? Dari Mandala? Dari Mandala!" bapak-bapak itu berteriak, "UDAH DATENG, WOY!"

"Panggil Pak Jaya! Panggil!" bisik seorang pemuda.

Tak berapa lama kemudian, seorang pria paruh baya datang kepada Arslan dan Mira. Ia adalah Pak Jaya. Pak Jaya mengulurkan tangannya, "Kalian dari Mandala?"

Arslan menjabat tangannya, "Iya."

"Mari ikut saya," ajak Pak Jaya.

Mereka pun berjalan. Menyusuri kampung itu. Dengan Pak Jaya memimpin di depan. Di sepanjang perjalanan, Arslan dan Mira ditatap tajam oleh para penduduk kampung. Mereka semua memberikan wajah sinis kepada kedua agen Mandala tersebut.

"Lan, mereka, kok, kayak gak seneng kita ada di sini?" bisik Mira.

"Pasti ada kaitannya dengan agen yang dikirim sebelumnya," jawab Arslan sambil berbisik pula.

Arslan dan Mira terus mengikuti Pak Jaya. Sampai akhirnya, mereka tiba di sebuah mansion. Mereka berdua tercengang. Saling bertatapan satu sama lain. Di depan pagar rumah itu, ada dua orang pemuda yang berjaga. Pak Jaya memberi isyarat kepada mereka berdua untuk mebuka pagar. Kedua pemuda itu pun membuka pagar rumah. Pak Jaya pun masuk ke dalam pekarangan rumah, diikuti oleh Arslan dan Mira.

Kekagetan mereka bertambah, begitu melihat apa yang ada di halaman rumah. Segerombolan orang duduk terikat oleh lender berwarna hijau. Di samping para gerombolan itu, ada Raja yang sedang menjaga. Begitu melihat pamannya datang, ia pun langsung menghampirinya.

"Kau percaya pada mereka, Paman?" bisik Raja.

"Ya, kita tak punya pilihan lain," jawab Pak Jaya.

"Baiklah."

"Bagaimana Sifari dan teman-temannya?"

"Mereka sudah berangkat pulang setengah jam yang lalu."

"Baguslah kalau begitu."

Raja menghampiri Arslan dan Mira. Ia memandang dengan tatapan tajam, "Jadi ini, Mandala? Agen pemenrintah yang hebat itu?" ucap Raja dengan nada sinis. "Terima kasih, lho, atas bantuannya yang dulu."

"K-kami mohon maaf apabila ada kekurangan atas pelayanan kami yang sebelumnya," jawab Mira dengan gugup.

"Cih, kalian tidak tahu saja rasa sakit yang kami alami," gumam Raja.

"Mohon maa-"

"Sudah cukup, Mira," potong Arslan. "Jadi, apa yang menjadi masalah di kampung ini? Siapa mereka?"

Raja mendengus, "Oke, biar kujelaskan, agen Mandala. Dengan singkat. Dua tahun lalu, mereka datang ke kampung ini. Entah untuk apa. Kemudian, mereka tiba-tiba bisa membeli rumah ini," kata Raja sambil menunjuk rumah besar berwarna putih itu, "Lalu, karena sebuah insiden yang tidak disengaja, mereka menyalahkan kami, warga kampung. Sehingga, kami harus bekerja di bawah mereka. Secara paksa. Dari situlah kami mengetahui sebenarnya mereka adalah produsen dan pengedar narkoba peningkat kekuatan. Euphoroid namanya."

"Euphoroid?" tanya Mira.

"Hm? Kenapa?" Arslan bertanya pula.

"Aku pernah melihat berkas kasus seorang Insaneis lepas kendali," jawab Mira. "Seorang informan kita berkata bahwa ini terjadi karena sebuah senyawa baru, yang disebut Euphoroid. Tapi, karena tidak bisa memberikan sampel, informasinya ditolak."

"Dan sekarang, senyawa itu muncul di sini?" Arslan menggaruk kepalanya.

"Kalian beruntung, karena kami masih menyimpan satu sampel," Raja memberikan sebuah tabung dengan cairan berwarna merah di dalamnya. Arslan menerima tabung itu dan langsung ia masukkan kedalam kantong jaketnya.

"Lalu, bagaimana ceritanya kalian bisa menangkap para gembong ini?" tanya Arslan.

"Karena panggilan darurat kami kepada Mandala dan WGO, tak kunjung mendapat tanggapan, apalagi setelah salah satu agen kalian datang tanpa hasil, kami pun memanggil orang lain," ucap Raja.

"Siapa orang lain ini?" tanya Arslan.

"Aku tidak akan memberitahukanmu, ia menolak untuk disebutkan namanya," jawab Raja. "Yang pasti mereka berhasil membebaskan kami dari gembong narkoba ini dan menahan mereka juga." Raja mendekati Arslan. "Kalau kau ingin tahu siapa orang yang menyelamatkan kami, dia berkata, 'Buka lakban di mulut si gondrong'."

Arslan pun menghampiri pria berambut gondrong di kerumunan itu. Argus. Ia membuka lakban yang menutup mulutnya. Begitu lakban di buka, Argus langsung senyum tak karuan.

"Ah, akhirnya! Mandala! Datang untuk menjemputku, ah, maksudku, kami," kata Argus sambil kegirangan.

"Katakan siapa yang berhasil menangkapmu!" seru Arslan.

"Uuu, pengen tahu banget, ya? Pengen tahu banget, ya?" kata Argus dengan nada meledek.

Arslan mendengus, ia menempatkan tangannya di depan wajah Argus. Sambil mengeluarkan aura kekuatan dari tangannya, ia berseru, "Cepat katakan!" Sebuah hawa dingin keluar dari tangannya.

"Kekuatan es, ya? Mengerikan sekali. Mengingatkanku pada seseorang. Tapi lupa siapa," ledek Argus. "Begini saja. Akan kukatakan bahwa, 'sang Singa telah kembali'."

"Kau serius?!" seru Arslan.

"Coba saja kau pikirkan, memangnya siapa lagi yang bisa?" tanya Argus seperti menantang.

Arslan tercengang. Ia pergi dari gerombolan yang diikat itu. Menghampiri Mira. Mira terlihat kebingungan melihat Arslan yang tercengang.

"Kenapa, Lan?" tanya Mira.

"Tidak apa-apa," jawab Arslan. "Hubungi kantor pusat. Minta mereka untuk kirim orang untuk mengangkut mereka."

"Oke," jawab Mira. Dengan sigap, ia langsung mengambil handphone-nya dan menelepon. "Lan, sebenarnya aku kenal orang-orang ini."

"Hm? Benarkah?"

"Ya, mereka adalah mantan pemain Sirkus Ceridwen," jawab Mira. "Sirkus itu tutup sekitar tiga tahun yang lalu. Tak disangka ada mantan pemain mereka di sini. Sebagai kriminal."

"Hah, kriminal saja bisa dimaafkan kok, bahkan dijadikan pahlawan." tanggap Arslan dengan sinis. "Seperti 'orang-orang itu'." Arslan melihat ke langit, "Ngomong-ngomong, soal kriminal yang menjadi pahlawan," gumamnya. "Lionheart, kaukah yang menyebabkan ini?"

***

Sifari mengetuk pintu kantor Pak Ares. Sebuah suara dibalik pintu itu menjawab, "Masuk!"

Sifari pun membuka pintu dan masuk ke dalam ruang kantor Pak Ares. Pak Ares sedang mengetik dengan laptopnya. Dengan segelas kopi di sebelah kanannya. Sifari berjalan mendekati mejanya.

"Maaf menganggumu malam-malam begini, Pak" ucap Sifari.

"Oh, tidak apa-apa," kata Pak Ares. "Lagipula, aku memang menunggumu. Tapi, kemana yang lain?"

"Oh, itu…" Sifari menggaruk kepalanya. "Mereka langsung tertidur begitu sampai asrama. Yang perempuan juga sama, ketika aku tanya ke Asrama Putri."

Pak Ares tertawa, "Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Jadi, bagaimana misi kalian?"

"Yah, itu berjalan lancar," kata Sifari, "jika yang Bapak maksud awalnya."

Pak Ares mengangkat alisnya.

"Kami pergi ke sebuah tempat yang berbahaya, tahu!" seru Sifari pelan. "Gembong narkoba! Astaga. Dan Sonia diculik. Dan kami harus menyelamatkan dia. Dan…"

"Tunggu, Sonia diculik? Hah, itu diluar dugaan," tanggap Pak Ares dengan wajah sedikit terkejut.

"Ya, dia dicu…diluar dugaan?" Sifari terbelalak. "Tunggu, tunggu, tunggu. Jangan bilang… Bapak sudah tahu?" Ia menepuk jidatnya. "Tentu saja Bapak sudah tahu!" Sifari menghela nafas, "May I have your explanation?"

"Apa yang akan kau lakukan jika seseorang datang padamu saat bekerja, dalam keadaan terluka, meminta bantuan? Agar ada orang yang membebaskan tempat tinggalnya?" tanya Pak Ares. "Padahal, itu baru minggu ketigamu bekerja?"

Sifari menggeleng, "Aku tidak tahu."

"Tentu kau akan memberi tugas ini kepada orang yang terpercaya, kan?" tanya Pak Ares lagi. "Dan kau, Sifari, adalah orang yang aku percaya. Tentunya."

"Tapi, kenapa aku?" tanya Sifari. "Ada banyak yang lebih baik daripadaku dan kelompokku. Toni, Bang David, Sandi, mereka semua lebih baik daripadaku."

"Tapi, tidak kupercaya," sanggah Pak Ares. "Atau belum, setidaknya. Karena aku belum mengenal mereka."

"Hanya itu?"

"Yah, karena aku mengenalmu, aku tahu bahwa kau tidak akan mundur kalau melihat keadaan di Bercos," jawab Pak Ares. Ia menyeruput kopinya, "Pasti kau akan tinggal dan membantu mereka. Aku tidak tahu tentang anggotamu, sih. Kupikir Barqi dan Alan akan mengikutimu. Begitu juga dengan Yura, rasa kepeduliannya lumayan tinggi." Pak Ares menghela nafasnya, "Tapi, ternyata Sonia diculik, eh? Tak kusangka dia bisa menjadi faktor pendorong. Bisa kau ceritakan kepadaku dengan lebih detail tentang misimu?"

Sifari termenung. Ia menghela nafas, kemudian mulai bercerita. Mulai dari 'sambutan' mereka oleh Roman, penculikan Sonia, penyusupan rumah Beni, kaki tangan yang mantan pemain sirkus, ilmuwan yang berkhianat, sampai dengan penggunaan Euphoroid yang berbagai macam. Dari obat penguat, sampai pencipta halusinasi. Pak Ares mendengarkan dengan seksama sambil menyeruput kopinya beberapa kali.

"Hm, hm. Jadi begitu ceritanya. Memang seharusnya aku memberitahu dulu," kata Pak Ares. "Tapi, lagi-lagi, aku belum mengenal anggotamu. Kalau kuberitahu misi ini akan sulit, mungkin saja mereka mundur." Pak Ares menghela nafas, "Aku tahu kau kesal. Kalau kau ingin memukulku, silahkan saja. Aku tidak akan menghindar, menangkis, atau membalas."

Sifari menggeleng, "Tidak. Tidak perlu. Aku paham kau hanya ingin menjalankan tugasmu, Pak."

"Yah, itu salah satu alasan kenapa aku memilih kelompokmu untuk pergi," kata Pak Ares. "Alasan lainnya, kau tahu sendiri."

"Yang kita bicarakan di Manang dua bulan lalu?"

"Ya, kau mendapatkannya?"

Sifari mengeluarkan sebuah tabung dengan cairan berwarna merah. Cairan Euphoroid. Ia meletakkan tabung itu di meja Pak Ares. Pak Ares mengambil tabung itu dan melihat-lihatnya.

"Hmmm… akhirnya, ya, Euphoroid."

"Dan Mandala tidak percaya bahwa Bapak bilang ini nyata," kata Sifari. "Setelah melihatnya secara penggunaannya secara langsung, aku juga sepakat kalau ini berbahaya."

"Pada waktu itu, aku tidak bisa mendapatkan sampelnya," kata Pak Ares, "jadinya mereka tidak percaya. Walaupun aku yakin sebenarnya mereka sedang menutup-nutupinya."

"Tapi, sekarang mereka pasti tidak bisa berkelit lagi," kata Sifari sambil tersenyum. Seekor binatang yang seperti kucing melompat ke pundaknya, "Ya, kan, Rota?"

"GRAOR!" Rota mengaum setuju.

"Hmmm…kucing yang lucu, ya," ucap Pak Ares.

"GRAOR!" Rota mendelik kepada Pak Ares.

Sifari mengelus kepala Rota, "Tolong jangan panggil dia kucing, Pak. Dia tidak suka. Dia ini anak singa. Dia yang memastikan kalau Mandala datang ke Bercos."

"Begitu, ya," kata Pak Ares. "Familiar-mu sangat cocok sekali denganmu, Sifari."

"Yah…" Sifari menjeda. "Soal Bapak sengaja membuat kami melawan gembong narkoba, apa tidak apa-apa menceritakannya kepada kelompokku?"

"Masalah waktu saja, sih," jawab Pak Ares, "lama-lama mereka juga tahu. Tapi, pasti ada kelompokmu yang sudah tahu. Misalnya, Eriza."

"Ya, sepertinya sulit untuk menyembunyikan sesuatu darinya."

"Dan sulit juga menebak sesuatu darinya."

"Hah? Maksudnya?" tanya Sifari.

"Nanti kau juga tahu," jawab Pak Ares sambil tersenyum.

"Ehhhhh…" keluh Sifari. "Lalu, pihak sekolah bagaimana?"

"Aku yang akan mengurusnya. Akan kutulis dalam laporan. Yah, meskipun belum tentu dibaca juga, sih," kata Pak Ares. "Malam ini, silakan, istirahat saja, Sifari. Besok pun juga nikmati liburan kalian, ya."

"Siap!" seru Sifari. "Kalau begitu saya pamit dulu," Sifari membungkuk kepada Pak Ares. Ia berjalan ke arah pintu. Sebelum keluar ruangan, ia menoleh kepada Pak Ares, "Terima kasih, ya, Om."

***

Aku menghela nafas setelah keluar dari gedung kantor guru. Aku deg-degan sekali. Kupikir akan dimarahi karena bertindak gegabah. Tidak meminta bantuan dari sekolah. Ternyata memang rencananya dari awal begitu, toh. Aku harus menenangkan diri. Ke kantin sajalah.

Di kantin, aku pun mengambil sebuah minuman dari kulkas. Kemudian, beberapa makanan ringan, seperti biskuit dan chiki juga aku ambil dari etalase. Setelah itu, aku pun berjalan ke kasir untuk membayar. Karena tak memerhatikan sekitar, aku pun menabrak seseorang dalam perjalanan ke kasir.

Seseorang pun berteriak kepadaku, "HEI! KALAU JALA… liat-liat… dong…" Eh? Sonia, toh? Dia juga kaget begitu menyadari aku yang ditabrak sepertinya.

"Hai, Sonia. Maaf sudah menabrakmu, ya," kataku berusaha untuk mecairkan suasana.

"Hmph, yang benar saja, seminggu ini sudah dua kali kau menabrakku!" gerutunya.

"Wow, aku terkesan. Kau masih ingat rupanya?" kataku. "Ngomong-ngomong, kau biasanya bersama temanmu itu. Kemana dia?"

"Lucia? Dia sedang rapat dengan kelompoknya. Sepertinya mereka akan menjalankan misi besok," jawab Sonia. "Ngomong-ngomong soal misi, apa-apaan misi kita yang kemarin! Itu bahaya banget, tahu. Nggak, bukan, kau yang membuatnya bahaya, Kak Sifari!"

"Hm, maksudmu?"

"Kalau kau tidak menyerang si Roman itu, pasti kita sudah langsung pulang ke sini dengan selamat!" jawab Sonia.

"Kalau kau tidak ikut campur saat Beni datang, kau tidak akan diculik dan kami tidak perlu menyelamatkanmu, tahu!" bantahku dengan sedikit mengangkat suara.

Sonia pun terbelalak. Mukanya mulai memerah, "Pokoknya! Untuk kedepannya, aku tidak mau mengambil misi yang seperti itu lagi! Titik!"

"Ah, sayang sekali. Karena kedepannya, mungkin misi kita akan seberbahaya itu, ataupun lebih," kataku sambil menyeringai. "Makanya, sekarang aku tawarkan padamu, apakah kau mau dipindahkan?"

"Di-dipindahkan?"

"Ya, dipindakan ke kelompok lain," jawabku. "Dengan bersepakat bersama kapten kelompok lain, kami bisa menukar anggota kelompok. Misalnya, dengan bersepakat bersama Rudi, aku bisa memindahkanmu ke kelompoknya. Sebagai gantinya, temanmu, Lucia akan masuk ke kelompokku."

Sonia membeku. Ia tampak ragu-ragu untuk menjawab. Matanya tak berani untuk menatap mataku.

"Bagaimana?" tanyaku. "Jujur, aku sendiri tidak menyarankannya. Karena kita baru saja terbentuk seminggu yang lalu. Terlalu cepat untuk berkesimpulan bahwa kau tidak betah."

"A-aku akan memikirkannya," jawab Sonia sambil menatap ke bawah.

"Pikirkan juga apa yang telah kau dapat dalam seminggu ini setelah bergabung dalam kelompok, oke?" kataku. "Tapi, kau harus berhati-hati juga, sih, kalau masih mau berada dalam satu kelompok denganku."

"Kenapa?"

"Soalnya aku ini terkutuk."

"Terkutuk? Maksudnya?"

"Haha, nanti kau juga tahu," kataku. Aku pun lanjut berjalan ke kasir untuk membayar belanjaanku. Sonia pun beranjak pergi dari kantin.

***

Sifari sedang membawa makanan ringan dan minuman ditangannya. Ia membuka pintu Asrama Putra. Di dalam ruangan itu, Sifari mendapati Barqi sedang berbaring membaca buku. Ia menempatkan tubuhnya pada sebuah sofa di ruang rekreasi. Sifari pun ikut duduk di sebuah sofa dekatnya.

"Nggak bisa tidur?" tanya Sifari.

Barqi mengangguk, "Ya, karena aku sudah tidur dari tadi," ia mengubah posisinya menjadi duduk, "aku jadi tidak bisa tidur sekarang."

"Setahuku, kau selalu menemukan cara untuk tidur," kata Sifari.

"Yah, mungkin belum saja."

"Kau masih kepikiran yang tadi pagi?" tanya Sifari. "Tentang kau yang kalah dari ilusi?"

Barqi menghela nafas, "Yah, mungkin saja." Ia menaruh buku di sampingnya, "Apakah kau pernah merasakannya? Kau pikir kau tahu apa yang kau hadapi, tapi ternyata tidak?"

"Sering," jawab Sifari singkat sambil membuka bungkus makanan ringan. "Malah semua hal yang terjadi di Bercos adalah salah satu contohnya. Sering kali teori berbeda dengan prakteknya. Apa yang kita pelajari di sini tidak serta merta tepat, tapi tidak pula keliru."

"Maksudnya?"

"Teori itu hanya dasar. Jika ia tidak sesuai dengan kenyataan yang terlihat, bukan berarti ia keliru. Ia berkembang," ujar Sifari. Ia menunjuk kepalanya, "Dan perkembangan itu dibatasi oleh imajinasi masing-masing orang."

Barqi mengangguk-angguk. Ia melihat ke Sifari sebentar, lalu melayangkan pandangannya ke langit-langit, "Aku punya pertanyaan lagi, Kapten."

"Tanyakan saja."

"Misal, hanya misal, kakakku adalah seorang yang pernah berbuat jahat di masa lalunya. Aku tidak mengetahuinya. Tapi, dia sudah berubah sekarang. Aku harus bagaimana?"

"Wah, aku tidak pernah menyangka Kakakmu orang yang seperti itu," kata Sifari.

"I-ini hanya pemisalan, kok!"

"Hmmm… dia sudah berubah, kan?"

"Tapi, bukankah dosa di masa lalunya masih terbawa?"

"Itu tergantung dianya," jawab Sifari. "Kalau dia sudah meninggalkan masa lalunya, maka biarkan ia meninggalkannya. Malah kau harus membantunya."

Mata Barqi terbelalak, "Oh, ya, benar juga. Haha, terima kasih, Kapten." Barqi pun tersenyum.

"Tentu saja, kapanpun," Sifari ikut tersenyum. "Karena kau adalah Wakil Kaptenku. Tapi, memangnya Kakakmu beneran seperti itu?"

Dari tangga menuju kamar, tiga orang sedang memperhatikan. Alan, Solari, dan Erik. Mereka melihat Sifari dan Barqi berbincang dari tadi. ingin mereka bergabung, tetapi, hati mereka di penuhi dengan kebimbangan.

"Kita tidak jadi ikut gabung?" tanya Solari sambil berbisik.

"Nggak, ah, kayaknya lagi ngobrol serius," jawab Erik. "Nggak enak. Takut ganggu."

"Kalau aku, sih, bakalan tetap ikut," celetuk Alan.

"Kalau gitu kenapa kau nggak kesana?" tanya Erik.

Alan tertawa gugup, "I-itu karena, aku takut kalian merasa tersingkirkan."

"Hmph, alasan!" gumam Erik. "Oh, ya, ngomong-ngomong, Kak Solari, aku punya pertanyaan."

"Hm, apa itu?"

"Kenapa kau memanggil Kak Sifari, 'Kapten'?" tanya Erik. "Aku memanggilnya begitu karena mengikutimu. Aku tanya Kak Yura dan Kak Eriza juga sama."

"Begitu juga denganku," kata Alan nimbrung.

"Itu karena… aku lupa namanya," jawab Solari.

"HHAH!?" Alan dan Erik terkejut.

"Ya-yah, waktu itu aku lupa namanya. Yang aku ingat dia adalah kapten kita," ucap Solari. "Jadi aku memanggilnya 'Kapten' saja."

"Namanya Sifari, tahu! Sifari!" seru Erik dengan sedikit berteriak. Ia menggeleng-geleng, "Aku pikir alasannya apa, te-ternyata…"

***

"Bo-bo-bossss!" seru seorang preman sambil lari terbirit-birit. Ia diikuti oleh seorang temannya. "Bahaya! Bahaya! Bahaya!"

"Woi, lo nggak bisa santai, apa!?" teriak seorang yang duduk sambil memegang botol bir.

"Nggak, nggak bisa, Bang Roni!" kata preman sambi terengah-engah. "Tadi, tadi, di MRT, gue ketemu, ketemu…"

"Hah? Ketemu siape?" tanya preman yang bernama Roni itu. "Ngomong yang jelas, Jeky, apa pala lu gue getok pake nih botol?"

"Lionheart! Lionheart ada di MRT tadi! Dia katanya mau ke Bercos," kata preman bernama Jeky itu.

Raut wajah Roni menunjukkan ketidakpercayaan, "Ah, yang bener lu? Nggak mungkin! Lionheart, kan, udeh berenti dari dua tahun yang lalu."

"Nggak! Beneran, kok! Bener! Suer!"

"Sudah cukup, Jeky!" sesorang berbicara dari balik kursi. Ia memutar kursinya, memperlihatkan sosoknya. Badannya lumayan besar dan kekar. Wajahnya penuh dengan brewok. Rambutnya berantakan. Di pangkuannya, duduk seorang gadis kecil sedang memegang bola Kristal. "Kau pikir aku belum tahu? Kau pikir Diana, anakku, tidak bisa tahu?!"

"Bu-bukan begitu, bos," jawab Jeky dengan gugup.

"Biar kuberitahukan kepadamu apa yang kau tidak tahu," ucap sang bos. "Si Lionheart itu pergi ke Bercos untuk menghancurkan si Beni dan kawanannya serta produksi Euphoroid!"

Roni dan Jeky terbelalak. Mereka berpandangan satu sama lain.

"A-apakah di-dia melakukannya sendirian lagi? Sama seperti waktu Jack dan kawanannya dibantai habis dua tahun lalu?" tanya Jeky.

"Tidak," jawab sang bos. Ia menyeringai, "Kali ini, dia tidak membunuh lagi. Dia juga punya teman."

"Dulu dia juga punya teman, kok," celetuk Roni.

"Beda. Sekarang teman-temannya berkekuatan khusus semua," sanggah sang bos.

"Lalu, bagaimana kita melawan dia?" tanya Roni.

"Untungnya, sebelum Beni dan kawanannya dikalahkan aku sempat memesan 'itu' dalam jumlah banyak, langsung kepada ilmuwan mereka," jawab sang bos. "Diana sayang, bisa permisi sebentar?" pinta sang bos. Gadis kecil itu pun turun dari pangkuannya.

Sang bos berdiri dari duduknya. Ia menghampiri sebuah kotak pendingin yang terbuat dari besi. Ia pun membuka kotak tersebut. Roni dan Jeky mendekat. Mereka terkesima dan tersenyum lebar, melihat isi dari kotak itu. Tabung-tabung berisi cairan berwarna kuning.

"Ini, ini, ya," ucap Roni. Ia terkekeh, "Lionheart dan teman-temannya nggak punya kesempatan kalau begini!"

"Apa benar nggak apa-apa kayak begini?" tanya Jeky. "Ini… terlalu jahat… aku suka!"

"Lionheart pikir dia masih bisa melindungi apa yang ia cintai," kata sang bos, "kita buktikan kalau sampai kapanpun dia cuman bocah naif!"

Gadis kecil bernama Diana itu mengusap-usap bola kacanya. Ia tertawa, "Hehehe, Lionheart, Lionheart! Penghakiman sudah dekat!"

Orang yang menemani Jeky dari tadi hanya memerhatikan dari jauh. Ia tak berani untuk mendekat. Tapi, ia menyetuh lubang telinganya. Seakan ada sebuah alat komunikasi di dalamnya. Seperti berbicara kepada orang lain, ia berkata, "Mas Arslan, kau dengar itu semua, kan?"

Bercos arc Fin.

To be continued to next arc…

Next chapter: Friendly Fire