Chereads / The Rosemary / Chapter 12 - Chapter 11: Not what he seems

Chapter 12 - Chapter 11: Not what he seems

Sandi sedang menatap layar laptop-nya di kantin akademi. Jari-jarinya beradu dengan keyboard dalam kecepatan yang luar biasa. Ia sesekali mengambil kuaci yang terisi penuh dalam toples kecil. Jarinya juga mengelus scroll mouse. Beberapa laki-laki mendatanginya. Mereka adalah anggota kelompoknya, Kelompok 9.

"Bang Sandi!" seru seorang laki-laki berambut tajam dan berbadan atletis.

Sandi menoleh sebentar, kemudian mengalihkan kembali perhatiannya ke layar laptop.

"Lagi ngapain?" tanya laki-laki itu.

"Lagi riset, Arkha," jawab Sandi singkat.

"Wuih, wuih, keren banget, Bang Sandi!" kata seorang laki-laki berambut pendek tebal dan berkulit gelap. "Emang 'Empat Raja Langit' beda!"

"Emang riset tentang apa, Bang Sandi? Tugas? Tugas dari siapa?" tanya seorang laki-laki yang juga berkulit gelap, tetapi lebih muda.

"Bukan tugas, sih. Disuruh Toni aja," kata Sandi sambil melihat anggotanya. "Aku disuruh mencari tahu seseorang dengan nama 'Lionheart'."

Para anggotanya berpandangan satu sama lain. Mereka mengangkat alis kepada Sandi.

"Siapa, tuh?" tanya Arkha.

"Ah, ah, Lionheart itu, kan, julukannya Raja Inggris di abad ke 12, 'Richard the Lionheart'!" seru seorang laki-laki berambut keriting.

"Apaan, sih, Napo!" sanggah laki-laki muda berkulit hitam tadi

"Ih, bener, tahu!" balas Napo.

"Ada apa memangnya dengan dia, Bang San?" tanya laki-laki berkulit hitam yang lebih tua itu.

"Lionheart adalah nama seorang kriminal, Jamal." jawab Sandi.

"HAH!?"

"Bukan kriminal, juga sih. Tapi, lebih ke pembunuh bayaran," lanjut Sandi. "Dia begitu terkenal dua tahun yang lalu."

Anggota Sandi menggigil semua. "Lalu, apa lagi?" tanya Arkha.

"Yang anehnya, semua foto, dokumen, atau berita tentang dia menghilang begitu saja dari internet," ujar Sandi. "Yang tersisa hanyalah kisah-kisah tentangnya yang diceritakan dari mulut ke mulut dan forum internet."

"Misalnya?" tanya Jamal.

"Katanya, dia pernah membunuh seluruh penghuni sebuah apartemen sendirian dalam waktu 15 menit," jawab Sandi.

"Hiii, apa kau nggak takut nanti diincer dia apa?" tanya Napo.

"Sudah hampir tiga tahun namanya tidak terdengar lagi," kata Sandi dengan tenang. "Ada yang bilang dia pension, ada yang bilang dia mati, ada juga yang bilang mungkin dia sudah menikah. Entahlah. Apapun itu, yang pasti dia bukan lagi ancaman."

"Tapi, kenapa Toni menyuruhmu untuk mencari dia?" tanya Jamal.

"Meskipun dia sudah berubah, tetap saja jejaknya tidak hilang. Dia masih seorang pembunuh," jawab Sandi. "Toni ingin menangkap dia. Pemerintah saja tidak bisa. Kalau dia bisa berhasil, pasti sekolah ini bakalan menjadi terkenal, kan?"

***

"Maksudmu apa?" tanya Barqi.

"Oh, maksudku jelas. Ketua kalian adalah seorang pembunuh. Seorang kriminal. Dalam dua tahun, dia membunuh 2000 orang, tahu," jawab Argus. "Jadi, sebelum kau berkata kami penjahatlah, kriminal dan lain sebagaiannya. Kau lihat dulu ketuamu."

"Bohong! Nggak mungkin, Kapten seorang kriminal!" teriak Barqi sambil mengangkat pedangnya.

"Ck, ck, ck, kau pikir kau tahu segalanya, anak muda?" kata Argus dengan nada mencibir. "Seberapa banyak yang kau tahu tentang dia memangnya? Hm? Kujamin bahkan kau tidak tahu siapa bapaknya."

"Tidak, aku memang tidak tahu segalanya tentang Kapten," aku Barqi. "Kecuali ayahnya. Dia sering sekali ke sekolah. Sepertinya dia orang penting."

"Oh, ya? Wow, padahal aku tidak tahu siapa bapaknya," kata Argus, "terima kasih atas infonya."

"Kau juga, kau pikir kau tahu siapa, Kapten, hah?" tanya Barqi dengan nada meninggi.

"Yah, tidak semuanya juga," jawab Argus sambil merogoh kantong jasnya. Ia mengeluarkan pisau. "Tapi, setidaknya aku tahu sisi gelapnya!"

Argus melempar pisau ke arah Barqi. Barqi menangkis pisau itu dengan pedangnya. Argus menerjang ke arah Barqi dengan pisaunya yang lain. Ditahannya pisau itu oleh Barqi. Ilmuwan gila itu mengeluarkan pisau lainnya. Ia mengayunkan pisau itu sambil tersenyum lebar. Berkali-kali pisau-pisau itu diayunkannya kepada Barqi. Dengan sekuat tenaga, Barqi berusaha menangkis tebasan demi tebasan. Ia pun melompat mundur, mengambil jarak dari ilmuwan.

"Lagipula, apa tujuanmu memberitahukanku soal Kaptenku adalah Lionheart?" tanya Barqi sambil terengah-engah.

"Hmm…tidak ada. Kecuali untuk membuat kekacauan!" kata Argus sambil menyeringai lebar.

"Dasar gila!" teriak Barqi. Ia mengangkat pedang di atas kepalanya. "Teknik Pedang Kamaitachi, Shinkuuzan!"

Barqi mengayunkan pedangnya ke bawah. Sebuah tebasan angin mengarah ke Argus. Melukai area dadanya. Argus terbelalak, mulutnya ternganga. Kemudian, ia tersenyum lagi.

"Seperti yang kubilang, kau pikir kau tahu segalanya?"

Seakan tidak terpengaruh dengan luka yang dialaminya, Argus meluncur kepada Barqi. Barqi terkaget-kaget. Ia memejamkan matanya. Pedangnya ia tusukkan kearah Argus. Katana itu menembus dadanya. Tetapi, tiba-tiba, sebuah tikaman pisau datang dari belakang Barqi. Ia mengeluarkan darah dari mulutnya.

"Ba-bagaimana bisa?" Barqi terkejut melihat Argus ada di belakangnya. Ia melihat ke depannya. Sebuah asap putih menggantikan tempat Argus berdiri tadi. "I-ilusi?"

Argus mencabut pisaunya. Barqi pun terkapar di lantai. Tetesan darah mengelilingi tempat jatuhnya.

"Ah, aku tahu orang-orang sepertimu. Setia, pekerja keras, penurut. Sangat hebat untuk menjadi tangan kanan," ujar Argus. "Tapi, hanya itu saja. Tidak lebih. Aku tidak ingin menjadi seperti itu. Katakan selamat tinggal untuk Kaptenmu Lionheart."

Barqi berusaha untuk sadar. Nafasnya tersengal-sengal. Penglihatannya mulai kabur. Perlahan-lahan disekelilingnya mulai menjadi gelap. Ia melihat dua bayangan.

"Kapten, maafkan a-"

***

Roman menghantam Alan dengan bahunya. Meski sudah menahan, tetap saja Alan terhempas ke dinding pagar.

"Udah gue bilang, hasilnya bakalan SAMA!" teriak Roman.

Alan bangkit kembali, "Santai, ini baru awal."

"Hmph, dasar bocah medok, lu orang yang nggak bisa terima kenyataan, ya?"

"Belum menjadi kenyataan kalau itu belum terlaksana," balas Alan.

"Lu harus terima kenyataan. Karena kalau nggak, lu bakalan sakit sendiri," geram Roman sambil memegang dadanya.

"Aku tahu, kau pasti megalami masa lalu yang menyakitkan," kata Alan, "tetapi, kita tidak boleh terus menerus terpaku pada masa lalu."

"Halah, bacot lu!" Roman maju dan mengayunkan tinjunya kepada Alan.

Alan buru-buru mengubah bentuknya kembali menjadi manusia biasa. Ia menghindar dengan meluncur lewat di antara kaki Roman. Tinju Roman mengenai tembok dan membuatnya retak.

"Cih," desis Roman kesal.

"Berbeda denganmu, aku adalah seorang Shifter," kata Alan, "aku dapat mengubah bentuk kapan saja."

Alan berlari menuju Roman, "Makanya aku bisa melakukan ini!"

Ketika ia sudah dekat dengan Roman, Alan langsung berubah kembali menjadi Ogre raksasa. Ia meninju wajah Roman. Karena tidak siap, Roman pun terpental ke dinding.

"Bagaimana?" ledek Alan.

Tiba-tiba, Alan merasakan tinju di wajahnya. Tinju itu cepat sekali. Sampai-sampai, Alan yang terpelanting ke dinding di seberang.

Mata Alan melebar. Badan Roman makin membesar. Wajahnya tambah menyeramkan. Seakan dia bukan seperti manusia lagi. Roman membuang sebuah suntikan dari tangannya.

"Hei, hei, ada apa denganmu?" tanya Alan kebingungan, "wajahmu seperti zombie tahu!"

"Harus…menang…tidak boleh…kalah lagi," ucap Roman terbata-bata, "tidak boleh…terlihat LEMAH!"

Roman maju dan menerjang Alan lagi. Dengan sigap, Alan berubah lagi menjadi bentuk manusianya. Ia menghindar ke samping, sebelum serangan Roman dapat mengenai badannya.

"Wadaw, cepet banget!" kata Alan.

Alan bersembunyi di balik sisi rumah. Nafasnya tersengal-sengal. Badannya mulai terasa berat dan menusuk-nusuk.

"Hah…hah…ternyata berubah bolak-balik bikin capek juga," katanya sendiri. "Kalau begini terus, bisa-bisa aku kehilangan kendali lagi."

"WOIII, BOCHAH MEDHOK! JANGAN KABUR LU!" teriak Roman.

Alan memukul tembok di belakangnya. "Kenapa, ya, aku tidak mendengarkan nasihat Kapten dulu."

***

Dulu…

Alan tersungkur di tanah. Badannya sudah tidak dapat digerakkan lagi. Kepalanya sudah sulit untuk diangkat. Sifari dan Barqi melihatnya dengan penuh cemas.

"Alan!" seru Sifari, "kalau begini terus, kau akan gampang kalah."

"Hah? Maksudmu?" tanya Alan.

"Barqi bahkan belum menggunakan pedangnya, dan kau sudah tersungkur ke tanah tiga kali," ujar Sifari. "Tapi, aku harus bilang, taktikmu menggunakan constant shift lumayan cerdik juga."

"Co-constant shift?" tanya Alan kebingungan.

"Duh, gimana ya nerjemahinnya…" kata Sifari sambil menoleh ke Barqi. "Ummm… perubahan bolak-balik? Sepertinya itu kata yang tepat."

"Taktik itu lumayan bagus," lanjut Sifari, "tapi, makan banyak tenaga. Kau harus cari alternatif lain."

"Ya, ibaratnya, kau tahu sepeda listrik, kan?" tanya Barqi. "Ia menggunakan energi listrik. Tapi, jika sudah habis, maka ia harus digowes. Dan dengan digowes itulah energi listriknya akan terisi lagi."

"Ya, begitulah," kata Sifari. "Aku ingin kau mencari cara lain kau menggunakan kekuatanmu."

"Tapi, bagaimana?" tanya Alan.

"Itu kekuatanmu. Kau yang lebih tahu."

***

Kembali ke masa kini…

Aku sudah berlari selama sepuluh menit. Semuanya terlihat sama saja bagiku. Dimana-mana koridor. Sonia, dimana kau? Aku juga merasa bersalah meninggalkan Erik sendirian melawan badut itu. Apakah aku kembali saja dan membantunya? Ah, tidak. Jangan. Itu sama saja mengkhianati kepercayaan Erik kepadaku.

Aku terus berlari sepanjang lorong ini. Sampai akhirnya, tiba di sebuah persimpangan. Aku harus memilih. Antara kiri atau kanan. Kanan yang yang menjadi pilihanku. Karena Sonia dominan tangan kanan, maka aku memilih kanan. Sebenarnya aku juga tidak yakin, sih. Maksudnya, tidak pasti juga, kan, Sonia memilih kanan?

Di ujung lorong itu, terlihat sebuah pintu besar bewarna putih dan emas. Aku menghentikan langkahku. Terutama karena aku melihat sedikit jejak es yang menyembul dari bawah pintu. Mungkinkah ini milik Sonia? Hatiku terasa berat. Terakhir kali aku menyelamatkan perempuan, hal tersebut tidak berakhir baik. Hampir menyebabkan trauma kepadaku malah. Bau obatan menyengat hidungku pula.

Dengan perlahan, aku mendorong pintu itu. Bom emosi dalam diriku kutahan agar tidak meledak, apapun yang terjadi. Aku terpana melihat apa yang dibalik pintu. Sonia berdiri dengan tegak. Di hadapannya, Beni berdiri membeku di dalam bongkahan es. Dalam ruangan itu juga terlihat kacau. Kaca-kaca pecah, berserakan di lantai. Karpet tergores sana-sini. Dinding juga menampakkan retak dan goresan-goresan besar.

"Sonia?" panggilku.

"Ah, Kapten!" seru Sonia dengan riang. "Kau baik-baik saja?"

"Ha-hah? Harusnya aku yang tanya begitu," jawabku dengan bingung. "Kau yang melakukan semua ini?"

"Tentu saja!" balas Sonia dengan penuh percaya diri. "Aku tidak selemah yang kau kira, tahu. Kalau cuma bajingan rendahan seperti dia, sih, gampang!"

"O-oh i-iya."

"Ayo, kita pulang, Kapten!" ajak Sonia.

Dia berjalan melewatiku. Aku mengangkat bahu. Mungkin memang misi ini tidak terlalu susah sebenarnya. Cuman melawan gembong narkoba. Apa sulitnya? Sonia saja berkata dia hanya 'bajingan rendahan'. Aku tersenyum. Ah, dasar Sifari, suka kebanyakan mikir. Hahahahaha.

Tunggu.

Tunggu.

TUNGGU.

"Sonia, pualng nanti, aku ingin membaca beberapa buku," kataku, "Apa kau punya rekomendasi buku tentang es?"

"Hmmm… bagaimana dengan 'Science of Frozen' karya Jane Icemark?" jawab Sonia. "Buku itu membahas lumayan mendalam soal cryokinesis."

"Oh, begitu, ya," balasku. Aku mengancungkan jari telunjuk dan tengahku, "Mantra Serang nomor 1, Collisio!"

Badan 'Sonia' terpelanting ke belakang. Tapi, ia bisa menahan lajunya.

"SIAPA KAU?!" teriakku. "MANA SONIA!?"

"Ba-bagaimana kau bisa tahu?" tanya 'Sonia'.

"Mungkin Sonia pernah membaca buku itu. Tapi, buku yang akan terlintas di pikirannya pasti 'The Art of Cryokinesis'! Karena itu ditulis oleh pengarang favoritnya, Enice Brighton!" seruku.

Bongkahan es di belakangku retak. Aku pun menoleh. Beni keluar dari bongkahan es itu. Ia tersenyum dengan lebar sambil melebarkan lengannya.

"Hm, hm, hm. Bagaimana? Kau suka dengan apa yang kulakukan kepada Sonia manis ini?" kata Beni dengan nada mencibir.

"Apa yang kau lakukan kepadanya?!"

"Oh, daripada mengkhawatirkan itu, kau harusnya mengkhawatirkan yang dibelakangmu."

Bulu kudukku tergelitik. Aku langsung menengok ke belakang. 'Sonia' sudah siap menusuk dengan bongkahan es tajam di tangannya. Reflex, aku langsung menghindar ke samping. Pergelangan tangan Sonia palsu ini kutangkap dan kulempar badannya ke belakang. Ia mendarat di samping Beni. Senyuman sinis terpampang di wajah si palsu itu.

"Jadi, permainan membosankan macam apa ini?" tanyaku, "Mind-control? Murahan sekali."

Beni tersenyum lebar, "Sayangnya bukan. Kau akan tahu sendiri."

"Ah, dasar gila," gumamku.

"Hahahaha. Sonia sayang, serang si pembunuh gila ini," perintah Beni.

"Hah? Pembunuh gila?" aku terkejut. Bagaimana bisa-?!

Sonia palsu itu bersiap menyerang. Ia menerjang ke arahku dan menghunuskan bongkahan es tajam itu berkali-kali. Setiap serangan demi serangan berhasil kuhindari. Tapi, ada beberapa kali yang hampir kena. Gaya bertarungnya agak beda dengan Sonia. Biasanya, Sonia menyerang dengan penuh tenaga di awal. Si palsu ini membagi tenaga dengan rata di setiap serangan.

"Aku tidak mau melakukan ini, tapi kau memaksaku," kataku.

Lengan 'Sonia' kutangkap di salah satu serangannya. Aku mengepalkan tangan dan mengeluarkan api.

Sebelum aku dapat meninju, 'Sonia' mengeluarkan wajah memelas, "Kapten… jangan."

Tinjuku terhenti sebentar. Tapi, langsung kuhantamkan ke wajah 'Sonia'. Lagi-lagi ia terpental ke belakang.

"Kau bukan Sonia! Sonia tidak akan memanggilku 'Kapten'," seruku sambil menyeringai. "Panggilan itu baru ditetapkan! Dan dia tidak ada saat itu!"

"Hei, palsu!" lanjutku, "Kalau mau meniru orang, cek dulu faktanya dengan benar!" ledekku sambil memberikan jempol ke bawah."

"Ah, ketahuan, deh," kata Beni.

"Jadi dia hanya peniru?" tanyaku.

"Yah, bukannya peniru, sih," kata Beni. "Tapi, memang tidak ada yang asli dari yang kau lihat."

"Hah?"

Beni menepuk tangannya dua kali. Hembusan asap menyerbak seluruh ruangan. Bau obatan yang dari tadi tercium olehku, perlahan mulai terangkat. Asap yang terangkat menunjukkan pemandangan sebenarnya. Aku tercengang. Semuanya sangat berbeda jauh. Sonia dan seorang perempuan diikat tergantung di dekat tahta ruangan. Di tahta itu, Beni sedang terduduk pingsan. Dan di tempat Beni berdiri tadi, ada seorang pria berambut gondrong dan berjas lab. Seorang wanita berdiri di sampingnya. Sosoknya langsing, berambut panjang, dan memakai pakaian ketat seperti ninja. Ia memegang pisau di tangannya.

"Wah, wah, hebat sekali aku bisa menebaknya, Tuan Lionheart," kata pria itu sambil berdecak kagum.

"Kau siapa?" tanyaku. Serius. Aku tidak tahu siapa dia. "Apakah kau apotekernya Beni?"

"AKU BUKAN APOTEKER, BAJINGAN! AKU ILMUWAN!" teriaknya kesal.

"Yah, maaf. Maksudku kau memakai jas lab dan berambut gondrong. Kau terlihat seperti apoteker menurutku," ujarku.

Wanita yang di sampingnya terkikik, berusaha menahan tawanya.

"Lihat, bahkan si kunoichi itu setuju," kataku sambil menunjuk wanita yang berdiri di sampingnya.

"Cih, sialan kau!" gerutu pria itu.

"Oke, oke, tiga pertanyaan untukmu. Jelaskan padaku, siapa kau sebenarnya, apa yang baru saja terjadi, dan apa tujuanmu, sebelum kubakar seluruh ruangan ini," ancamku dengan api dari tanganku. "Jelaskan juga siapa wanita itu."

"Memangnya kau siapa mengatur-nga-"

"CEPAT JELASKAN!" potongku sambil membesarkan api di tangan.

"Oke, oke! Nggak usah ngegas apa," kata pria itu kesal. "Namaku Argus Silfana, aku adalah seorang ilmuwan. Yang baru saja terjadi adalah efek dari Euphoroid yang dipancarkan sebagai aroma. Dan tujuanku adalah untuk membuatmu menderita. Sama seperti yang kau lakukan padaku dua tahun yang lalu. Dan wanita ini adalah pembantuku."

"Aku bukan pembantumu, dasar babi kotor!" kata wanita itu sambil menodongkan pisau di leher si Argus itu.

"Baiklah, aku paham. Hubungan kalian rumit," kataku. "Tapi, apa yang kau maksud dengan aku memberikan penderitaan kepadamu?"

"Hmph, mungkin nama 'Apartemen Bungjack' akan membuatmu ingat," katanya dengan nada sinis.

Aku tercengang. Badanku bergetar. Keringat bercucuran hebat dari tubuhku. Suara-suara terngiang-ngiang di pikiranku.

"Ja-jangan! Jangan bunuh kami tolong!" teriak seorang pria.

"Tolong ampunilah kami!" seru seorang ibu-ibu.

"Dasar iblis jahanam!" teriak seorang pemuda.

Aku bernafas dengan cepat. Anganku entah terbang kemana. Tubuhku terasa lemas.

"Bagaimana? Sudah ingat sekarang, dasar iblis keji?!" tanya Argus dengan nada tinggi.

"A-aku ti-tidak melakukan dosa apapun!" belaku. "Apartemen itu adalah apartemen mafia!"

"Tapi, apakah semuanya begitu? Ada juga orang-orang yang tidak berdosa di dalamnya!" seru Argus. "Seperti istriku… dan putraku…"

"Tunggu sebentar, kau bagian dari mafia itu?" tanyaku.

"Ya, aku adalah penasihat mereka," jawab Argus.

"Dan kau berhasil selamat?"

"Ya."

"Cih, dasar Zaki sialan. Dia bilang, 'Semua sudah dieliminasi, Sifari'. Tapi, ternyata belum, kan!" kataku kepada diri sendiri.

"Tadinya aku tidak merencanakan hal ini," ujar Argus, "tapi, melihat kau datang, aku melihat kesempatan emas. Beni dan kroco-kroconya kugunakan untuk memecah kekuatan kalian. Dan kau akan berhadapan denganku."

Argus melepas jas lab-nya, "Sekarang adalah waktumu untuk menebus dosa."

Aku menyeringai, "Memangnya kau ini siapa, wakilnya dewa?"

To be continued…

Next chapter: Gada Rujapala