Chereads / The Rosemary / Chapter 16 - Chapter 15: Close your eyes

Chapter 16 - Chapter 15: Close your eyes

Solari dan Rembo bersama singanya berhadap-hadapan. Mereka saling menunggu lawan untuk bergerak terlebih dahulu. Solari bersiap-siap untuk menarik pistol dari pinggangnya. Sementara, Rembo memegang cambuknya dengan erat dan singanya dalam posisi akan menikam.

"Hei, kau akan beregerak atau tidak?" tanya Solari.

"Heh, kau saja duluan, silakan," jawab Rembo.

"Oke, kalau begitu," Solari mengeluarkan kacamata hitam dari saku celananya dan memakainya. Ia kemudian menarik salah satu pistolnya dan ia arahkan ke Rembo dan singanya.

"Hah, DASAR BODOH!" seru Rembo sambil mengayunkan cambuknya. Singanya juga ikut melompat ke arah Solari.'

"Flash Bang," ucap Solari sambil menarik pelatuknya.

Sebuah cahaya terang keluar dari mulut pistolnya. Cahaya itu sangat menyilaukan. Begitu lenyap, Rembo mengucek-ngecek matanya. Sementara, singanya berguling-guling di lantai

"Ah, mataku! Silau banget, men!" seru Rembo sambil mengayunkan cambuknya membabi buta.

Cambukan Rembo mengarah ke segala arah. Mengenai lantai, dinding, bahkan singanya sendiri. Sialnya, cambukan itu juga mengenai Solari. Ia terikat oleh cambuk Rembo. Sang pawing singa pun menarik Solari ke arahnya, meskipun tak tahu siapa yang ia tarik. Solari meluncur dengan cepat ke arah Rembo.

"Apakah ini yang dimaksud Kapten?" ucap Solari

Ketika mendekati Rembo, Solari pun menyundulkan kepalanya ke kepala Rembo. Rembo pun jatuh terkapar.

"Begitu, toh, yang disebut 'menggunakan kepala,'" kata Solari. "Sebelum itu, Mantra Pengikat nomor 2, Tenere!"

Solari mengikat Rembo dengan tali tak kasatmata. Ia pun terikat kaku, tak dapat bergerak. Solari juga menggunakan mantra yang sama kepada singa milik Rembo.

"Apa, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Rembo.

"Aku cuman ingin melihat apa yang ada dibalik pintu itu, kok," jawab Solari santai.

Ia membuka pintu gudang. Di dalam ruangan itu, terdapat banyak peti es. Solari mendekati sebuah peti dan membukanya. Ternyata di dalam peti itu terdapat tabung-tabung Euphoroid.

"Sepertinya ini akan dikirimkan, ya," gumam Solari. "Itu tidak boleh terjadi, kan."

Solari menarik kedua pistolnya dan menyatukannya, "Armorphose! Bazooka!"

Pistol Solari berubah menjadi sebuah bazooka. Ia mengarahkan bazooka itu ke peti-peti es.

"Sunshine Howitzer!" Solari menembakkan energy bewarna kuning pekat tiga kali ke tiga arah yang berbeda. Semua peti itu pun habis terbakar.

"Oke, dengan ini sudah selesai, kan, misi kita?" ucap Solari. "Atau masih ada lagi? Sebenarnya misi kita apa, sih? Jalan pulang kemana, sih?"

***

Tanganku terasa terikat. Tubuhku seperti tergantung. Kepalaku serasa tertusuk-tusuk. Dengan perlahan, aku membuka mataku. Memang benar, tubuhku diikat sekitar 15 meter di atas tanah. Aku menoleh ke sampingku, ternyata Kak Putri juga digantung sepertiku. Ia masih tak sadarkan diri. Aku melihat ke depan, ada tiga orang, dua di antaranya sedang siap-siap bertarung, sementara yang satunya hanya berdiri diam, tapi seperti tidak akan kabur.

Yang satu Kak Sifari. Ia dalam ancang-ancang untuk menyerang, dengan api keluar dari kedua tangannya. Hah, tapi, memangnya dia bisa apa? Tidak mungkin dia bisa menang. Terakhir kali, kan, dia kalah. Aku pun melawan Beni juga…tunggu. Yang menjadi lawannya bukan Beni!? Si-siapa? Rambut gondrong dan badan kekar? Preman yang pertama kali? Bukan, bukan. Siapa, ya…ah! Aku ingat!

***

Sebelumnya…

Beni menggerakkan tangannya ke bawah. Tiba-tiba, tubuhku terasa ada yang menekan dari belakang. Aku ditekan ke lantai. Badanku serasa remuk. Aku berusaha untuk melawan, tapi tak ada guna.

Beni menjilat bibir bagian atasnya, "Selamat tidur, Sonia."

"A-A-AAAAAAAAHHHHH!!!"

Beni terkekeh. Ia mengangkat tangannya. Tekanan di atas tubuhku hilang, tapi badanku sudah terkapar lemas. Tak ada satu pun anggota badan yang dapat kugerakkan. Aku mendengar pintu terbuka dan derap langkah sepasang kaki. Aneh, kenapa aku malah merasakan energi dua orang datang? Yang mendekati Beni juga hanya seorang. Ia berambut gondrong dan memakai jas lab. Mana orang yang satunya?

"Argus," ucap Beni sambil terkekeh, "bagaimana? Lu udah ngurusin penyusup-penyusup itu?"

"Ya, aku sudah mengurusi salah seorang dari mereka," jawab si Argus itu sambil menyeringai. "Ia sedang bersimbah darah di lab-ku."

"Oke, segera setelah kita menyingkirkan mereka, kita akan lanjutkan bisnis ini!" kata Beni dengan penuh kesombongan. "Dan gue akan melanjutkan permainan dengan gadis kecil ini. Ihihihi, uhahahaha!"

"Tapi, ada satu masalah, sih, Ben," ucap Argus.

"Hah?"

"Itu pun kalau lo belum disingkirkan."

"Apa yang-GUAAHHHH!" Beni terbelalak dan mulutnya memuntahkan darah.

Aku kaget. Ternyata, Beni ditusuk dari belakang. Yang menusuknya adalah seorang perempuan berpakaian ketat seperti seorang ninja. Perempuan itu mencabut pisaunya. Beni pun jatuh ke lantai.

"Ar-argus, maksud lo apa, bangsat!?" seru Beni.

"Maaf, sebenarnya menjadi bawahan bukan gaya gue. Apalagi kepada orang mesum seperti lo," jawab Argus sambil menggelengkan kepalanya.

Beni menggeram. Ia berusaha untuk meraih Argus. Tapi, ia keburu tak sadarkan diri. Aku yang tercengang juga kehilangan kesadaranku.

***

Ya! Dia adalah orang yang mengkhianati Beni. Tapi, perasaan badannya nggak sekekar ini. Apa dia pakai obatan yang sama seperti preman yang pertama itu? Apapun itu, dia terlihat geram. Aku melihat sekeliling ruangan. Di sebelah Kak Sifari, ada seorang laki-laki. Siapa, ya? Seperti pernah lihat. Dan di tahta itu, Beni terduduk pingsan. Duduknya dia di tahta itu agak ironis, mengingat dia telah dikhianati dan kehilangan kekuasaan. Tahta yang ia duduki itu tidak lebih hanya sekedar simbol.

"Lionheart, aku sudah menunggu saat ini," ucap Argus. "Untuk waktu yang sangat lama kupikir aku tidak akan bisa membalaskan dendam family-ku, putraku, ISTRIKU! Kau juga ingin balas dendam, kan? Dari kampung ini, teman-temanmu, dan dirimu sendiri."

"Tidak perlu menunggu lama lagi," jawab Kak Sifari, "Aku disini. Tapi, aku cuman mau temanku kembali. Soal yang lain tidak penting."

"Hmph, arogan sekali," seru Argus sambil mendengus. "Ini dia, LIONHEART!"

Lionheart? Kenapa dia memanggil Kak Sifari dengan sebutan itu? Seingatku, julukan dia hanya ada dua, 'Empat Raja Langit' dan 'Raja Api'. Entah apa ada lagi di luar itu. Tapi, nama Lionheart seperti terdengar familiar bagiku…aku seperti pernah mendengarnya…dimana?

Argus kemudian maju dan mengayunkan kedua tangannya dari atas kepala kepada Kak Sifari. Dengan apinya, Kak Sifari meluncur ke belakang. Pukulan Argus hanya menghantam lantai. Kali ini, Kak Sifari meluncur ke depan dengan dorongan apinya. Ia mengayunkan kakinya yang diselimuti api ke wajah Argus. Pria itu pun terpukul kebelakang. Belum selesai, Kak Sifari mengumpulkan kekuatan api di kedua tangannya.

Ia meluncurkan kedua tinjunya ke dada Argus, "PISTON BLAST!"

Argus terpental ke belakang. Mengenai dinding yang berada di dekatku. Aku pun terombang-ambing dalam ikatanku karena angin dari efek pukulan Kak Sifari. Argus bangkit dari hantamannya di dinding. Ia terbatuk. Bersamaan dengan batuk tersebut, ia mengeluarkan darah dari mulutnya. Ia melompat maju ke Kak Sifari lagi. Sepertinya mereka belum sadar kalau aku sudah siuman.

"LIONHEART!"

Ia mengayunkan tinjunya. Lagi-lagi, yang ia hantam hanya lantai. Kak Sifari masih sempat menghindar. Tapi, kemudian Argus mengayunkan tinjunya yang lain. Kak SIfari pun terpental ke belakang. Temannya yang ada di belakangnya pun menghindari ketika Kak Sifari melayang dan menghantam pintu. Pintu itu sampai terbuka. Dengan secepat kilat, Argus berlari mendatangi Kak Sifari dan mencengkram lengannya.

Kak Sifari dilempar kembali ke dalam ruangan. Tanpa ada jeda, Argus langsung menghampiri Kak Sifari dan memukulnya berkali-kali. Di wajah, dada, dan perut. Sebagai penutup, ia memukul dengan keras hingga Kak Sifari terpental ke dekat tahta di ruangan.

Ketika Kak Sifari berusaha bangkit, ia melihatku. Ia tersenyum dan menaruh jari telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat kepadaku untuk diam. Ia punya rencana. Untuk saat ini aku tidak boleh menarik perhatian. Aku pun berpura-pura pingsan. Meskipun, aku berusaha untuk mengintip dari balik pelupuk mata.

Kulihat Kak Sifari bangkit lagi. Sambil menyeringai, ia berkata, "Bagaimana? Sudah puas dengan balas dendam kecilmu?"

Argus tertawa, "Hanya kematianmu yang bisa membuat dendamku terpenuhi!"

"Huh, dasar klise sekali," gumam Kak Sifari.

Kak Sifari berlari ke arah Argus. Begitu ia dekat, Argus mengayunkan tinjunya. Sebelum tinju itu mengenainya, Kak Sifari menekuk badannya ke belakang. Meluncur dengan bantuan api dari tangannya. Kemudian, ia memukul Argus dari belakang dengan api yang besar dari tangannya. Argus pun terpental, tepat di bawahku yang sedang tergantung.

Seperti tak berpengaruh, Argus bangkit kembali, "Mau dipukul seberapapun juga, kau tidak akan bisa mengalahkanku!"

"Hehe, mungkin aku tidak bisa," kata Kak Sifari sambil tersenyum, "tapi, dia bisa!"

Kak Sifari mengeluarkan api dari tangannya dan memotong rantai yang mengikatku. Aku pun terjatuh, tepat di atas pundak Argus.

"SEKARANG, SONIA!" teriak Kak Sifari.

Hah? Hah?! Apa yang harus kulakukan?! Tanpa berpikir panjang, aku pun memengang bahu Argus. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, aku memebekukan Argus. Ia menggeram hebat dan berusaha untuk melawan. Tapi, esku keburu membekukan seluruh tubuhnya.

"Mantra Pengikat nomor 2, Tenere!" Kak Sifari mengeluarkan tali berwarna jingga dari ujung jari telunjuk dan tengahnya. Tali itu mengikat seluruh tubuhku. Kak Sifari menarik tali itu, aku pun sontak ikut tertarik juga. Kak Sifari menangkapku dan menurunkan tubuhku di lantai.

"Kau lihat, aku meminta bantuan teman-temanku untuk melakukan hal yang tidak bisa kulakukan," ucap Kak Sifari. "Sementara kau menggunakan teman-temanmu untuk melakukan hal yang tidak mau kau lakukan. Memang mirip. Tapi, perbedaannya adalah kau tidak mempercayai teman-temanmu."

"Ennghhh….GHAAAAAAA!!!!" Argus berteriak dengan keras.

Kak Sifari mengepalkan dan mengumpulkan energy api di tangan kanannya. Ia kemudian meluncur ke arah Argus yang terbekukan. Kak Sifari menghantamkan tinjunya ke perut Argus.

"LION SHOT!"

Sebuah letusan besar tercipta dari tinju Kak Sifari. Tubuh Argus terpental ke belakang sampai menghantam dinding hingga jebol. Kak Sifari terengah-engah. Lalu, seseorang datang menghampiriku. Ah, temannya Kak Sifari. Ia mengulurkan tangannya kepadaku.

"Kau tidak apa-apa?" ucapnya.

"Ya, terima kasih," jawabku sambil menggengam tangannya untuk berdiri.

Dari kejauhan, Kak Sifari berseru, "Hei, Sonia! Raja! Kesini, deh!"

Aku dan temannya Kak Sifari, yang sepertinya bernama Raja, pun berjalan menghampiri Kak Sifari.

"Ada apa?" tanyaku.

"Ah, sebelum itu, bisa kau bebaskan Kakakku?" tanya Raja sambil menunjuk ke atas.

"Ha-hah? Kakak?" Aku menoleh ke atas. Kak Putri? Ohhh, dia ini adiknya Kak Putri? Memang, sih, dia pernah bilang punya adik.

Aku pun memotong rantai yang mengikat Kak Putri. Badannya pun terjatuh. Kak Raja ini menangkapnya. Kemudian, Kak Putri membuka matanya.

"Ra-Raja?" ucapnya lesu.

"Kakak! Syukurlah!" seru Raja sambil berlinangan air mata.

"Bagaimana dengan Bunga? Kakek?"

"Mereka baik-baik saja, Kak! Aku telah menjaga merek dengan baik!"

Kak Putri tersenyum, "Kerja bagus."

Aku pun ikut tersenyum juga.

"Oi, Sonia," panggil Kak Sifari.

Aku pun menoleh dan menghampiri Kak Sifari. Ia mengajakku untuk berjalan melalui lubang yang ia buat di dinding. Aku melihat tubuh Argus terkapar dan tak sadarkan diri. Sebuah bekas bakaran besar dapat terlihat di bagian perutnya. Ini pasti karena Kak Sifari. Tapi, ada lagi yang membuatku lebih terkejut. Karena di ujung ruangan itu, ada orang-orang yang sepertinya kukenal. Hei, itu kan teman sekelompok kami!

Disana ada Kak Eriza yang sedang duduk bersandar ke dinding ruangan. Sementara, Kak Yura tertidur dengan kepalanya di paha Kak Eriza. Erik sedang duduk dengan wajah bosan. Dan Kak Barqi yang tertidur dengan jaket sebagai bantalannya. Sepertinya jaket kelompok kami milik Kak Eriza dan Erik. Karena mereka tidak memakai jaket seperti Kak Sifari dan Kak Yura. Wajah Kak Eriza dan Erik langsung cerah begitu melihat kami berdua.

"Ah, KAPTEN!" seru Erik. Ia menghampiri Kak Sifari.

"SONIA!" seru Kak Eriza. Ia langsung menghampiriku dan memelukku. "Ah, aku pikir kau sudah diapa-apain."

"Ya, aku tidak apa-apa," balasku. "Kalian sendiri bagaimana?"

"Kami baik-baik saja," Kak Eriza menatap ke bawah, "kecuali…"

Kak Sifari langsung menghampiri Kak Barqi yang sedang tertidur. Di sampingnya, ada pedang dengan sarung berwarna hitam dan gagang berwarna hijau. Itu pedang Kak Barqi, Katana itu jenisnya, katanya. Di dekatnya, ada jaket seragam kami yang berlumuran darah di bagian belakangnya.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Kak Sifari.

"Kami juga tidak tahu pastinya," jawab Kak Eriza. "Sepertinya ia diserang dari belakang. Begitu kami tiba di ruangan ini, ia sudah pingsan dan berlumuran darah."

Kak Sifari termenung. Ia menatap Kak Barqi dengan penuh kesedihan. Aku merasakan perasaan gagal darinya. Tiba-tiba, Kak Barqi terbatuk-batuk. Ia membuka matanya.

"Kapten…" lirihnya.

"Barqi!" seru Kak Sifari.

"Ma-maafkan aku… Diserang dari belakang… Sebuah luka yang memalukan bagi seorang ahil pedang, kan? Terlebih lagi tangan kanannya Empat Raja Langit…"

"Hei, hei, hei, tidak apa-apa. You win some, you learn some. Santai saja, oke?" kata Kak Sifari berusaha untuk menenangkan Kak Barqi.

"Kau tahu apa yang seorang samurai lakukan, begitu mereka kalah, kan, Kapten? Seppuku. Tapi, kau membenci hal itu," ucap Kak Barqi.

"Tentu saja! Memangnya mati akan menyelesaikan semua masalah?" balas Kak Sifari.

Kak Barqi merubah posisinya menjadi duduk. Ia menghela nafas. Kemudian, pedangnya ia ambil dan keluarkan dari sarungnya. Kak Barqi mengangkat pedang itu.

"Mulai saat ini, aku bersumpah, tidak akan lagi membiarkan harga diriku terinjak oleh orang lain!" seru Kak Barqi. "Bagaimana, Kapten? Kau keberatan?"

"Huh, dasar klise sekali. Tentu saja tidak!" jawab Kak Sifari sambil tersenyum.

Aku pun ikut tersenyum. Begitu juga dengan Kak Eriza dan Erik. Kak Yura yang dari tadi tertidur, akhirnya terbangun. Ia terlihat kebingungan.

"Sekarang, bagaimana?" tanya Kak Eriza. "Apa yang kita lakukan dengan mereka?"

"Tidak ada cara lain. Kita harus membiarkan aparat yang mengurusi mereka," jawab Kak Sifari. "Aku perkirakan setidaknya Mandala akan terlibat. Lagipula, keterlibatan kita di sini illegal secara hukum."

"Tapi, mereka akan diapakan?" tanya Erik. "Sebagian besar dari mereka bukan Insaneis."

"Yah, memang," Kak Barqi ikut angkat bicara, "tapi, keterlibatan mereka dalam menyebarkan obatan pemberi kekuatan seperti Euphoroid ini cukup serius. Aparat tidak akan melewatkannya, kurasa."

"Dan dengan Euphoroid ini, tidak ada bedanya antara Saneis dan Insaneis," lanjut Kak Sifari. "Meskipun yang Insaneis, hanya Beni dan Argus ini. Bagi publik, sama saja."

"Lalu, sekarang kita harus apa?" tanyaku.

"Yah, kita ikat saja mereka dan tempatkan di tempat yang mudah terlihat," jawab Kak Sifari.

"Oke!" seru Erik dengan semangat. "Ayo kita kerjakan dengan cepat!"

Kak Sifari menepuk pundak Erik, "Tunggu dulu, aku masih capek."

"Yah…"

***

Perempuan berpakaian ninja itu berjalan dengan cepat. Ia seperti buru-buru. Tapi, langkahnya teratur. Ia tiba di depan sebuah pintu dengan kunci sebuah password. Ia menekan tombol-tombol nomor yang berada di samping pintu. Setelah pintu terbuka, ia pun masuk kedalam ruangan. Ruangan itu minimalis. Dengan hanya beberapa hiasan kaca di sekeliling ruangan dan lukisan Monas terpampang di dinding.

Begitu masuk, perempuan ninja itu berjalan sedikit, lalu berlutut hormat. Yang diberikan hormat duduk di sebuah kursi besar berwarna hitam terbuat dari kulit. Sosoknya terhalang oleh kursi yang tinggi itu. Karena ia sedang menatap keluar jendela. Persis di hadapannya terdapat Monas.

"Lapor, Argus sudah ditumbangkan," ucap perempuan itu.

"Oh, ya?" jawab pria itu. "Oleh siapa? Dan bagaimana kau bisa selamat?"

"Aku kabur sebelum ia bisa melawanku," jawab perempuan ninja. "Dan orang itu adalah, Lionheart."

Pria itu tersentak. Ia langsung memutar kursinya. Ia menggebrak mejanya. "SERIUS!? Jangan ngada-ngada, deh!"

"Setidaknya itu yang Argus duga. Makanya, ia meminta bantuan dari kita."

"Bener nih, ya. Awas aja sampe salah." kata pria itu. "Terus si Argus gimana?"

"Masih di kampung itu. Kemungkinan besar Mandala akan menangkapnya."

Pria itu tertawa, "Segera beritahu orang kita!"

"Baik, pak!"

"Lionheart, eh? Sekarang dia sudah berani bermain dengan Dewa, ya? Hm?"

To be continued…

Next chapter: Waktunya pulang