Sebelum penyusupan…
"Oh, ya, sebelum kami pergi," ucap Sifari. Dia merogoh sesuatu dari saku celananya. Ia mengambil sebuah bola berwarna putih. Ukurannya agak lebih besar dari buah rambutan. Diatasnya terdapat sebuah tombol berwarna merah. Beberapa lubang menghiasi sekujur tubuh bola itu. Ia memberikannya kepada Raja. "Ini."
Raja mengangkat alisnya, "Apa ini?"
"Ini adalah bom asap. Aku sendiri yang membuatnya," ujar Sifari.
"Kenapa kau memberikannya kepadaku?"
"Untuk jaga-jaga," jawab Sifari singkat.
"Kalau untuk jaga-jaga, mestinya kau berikan pistol saja, Kapten," celetuk Erik.
"Apa perlu kupinjamkan pistolku?" Solari ikut menanggapi.
"Ti-tidak usahlah," kata Raja. "Aku tidak tahu cara menggunakan pistol. Tapi, temanmu ada benarnya, kenapa kau memberikan bom asap kalau untuk jaga-jaga?"
Sifari menggaruk kepalanya dengan canggung, "Emmm, sebenarnya ini adalah produk eksperimenku."
"Produk eksperimen?" tanya Raja.
"Ya, jadi ini bukan sekedar bom asap, tapi bom parfum. Ia akan megeluarkan bau harum."
"Kurasa malah jadi tambah nggak berguna," celetuk Eriza.
"E-eh, bukannya dia bisa mengalihkan perhatian musuh dengan ini?" bela Sifari.
"Tetap saja ini produk eksperimen, Kapten!" seru Eriza. "Masih. Dalam. Tahap. Percobaan!"
"Entahlah, kupikir ini akan berguna untuknya," gumam Sifari. "Checkhov's Gun?"
"Kalian percaya saja kepada intuisi Kapten," kata Barqi. "Itu sudah menyelamatkanku beberapa kali dulu."
"Akan susah percaya kalau sandarannya cuman intuisi," gumam Eriza.
***
Kembali ke masa kini.
"Karla!" seru Romo sambil mendobrak pintu.
Ia tercengang melihat pemandangan yang berada di depannya. Erik yang mengikuti dari belakang juga sama tercengangnya.
Mereka melihat Karla terikat di dinding dengan sebuah mantra pengikat. Eriza terkapar di lantai. Dan, seorang pria dengan jaket yang sama seperti Erik berdiri tegap di antara itu semua. Ia memegang sebuah tongkat khakkara.
Pria itu menoleh kearah mereka berdua. Anehnya, semua tentang pria itu mirip dengan Yura, wajahnya, rambutnya, matanya. Yang membedakan hanya tinggi badan dan pakaian yang dikenakan. Pria itu tersenyum. Sebuah kabut asap tebal menyeruak darinya. Pria itu berganti menjadi Yura. Kemudian, ia pingsan.
"A-apa yang baru saja terjadi?" tanya Romo.
Erik menganga lebar, "Ha-ha-HANTUUUU!!!"
Tiga puluh menit sebelumnya…
Karla mengeluarkan suntikan Euphoroid. Ia menyuntikkannya di pembuluh nadinya. Karla pun mendesah dan mengerang dengan hebat seraya kekuatan mengalir ke dalam tubuhnya. Matanya pun berubah warna seperti yang sudah-sudah.
"Siap-siap, Yura!" seru Eriza.
Yura mengangguk, "Ya!"
Erangan Karla terhenti. Ia melihat Eriza dan Yura dengan tajam. Seringai lebar menghiasi wajahnya. Karla mengambil ancang-ancang. Kemudian, ia meluncur ke depan. Pijakan kakinya membekas di lantai. Karla mengarahkan tendangannya kepada Eriza dan Yura.
"Kak Eriza, awas!" seru Yura.
Dengan tongkatnya, Yura mendorong Eriza ke samping sambil mendorong badannya ke sisi lain. Tendangan Karla pun meleset. Ia menabrak dinding.
"Terima kasih, Yura," ucap Eriza. "Oke, siap-siap serangan selanjutnya!"
Karla bangkit dari hantamannya ke dinding. Ia berlari menuju kedua lawannya tersebut. Karla melakukan gerakan koprol, kemudian diikuti dengan salto belakang. Dalam sekejap mata, ia sudah berada di pundak Eriza. Karla menarik dagu Eriza ke belakang sambil berteriak-teriak. Eriza yang berusaha menahan tarikan itu juga ikut berteriak kesakitan.
Yura menyentuhkan tongkatnya ke badan Karla, kemudian berucap, "Mantra Serang nomor 1, Collisio!"
Tubuh Karla terpental ke dinding lagi. Tapi, sebelum ia bisa bergerak Eriza langsung merapal mantra, "Rantai tak kasatmata, yang mengikat diriku dengan realita, Mantra Pengikat nomor 2, Tenere!"
Seperti ada rantai yang mengikat, Karla menggeliat. Berusaha untuk bebas. Ia berteriak sambil berusaha untuk meregangkan ikatan yang memasung tubuhnya. Tapi, ia masih saja terbelenggu.
Eriza pun menarik Yura untuk bersembunyi di balik sebuah mesin pabrik itu. Mereka berusaha untuk mengatur nafas.
Eriza menghela nafas, "Dilihat dari cara dia bertarung, sepertinya dia bukan seorang pembunuh."
"Kenapa?" tanya Yura.
"Karena kalau mau lebih efektif, dia seharusnya memitas leherku, bukan menariknya,"
"Oke, Kak Eriza, apa kau punya rencana?" tanya Yura.
"Ada beberapa," jawab Eriza. "Tapi, sebelum itu, aku harus bertanya, apa saja kekuatanmu?"
"K-ke-kekuatanku?" tanya Yura kembali.
"Ya, kekuatanmu! Apa saja yang bisa kau lakukan?"
"Ya, seperti yang bisa kau lihat tadi, aku bisa mengeluarkan ilusi."
"Ah, tapi pengalihan visual tidak akan bekerja untuk maniak seperti dia," sanggah Eriza.
"Oke, aku juga bisa menghilangkan gangguan pada energi seseorang."
"Tapi, dia, kan, bukan sedang kerasukan," tanggap Eriza lagi. "Memang seperti kerasukan, sih, tapi, penyebabnya lebih kepada obat-obatan. Mungkin kekuatan yang ini tidak mempan padanya."
"Jadi, maumu itu kekuatan yang seperti apa, sih, Kak Eriza!?" tanya Yura kesal.
"Pasti ada lagi, kan, kekuatanmu?" tanya Eriza dengan penuh harap.
Mata Yura menerawang ke bawah, kemudian menatap Eriza lagi, "Aku bisa memanggil shikigami."
"Shikigami?" tanya Eriza.
Yura mengangguk, "Jadi mereka ini adalah monster yang keluar dari kertas. Tapi, mereka adalah monster yang menuruti semua perintahku."
Eriza termenung, "Oke, begini saja…"
***
Karla masih menggeliat, berusaha untuk lepas dari ikatan tak kasatmata itu. Setelah beberapa kali, akhirnya ikatan itu meregang. Karla pun mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan rantai tak terlihat tersebut. Nafasnya tersengal-sengal setelah bebas. Matanya langsung mencari-cari dengan liar. Layaknya seorang singa memburu mangsanya.
Yura keluar dari persembunyiannya. Ia berjalan dengan santai. Kemudian, ia mengeluarkan sebuah kertas. Bentuk kertas itu seperti figure orang. Sebuah tulisan Jepang tertera pada kertas itu.
"Datang dari barat, bersama musim semi. Menikam musuh dengan erat, kekotoran pun dibasmi," ucap Yura. Ia melemparkan kertas itu. Kertas tersebut meluncur ke arah Karla. "Keluarlah, Raja Barat, BYAKKO!"
Kertas itu berkembang. Dan terus berkembang. Awalnya beberapa bulu putih muncul. Kemudian diikuti dengan empat kaki. Lalu, sepasang mata tajam berwarna biru dan taring mengkilap juga keluar. Akhirnya, kertas itu telah menjadi seekor harimau putih. Ia berlari menuju Karla. Harimau itu melompat menuju Karla, berusaha untuk menikamnya. Tapi, Karla langsung melompat ke atas, mendarat di pagar lantai dua ruangan itu. Harimau itu mengaum kepada Karla. Dibalasnya auman itu dengan desisan dari Karla.
"Kejar dia, Hakumaru!" seru Yura.
Hakumaru mengejar Karla. Ia melompat ke atas pagar pula. Tapi, dengan lincah Karla melompat ke belakang. Bukan hanya melompat ke belakang, Karla juga sempat untuk menendang dagu harimau putih itu. Hakumaru pun terpental ke belakang. Karla meluncur ke depan mengincar Hakumaru. Harimau itu melompat ke samping. Sebuah retakan besar tercipta ketika Karla mendarat.
"Ternyata dia sekuat ini," gumam Yura. "Tikam dia, Hakumaru!"
Hakumaru mengaum. Dia melompat. Kali ini, Karla menahan harimau itu dengan kakinya. Ditahannya harimau itu di dadanya. Karla kemudian menendang wajah Hakumaru dengan kakinya yang satu lagi. Meskipun terpental, Hakumaru tetap mengejar Karla. Harimau putih itu berusaha mencakar Karla berkali-kali. Tapi, tiap kali cakaran datang, Karla selalu menghindar mundur.
"Oke, oke, sedikit lagi…" gumam Yura. "Sekarang, Hakumaru! Shiroi no Houkou!"
Hakumaru menggeram, energi putih menyelimuti badannya. Kemudian, ia mengaum. Bersamaan dengan aumannya, sebuah gelombang energi memancar ke seluruh ruangan. Karla terpukul mundur karena gelombang ini.
"Kak Eriza, sekarang!" seru Yura.
Sebuah lingkaran energi berwarna merah muda muncul di bawah kaki Karla. Ia tercengang. Karla berusaha untuk menggerakkan badannya, tapi ia tidak dapat bergerak. Seluruh tubuhnya terasa kaku, seakan membeku.
"Karla, yang diincar adalah tujuh!" ucap Eriza. "Kesilapanmu adalah kesialanmu, kelalaianmu adalah keberuntunganku. Kekuatan angka, jadilah penghancur musuhku! Lucky Seven…TRAP!"
Cahaya memancar dari lingkaran di bawah kaki Karla. Cahaya itu makin terang dan terang. Hingga akhirnya, sebuah ledakan energi keluar dari lingkaran itu. Karla mengerang kesakitan. Sampai akhirnya, cahaya itu menyurut. Terlihat sekujur badan Karla penuh dengan luka.
"Yes! Berhasil!" seru Eriza.
"Tunggu dulu, Kak Eriza!"
Karla ternyata masih bisa berdiri. Luka yang berada di tubuhnya pulih dengan cepat. Ia menggeram dengan kesal. Tanpa jeda, ia langsung meluncur ke arah Eriza. Karla mengenggam leher Eriza dan mengangkat tubuhnya. Eriza meronta-ronta, berusaha untuk lepas dari cengkraman itu. Karla pun membanting Eriza ke lantai. Eriza merintih kesakitan setelah badannya menghantam lantai. Ketika berusaha untuk bangkit, tubuh Eriza jatuh kembali ke lantai. Kombinasi serangannya yang barusan dan sakit yang ia terima dari Karla, membuat ia sulit untuk bergerak.
Karla menarik sebilah pisaunya yang tertancap di lantai. Ia berjalan ke arah Eriza. Selangkah demi selangkah, ia mendekati Eriza. Tak hanya diam, Eriza berusaha untuk kabur dengan merayap, meskipun sangat lambat. Melihat sebilah pisau lagi yang tertancap di lantai, Karla menariknya juga. Ia melempar pisau yang pertama ke depan Eriza. Menghentikan rayapannya.
Karla pun mempercepat langkahnya. Ia melompat, akan menikam Eriza, dan berteriak, "AAAAHHHH!!"
Ketika pisaunya akan mengenai Eriza, seseorang menyeru, "BYAKKO!"
Karla dihantam oleh harimau putih itu. Badannya terpental ke dinding. Ia mendesis ke arah orang yang menyerangnya. Karla tercengang, itu adalah seorang laki-laki. Tampangnya mirip dengan anak perempuan yang ia lihat sebelumnya. Yang menyerangnya dengan harimau. Tapi, lebih tua dan lebih tinggi.
"PEREMPUAN YANG TADI KEMANA!?" teriak Karla.
"Dia berada dalam perlindunganku," jawab pria itu dengan tenang. "Kau tidak boleh menyakitinya."
"KENAPA?!"
"Karena dia adalah adikku," ucap pria itu sambil tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah kertas shikigami. Ia melemparkannya ke arah Karla. "Keluarlah, Penjaga Timur, SEIRYUU!"
Dari kertas itu keluarlah seekor ular naga berwarna biru. Ia meluncur menuju Karla. Ketika naga itu menghantam tubuh Karla, sebuah segel ikatan terbentuk di sekitarnya. Segel itu menahan tubuh Karla ke dinding. Karla yang berusaha melawan, lama kelamaan mulai melemas. Akhirnya, ia pun tak sadarkan diri.
Tak lama berselang, tiba-tiba pintu di dobrak masuk. "Karla!" Romo dan Erik masuk ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa. Mereka tersengal-sengal ketika memasuki ruangan. Lalu, berubah menjadi tercengang melihat sekeliling ruangan penuh dengan hantaman sana sini. Karla terikat di dinding. Eriza terkapar di lantai. Kemudian, mereka mengalihkan pandangan kepada pria yang masih berdiri.
Pria itu tersenyum. Kemudian ia berkata, "Tolong katakan pada Yura untuk menggunakan bakatnya lebih sering lagi."
Sebuah kabut asap tebal menyeruak darinya. Pria itu berganti menjadi Yura. Kemudian, ia pingsan.
***
"Kak Eriza! Kak Eriza!" seru Erik.
Eriza terbangun. Ia mengambil jeda sebentar. Kemudian, matanya langsung mencari-cari dengan liar. Begitu ia melihat Yura terkapar, ia langsung menghampirinya.
Eriza mengguncangkan badan Yura, "Yura! Yura!"
Dengan lemah Yura membuka matanya, ia berkata dengan lirih, "Kak Eriza… Kak Barqi…" Kemudian, ia tak sadarkan diri lagi.
"Ha-hah!? Ba-barqi? Kenapa-" Mata Eriza terbelalak, "Barqi!"
"Ke-kenapa, Kak Eriza?" tanya Erik.
"Barqi! Energinya melemah!" jawab Eriza panik.
"HAH!? Di-dimana dia?" tanya Erik lagi.
"Dia pergi ke ruangan yang berbeda dengan kami tadi," jawab Eriza masih panik.
"Kalau begitu, ayo kita kesana!" seru Erik.
"Ta-tapi, Yura bagaimana?" tanya Eriza.
"Tenang! Biar aku saja yang bawa!" jawab Erik dengan penuh keyakinan.
"Lalu, mereka berdua?" Eriza menunjuk Karla yang terikat di dinding dan Romo yang berada di dekatnya.
"Kau boleh mengikatku kalau mau," jawab Romo. "Aku tidak ada niatan untuk kabur. Tidak ada tempat untuk kami untuk berlari, lagipula."
"O-oke," Eriza mengulurkan tangannya, "Mantra Pengikat nomor 1, Tenere!"
Badan Romo langsung seperti terikat kaku. Ia pun terkapar di lantai. Erik menggendong tubuh Yura di punggungnya. Ia dan Eriza pun pergi dari ruangan itu. Mereka pergi ke tempat Barqi berada.
Tak lama berselang, Karla pun membuka matanya. Kondisi dirinya sudah seperti sediakala. Meskipun dalam keadaan lemah.
"Ro-romo…" ucapnya lirih, "kita kalah, ya?"
"Ya, jika yang dimaksud melawan musuh di depan mata," jawab Romo. "Tidak, jika yang dimaksud adalah musuh di dalam diri. Kita baru saja menang. Yah, setidaknya aku."
"Heh, berkata bijak untuk badut sepertimu…tidak cocok," ledek Karla dengan lirih.
Romo pun terkekeh, "Yah, sudah saatnya melepas diriku yang dulu."
***
Eriza membuka sebuah pintu. Di balik pintu, Eriza melihat berbagai macam selang, pipa, dan tabung. Euphoroid mengalir di semua benda itu. Erik yang sedang menggendong Yura tercengang melihat ini semua. Sementara, Eriza berjalan dengan pelan dan gemetaran. Matanya menatap kosong ke bawah. Tapi, mereka berdua tambah tercengang, begitu melihat tubuh seseorang terkapar di tengah ruangan itu.
Itu adalah Barqi. Tubuhnya berada dalam posisi terlungkup. Darah menggenang di sekitar tubuhnya. Spontan, Eriza dan Erik langsung menghampiri Barqi dengan tergesa-gesa. Saking tergesa-gesanya, hampir saja Yura jatuh dari gendongan Erik. Eriza membalikkan badan Barqi. Ia berusaha untuk mencari penyebab lukanya.
"Kenapa Kak Barqi, Kak Eriza?" tanya Erik.
"Ia tertusuk di ulu hati, cukup parah, sepertinya dari belakang," jawab Eriza sambil mengecek luka Barqi.
"Apakah ada yang bisa kau lakukan?" tanya Erik lagi.
"Ada, sih," jawab Eriza. Ia mengambil ikat rambut dari saku celananya dan mengikat rambutnya. "Tapi akan menyakitkan. Pake banget."
"Lakukan saja! Daripada dia mati!" seru Erik.
"Santai dong! Aku butuh konsentrasi," tanggap Eriza. "Namanya Barqi Kirikaze, kan?"
"I-iya."
Eriza menghela nafas, "Oke. Barqi Kirikaze, yang dicari adalah tujuh. Tenangkan jiwanya, pulihkan raganya. Kebaikan yang menghapus kejahatan, tariklah jiwa pejuangmu dari kegelapan! Lucky Seven Recovery!"
Tubuh Barqi tiba-tiba menggelinjang. Ia menggeram kesakitan. Eriza yang sedang mengalirkan energinya, memejamkan matanya, berusaha untuk tetap fokus. Tubuh Barqi masih terus menggelinjang. Tapi, perlahan luka Barqi menutup sampai akhirnya pulih. Meskipun bekas luka itu masih dapat terlihat.
Tubuh Barqi pun kembali stabil dan ia tak sadarkan diri lagi. Eriza menghela nafas dan menarik ikat rambutnya.
"Wa-Wow…" Erik tercengang. "Tak kusangka kau punya kekuatan seperti itu."
Eriza menyeringai, "Kan, sudah kubilang, Eriza Formula itu keren."
"Yah, kecuali namanya, ya, itu memang keren." Erik melihat sekeliling. "Nah, sekarang bagaimana?
***
"Ahahaha! Lionheart, sebentar lagi kau akan merasakan rasa sakit yang kurasakan dulu!" seru Argus kepadaku.
Aku mengangkat alisku, "Sebentar lagi? Kenapa tidak sekarang?"
"Ah, jangan diburu-buru. Seni itu butuh waktu," jawab Argus sinis. "Selama ini, aku lari dan terus berlari. Tapi, tiba-tiba kau muncul mengacaukan pelarianku! Sekarang kau akan merasakan yang sama. Persis pula."
"Yang sama?"
"Selama ini kau menghindar dan terus menghindar. Tapi, apakah kau tahu apa yang kau hindari?"
Aku melihat sekeliling, "Memangnya a-"
Aku tercengang. Ternyata, bekas lemparan bola energinya, terdapat tabung-tabung berisi Euphoroid. Dan posisinya, pas sekali mengelilingi tempatku berdiri sekarang.
Argus mengenakan masker gas. Begitu juga teman kunoichi-nya. "Katakan selamat tinggal pada realitamu, Lionheart!"
Ia menjentikkan jarinya. Dari tabung-tabung itu, gas berwarna merah memancar tepat ke arahku dan langsung menyebar ke seluruh ruangan. Aku menutup hidung dan mulutku dengan tangan. Tapi, percuma, gas itu sudah keburu terhirup olehku.
Otakku langsung terasa panas dan berdenyut-denyut. Aku jatuh berlutut dan mencengkram kepalaku dan berusaha menahan rintihan. Suara-suara kembali terngiang-ngiang di kepalaku. Semua suara itu berteriak. merintih, dan tersiksa.
"Ja-jangan! Jangan bunuh kami tolong!" teriak seorang pria.
"Tolong ampunilah kami!" seru seorang ibu-ibu.
"Dasar iblis jahanam!" teriak seorang pemuda.
"Sifari, kenapa kau membiarkanku mati?" lirih seorang perempuan.
Suara yang terakhir itu...Amelia? Air mata mengalir di wajahku. Kudengar sebuah langkahan kaki mendekatiku dari depan. Itu pasti Argus.
"Bagaimana, Lionheart?" ucapnya. "Sudahkah kau merasakan apa yang kurasakan selama dua tahun terakhir ini? Rasa sakit yang tak terhingga setiap harinya, HAH!" Ia menendang wajahku.
"Tapi, tak perlu kau khawatir," lanjutnya, "segera akan kubebaskan kau dari rasa sakit itu… dan juga dari dunia ini."
Walau samar-samar, aku bisa melihat dia mengeluarkan pisau. Ia mulai mendekatiku perlahan dan perlahan. Begitu dia mau menikamku, suara pintu terbuka dapat terdengar. Juga suara sesuatu menggelinding. Itu adalah bola berwarna putih dengan tombol merah di atasnya. Hei, tunggu dulu…ini, kan, ciptaanku.
Bola itu kemudian mengeluarkan asap yang kuat, sampai menyebar ke seluruh ruangan. Bersamaan dengan asap itu, bau semerbak bunga dapat tercium olehku. Ya, bunga ini, bunga Rosemary. Harumnya membangkitkanku dari segala ilusi yang diciptakan oleh Euphoroid. Aku langsung menendang Argus hingga ia terpental jauh.
"Hei, kau tidak apa-apa?" kata seseorang dari belakangku.
Aku menoleh. Ternyata itu adalah Raja. Ia terlihat capek.
"Checkhov's Gun, ya?" katanya sambil tersenyum.
Aku pun juga ikut tersenyum, "Checkhov's Gun."
Argus mengeram. Wajahnya terlihat kesal.
"Sebaiknya kau mundur," kataku kepada Raja.
"Tidak tanpa Kakakku."
"Cih, keras kepala juga, ya," aku menggaruk kepalaku. "Kalau kau terluka jangan salahkan aku, ya."
"Tentu saja."
"LIONHEART! KAU HARUS MATI! MATI! MATI!" geram Argus.
Ia mengeluarkan dua suntikan Euphoroid. Ia suntikkan keduanya di masing-masing bisep lengannya. Badannya pun bertambah besar dan kekar.
Aku bersiap-siap dalam posisi menyerang, "Pandanganmu telah terkaburkan. Kenyataanmu kau anggap kebohongan. Karena merasa dizalimi, kau berusaha untuk memengaruhi orang lain. Padahal kau menzalimi diri sendiri. Majulah! Aku tidak akan kalah dari orang menyedihkan sepertimu!"
To be continued…
Next chapter: Close your eyes.