"Dasar anak cengeng!" bentak seorang bapak kepada anaknya. "Masa cuman dikatain temanmu aja, kau nangis!?"
Anak itu terisak-isak, "Ma-maaf, pak."
"Kamu itu nggak boleh cengeng! Harus tahan banting! Harus kuat! Apalagi kamu anak laki-laki!" ujar bapak itu dengan nada tinggi. "Kalau kamu masih cengeng, jangan anggap anak bapak lagi."
Anak itu masih terisak-isak. Ia pergi ke kamarnya. Tangisannya masih berlanjut disana. Perasaannya bimbang, antara mengikuti hatinya dan keinginan bapaknya.
Seiring berjalannya waktu, anak itu bertumbuh besar. Ia sudah masuk sekolah menengah Meskipun secara fisik ia berkembang, keadaannya masih sama seperti ia masih kecil. Ia masih sering dihina oleh temannya, baik secara verbal ataupun fisik.
"Ah, payah lu!"
"Dasar lemah!"
"Gembel!
"Pecundang!"
Anak itu hampir jatuh ke dalam lubang keputusasaan. Dunianya seakan gelap. Tidak ada setitik pun cahaya yang menerangi jalannya. Dingin menusuk sampai ke dalam hatinya. Sepertinya tidak ada lagi yang dapat menahan kejatuhannya.
Sampai suatu hari, anak itu bertemu dengan seorang pria. Dia sedang terduduk lemas di sebuah bangku taman. Pria itu terlihat lusuh dan lapar. Matanya sayu dan rambutnya kucel. Meskipun ada perasaan iba, sang anak berusaha untuk mengabaikan pria itu. Ayahnya selalu mengajarkan untuk tidak terlibat dengan orang asing. Ia berjalan dengan memalingkan wajahnya. Tapi, tiba-tiba pria itu memanggilnya.
"Adik! Tunggu dulu!"
"Ha-hah?"
"Tolong bantu aku! Aku sangat kelaparan! Apakah kau punya makanan?"
Anak itu melihat tasnya. Ia teringat ia masih memiliki sepotong roti yang ia beli di kantin saat istirahat tadi. Roti itu tidak jadi ia makan, karena di-bully oleh temannya membuat dia kehilangan selera makan. Ia pun merogoh ke dalam tasnya dan mengambil roti itu. Kemudian, ia berikan kepada pria itu. Si pria menerimanya dengan wajah yang berseri-seri.
"Ah! Terima kasih! Terima kasih!"
Pria itu langsung membuka bungkus roti itu dan memakannya dengan lahap. Setiap gigitan memberikan senyuman yang lebar di wajahnya. Melihat pria itu tersenyum, anak itu pun juga ikut tersenyum.
"Ah, iya, apakah kau juga punya air minum?" tanya pria itu.
Anak itu buru-buru meraih botol air minum di tasnya. Ia berikan kepada pria itu. Dengan perlahan, pria itu menengak air di botol. Senyum pun mengembang di wajahnya, ketika ia selesai minum.
"Ah, terima kasih banyak! Berkatmu, aku terselamatkan!" ucap pria itu dengan penuh syukur.
"I-iya, nggak apa-apa kok. Ngomong-ngomong, memangnya kau sudah berapa hari belum makan?" tanya anak itu.
"Hmmm…berapa, ya? Sepuluh hari, mungkin," jawab pria itu santai.
"Sepuluh hari!? Kok, masih hidup!?"
"Ah, ya, aku ini lebih kuat dari kebanyakan orang."
"Me-memangnya kau siapa?"
"Panggil saja aku 'King'," jawab pria itu dengan penuh percaya diri.
"Ki-king? Memangnya kau raja sungguhan?"
"Nggak juga, sih. Orang-orang di daerahku memberikan julukan 'Raja' kepadaku. Karena aku yang terkuat disana."
"O-oh."
"Ngomong-ngomong, kok badan kau penuh luka dan memar?" tanya pria itu.
"I-iya, aku sering diganggu oleh temanku soalnya," jawab anak itu dengan gugup.
"Kau nggak melawan?"
"Nggaklah. Mana bisa," jawab anak itu dengan tatapan kosong.
Pria itu melihat sang anak dengan tatapan kasihan. Ia menepuk bahu anak itu. "Sebagai balas budi akan makanan kau ini, bagaimana kalau aku ajari cara untuk melindugi dirimu?"
Anak itu ragu dengan tawaran pria itu. Ia, kan, tidak kenal dengan pria ini. Bagaimana kalau ini hanya modus dia untuk menculik? Tapi, sang anak berpikir lagi, lebih baik mengambil resiko ini daripada harus menanggung beban diperlakukan dengan zalim di sekolah dan rumah.
"Oke, beritahu aku apa yang harus aku lakukan," jawab anak itu dengan yakin.
Pria itu tersenyum, "Oke, kau datang kesini setiap sepulang sekolah. Aku akan melatihmu setiap hari. Melatih fisik dan kemampuan bela diri kau. Bagaimana, siap?"
"Oke!" jawab anak itu dengan lantang.
"Oh, iya, siapa namamu?"
"Namaku…" sang anak berbisik ke telinga pria itu.
"Ah, nggak cocok! Bagaimana kalau kau kupanggil… apa, ya? Hmmm…ah, ya! Bagaimana kalau Roman?"
Anak itu mengangguk senang. Jadilah setiap harinya Roman bertemu dengan si pria setiap harinya sepulang sekolah di taman yang sama. Roman berlatih push-up, sit-up, memukul, dan lain-lain. Ketika ditanya oleh ayahnya 'Mengapa ia pulang telat', Roman hanya menjawab 'Latihan supaya nggak cengeng lagi'. Semakin lama, ia semakin kuat. Teman-temannya yang dulu menggangunya, perlahan kini mulai segan. Banyak dari mereka yang mulai menjauhinya.
Tahun demi tahun berganti, tidak terasa ia sudah tahun terakhir di SMA. Sang pria sudah kembali ke kampung halamannya setahun yang lalu. Tetapi, Roman tetap berlatih setiap harinya. Ia pun tumbuh menjadi lelaki yang berbadan tinggi dan kekar, melampaui fisik anak-anak seusianya. Kini, tidak ada lagi yang berani mem-bully dia. Malah, sekarang dia yang berbalik mem-bully orang. Ia menjadi preman sekolah yang ditakuti.
Banyak orang yang menjauhinya. Tidak ada yang ingin menjadi temannya, kecuali berandalan-berandalan sekolah yang seperti dia. Itu juga tidak bertahan lama. Begitu mereka terancam akan dipenjarakan apabila masih berbuat onar, satu persatu dari mereka mulai meninggalkan Roman. Akhirnya, Roman pun sendirian lagi. Sama seperti dulu, ketika ia masih lemah dan tidak berdaya.
Sampai akhirnya, seorang pria bertopi tinggi mendatanginya.
"Ah, anak muda, kau kuat sekali. Saya sangat ingin kau bergabung dengan kami," kata pria itu.
"Hah? Memangnya lu siapa?" tanya Roman dengan galak.
"Nama saya adalah Deni Ceridwen. Saya adalah pemilik dan ringmaster di Sirkus Ceridwen," jawab pria itu.
"Hahaha, sirkus, ya? Nggak, terima kasih."
"Kau yakin? Kalau kau bergabung, kau bisa merubah nasibmu, lho. Kau bisa punya teman baru," kata pria itu sambil mengulurkan tangannya.
Roman termenung. Teman. Itulah yang ia selalu inginkan. Teman yang selalu ada.
"Gue bakal dapat temen, kalo gabung sama lo?" tanya Roman.
"Ya, kemungkinan besar, ya."
Roman menjabat tangan pria itu, "Oke, gue ikut lo."
"Ah, baiklah. Senang sekali mendengarnya. Ngomong-ngomong, namamu siapa?"
Dengan senyuman penuh keyakinan ia menjawab, "Namaku Roman."
***
"Dalam dosis yang kecil, maksudku sangat kecil, Euphoroid sebenarnya adalah obat yang dapat menyembuhkan berbagai macam cedera atau pun penyakit," ujar Argus.
Ia membuat bola energi dan melemparkannya ke arah Sifari. Sifari yang sedang berada di udara sontak turun ke bawah untuk menghindar.
"Dan kalau banyak?" tanya Sifari.
"Semakin banyak dosisnya, semakin besar pula efeknya," jawab Argus. "Tapi, efek itu ada dua, baik dan buruk."
Argus membuat bola energi lagi dan melemparkannya ke Sifari. Kali ini, Sifari menghindar dengan melesat maju. Ia terbang ke arah Argus dan berusaha untuk memukulnya. Tapi, tinjunya ditangkis oleh Argus.
"Tapi mereka juga tidak tahu, sih, kalau Euphoroid itu ada batas dosisnya. Hahahahaha!" seru Argus dengan girang.
"Jadi, mereka memakai Euphoroid dengan anggapan, itu boleh dipakai berapapun dosisnya?" tanya Sifari.
"Yah, mereka tidak pernah bertanya, sih," balas Argus. "Kau tahu apa kata mereka, 'Malu bertanya, sesat di jalan'."
Sebilah pisau meluncur dari samping kearah Sifari. Ia pun mundur dengan dorongan apinya. Ternyata perempuan ninja itu yang melemparkan pisau.
"Cih, aku lupa ada kunoichi itu," gumam Sifari.
"Mereka suka menggunakan Euphoroid dalam dosis yang besar pula," celetuk Argus, "terutama Roman. Yah, semoga saja dia dapat mengalahkan temanmu sebelum dia yang dikalahkan."
"Alan," gumam Sifari. "Apa efek dari over dosis Euphoroid?"
"Hmmm… kalau Euphoroid digunakan dalam jumlah yang banyak, salah satu efeknya seperti yang kuntunjukkan padamu tadi. Ia dapat menyebabkan ilusi dan halusinasi," ujar Argus. "Efek lainnya mungkin kram otot, detak jantung tidak stabil, dan jerawat."
"Ew."
***
"Dalan seng kuwe jalani iku bakal angel, le. Jalan yang kamu lalui ini bakalan susah," ucap seorang bapak kepada anaknya, "opo iyo kuwe kuat? kamu yakin kuat?"
"Inggih, kulo percoyo nek kulo saged, Pak. Aku yakin aku sanggup," jawab anak itu.
"Akeh mbah-mbahe awak dewe sing ameh ra iso. Banyak leluhur kita yang hampir gagal dulu."
"Nanging, kulo mboten sakjane mriko sedanten, bapak kudu percoyo maring kulo! Pak. Tapi, aku bukan mereka. Bapak Bapak harus percaya sama aku!"
Sang ayah termenung. Kemudian, ia memeluk anaknya, "Yo uwis, Bapak mung kawatir. Bapak hanya khawatir. Semoga kuwe iso sukses. Semoga kamu bisa sukses. Kuwe kudu iso banggaaken jeneng keluargane awak dewe. Kamu harus bisa membanggakan nama keluarga kita. Banggaake desane iki. Membanggakan nama desa ini. Pancen kue kuwi Alan Aksara, anakku."
"Siap, Pak!" jawab Alan dengan tegas.
"Bapak duwe konco ning Depok, Bapak punya teman di Depok. Wonge duwe akademi kanggo'wong kito'. Dia punya akademi untuk 'orang kita'. Jenenge ASTRIS. Namanya ASTRIS. Kowe kudu melu ning kono, sinau lan latian ning kono. Kamu harus datang ke sana. Belajar dan berlatih di sana."
Alan pun mengangguk.
***
Alan menggaruk-garuk kepalanya. Ia berusaha untuk mencari segala cara supaya dapat mengalahkan Roman.
"Sebuah…sebuah cara…" ucap Alan dengan nafas tersengal-sengal. "Ahhhh, ora ngerti!"
Alan pun keluar dari persembunyiannya, menampakkan dirinya di depan Roman.
"Di situ ternyata lo," kata Roman sambil tersenyum. "Gimana, udah siap buat mati?"
"Jujur, sebenarnya aku tidak tahu dengan cara apa lagi aku bisa mengalahkanmu," ujar Alan, "tapi, yang aku tahu, aku hanya perlu lebih baik darimu."
"Memangnya seyakin apa lo!" seru Roman.
Roman maju menerjang ke arah Alan yang langsung berubah menjadi Ogre. Karena tidak sempat menghindar, Alan pun terkena hantaman dan terpental ke dinding pagar. Ia pun terbatuk-batuk. Tanpa mengambil jeda, Alan langsung bangkit dan mulai menyerang Roman. Ia meninju wajah Roman, kanan dan kiri. Ketika akan mengincar dadanya, tinjunya ditangkap oleh Roman. Alan pun mengangkat lututnya dan menghantamkannya ke perut Roman.
Roman terdorong beberapa langkah ke belakang. Alan berlari dan mengarahkan tinjunya dada Roman. Tinju besar itu menghantam dada Roman. Ia pun terbatuk kecil. Roman mencengkram leher Alan dan menjatuhkannya ke tanah. Ia memukul Alan di pipi kirinya berkali-kali. Sampai-sampai, darah keluar dari mulut Alan.
Ketika Roman akan memukul kembali, tiba-tiba ia tertahan. Matanya membelalak. Nafasnya terjeda. Ia mundur beberapa langkah. Dadanya ia cengkram. Erangan sakit ia berusaha untuk tahan sekuat tenaga. Tapi, sekuat apapun Roman, jelas rasa sakit yang ia alami saat ini lebih kuat. Ia pun memuntahkan darah dari mulut dan hidungnya. Nafasnya jadi tersengal-sengal.
Alan pun mengerutkan wajahnya, "Apa yang terjadi padamu?"
"DIEM! Bacot lu! Nggak usah sok peduli!" teriak Roman.
"Hei, kau pikir aku peduli? Kau pernah menghajarku habis-habisan. Kau pernah menghajar banyak orang. Jangankan aku, kurasa tidak ada satu orang pun di dunia ini yang peduli padamu," ujar Alan.
Roman terbelalak, "Apa kau bilang?"
"Kau telah menggunakan kekuatanmu dengan salah. Tentu saja tidak ada yang percaya padamu. Bagaimana kalau mereka yang nanti terkena kekuatanmu?"
Roman bernafas dengan tempo yang semakin cepat tiap tarikannya. Tangannya mengepal dengan sangat keras. Ia merogoh kantongnya, mengambil sebuah suntikan Euphoroid lagi. Alan yang melihat itu langsung bangkit. Ia menepis tangan Roman yang memegang suntikan dan meninju perutnya, sehingga ia mundur beberapa langkah.
Roman pun geram. Ia berlari ke arah Alan dan berkata, "Dasar kalian Insaneis! Kenapa kalian tidak bisa membiarkanku hidup tenang!?"
Alan menghela nafasnya, "Maaf, aku hanya perlu kau tidur sebentar saja."
Ia bersiap-siap dalam posisi kuda-kuda. Lengan kanannya ia angkat. Tangan kirinya ia letakkan di bisep kanannya. "Mantra Pengikat nomor 5, Augifico." Seluruh lengan kanannya membesar. Ia menarik lengannya ke belakang.
Roman pun mendekat, "HEAAAHHH!!!"
Alan menghantamkan tinjunya ke dada Roman, "Gegaman Sakti, GADA RUJAPALA!"
Roman terpukul mundur sangat jauh. Sampai-sampai, ia menghantam dinding pagar hingga hancur. Badan Roman pun terbaring tak bergerak lagi. Alan buru-buru berubah kembali dan menghampirinya. Ia memegang pergelangan tangan Roman. Alan bernafas lega.
"Hah…belum mati. Syukurlah," ucap Alan. "Kupikir aku terlalu berlebihan. Sekarang, Kapten dan yang lainnya kemana, ya?"
***
Erik menembakkan benang lendir ke langit-langit. Ia berayun dengan benang itu. Sebuah bola besi meluncur ke arahnya. Ditembakkan lagi jaring ke langit-langit dan ia berayun lagi. Sebuah bola besi lain meluncur ke arahnya. Erik menghindar lagi dengan melontarkan benang lendir dan berayun dengannya. Romo, yang sedang mengendarai sepeda roda satunya, dengan girang melemparkan bola-bolanya
"Jangan ngindar mulu, dong!" ledek Romo.
"Terus kalo aku nggak ngindar, bakalan kena, dong!" balas Erik.
"Ya, nggak apa-apa, dong!" tanggap Romo.
"Kalo begitu ini nggak apa-apa, dong?" kata Erik.
Ia melontarkan dua tali lendir ke samping Romo. Kemudian, ia melontarkan dirinya seperti ketapel. Erik melucur ke arah Romo. Berusaha untuk memukulnya. Tapi, sebelum Erik datang, Romo mengayuh sepedanya. Ia berhasil menghindari serangan Erik. Erik pun melontarkan tali lendir lagi ke pagar lantai dua ruangan itu. Ia mendarat di atas pagar itu.
"Ya, kalo bisa kena, sih, nggak apa-apa, kushishishi!"
"Heh, cepat juga, ya, gerakanmu," puji Erik, "padahal naik sepeda roda satu."
"Iyalah! Aku sudah ahli!"
"Kalau begitu…" Erik menembakkan tali lender ke roda sepeda Romo, "aku coba ini saja!"
Ia menarik tali itu. Romo pun terjatuh dari sepedanya. Erik langsung pun berayun kabur dari ruangan itu.
"DASAR BOCAH!" teriak Romo.
Romo langsung kembali menaiki sepedanya. Dan mengejar Erik. Ayunan demi ayunan Erik lewati sepanjang koridor itu.
"JANGAN KABUR KAU!"
Romo mengerahkan bola-bola besi menuju Erik. Dengan lihai, Erik menghindari bola-bola besi yang meluncur kepadanya. Romo pun mengerahkan satu bola terakhir. Tapi, yang diincarnya bukan Erik itu sendiri. Melainkan tali lendirnya. Erik pun terjatuh dan menghantam tanah.
"Nggak bisa kabur lagi, kan, lu," kata Romo.
"Tunggu!" seru Erik.
"Hah?"
"Kenapa, kenapa kau melakukan ini?" tanya Erik.
"Maksudmu?"
"Aku ingat kau. Kau dari Sirkus Ceridwen, kan?"
Romo tercengang, "Ka-kau masih ingat?"
Erik tersenyum, "Tentu saja, itu adalah sirkus favoritku."
To be continued…
Next chapter: Comic Relief