Chereads / The Rosemary / Chapter 10 - Chapter 9: You won't like me when I'm mad

Chapter 10 - Chapter 9: You won't like me when I'm mad

"Hai," sapa Jofie kepada Barqi, Alan dan Yura yang sedang duduk di rumput, "kalian sedang ngapain?"

"Menunggu, sudah sepuluh menit" jawab Barqi singkat. "Kau sendiri ada urusan apa, Kak Jofie?"

"Ah, aku ada janji masak dengan Sifari. Kau mau ikut?"

"Boleh."

"Kak Jofie, apakah aku juga boleh ikut?" tanya Alan dengan semangat.

"Hm, tentu, selama kau mau jadi yang mencuci panci, nampan, dan lain-lainnya," jawab Jofie.

"Ehhh? Kenapa bukan aku yang masak?" tanya Alan dengan kesal.

"Karena masakanmu aneh," jawab Jofie datar, "maksudnya, masakanmu bagus. Tapi, akan mengacaukan yang kami rencanakan."

Alan tertunduk lesu.

"Ah, si Sifari beneran jadi ngetes anggotanya, ya," ujar Jofie, "kalian nggak ikut?"

"Nggak," jawab Alan, "katanya dia cuman mau ngetes anak baru saja. Hhh, padahal aku juga mau ikut bertarung."

"Sama saja," celetuk Jofie.

"Hm? Maksudnya?" tanya Alan.

"Meskipun kesempatan menang kalian akan meningkat kalau kalian juga ikut, sama saja, kalian juga tetap akan kalah," jawab Jofie sambil tersenyum simpul. "Aku hanya berharap sisi Sparta-nya tidak keluar saja. Ada alasannya kenapa dia disebut 'Raja Api', kan?"

Yura menatap kosong area latihan, "Empat Raja Langit, Komoku-ten. Raja Naga."

***

Solari berjalan sendirian di antara pepohonan. Ia sepakat dengan yang lainnya untuk berpencar, karena belum mengetahui kemampuan masing-masing. Daripada membebani satu sama lain. Solari telah siap dengan pistol di tangannya. Matanya melirik-lirik dengan waspada.

"Whoooh, bahaya juga pistolmu," celetuk seseorang. Ternyata itu adalah Sifari. Dia sedang berdiri di atas batang sebuah pohon. Solari spontan langsung mengarahkan pistolnya ke arah kaptennya itu. "Wow, wow, wow, tidak usah main kasar, oke? Santai saja," kata Sifari panik, "tapi, wow, Desert Eagle? Mark XIX, pula. Tapi, beritahu aku, darimana kau mendapat izin untuk memegang senjata api? Mandala? WGO? Underground?"

"Bukan semuanya, sayangnya," jawab Solari, "dan aku juga tidak berniat untuk memberitahu."

Solari menarik pelatuknya. Namun, tembakan dia meleset. Sifari pun melompat turun dari pohon, mulai berjalan mendekat. Solari melanjutkan tembakannya. Tiga kali dia menembak, tapi tiga kali juga tembakannya meleset atau dapat dihindari. Sebelum dia dapat menembak lagi, Sifari menangkap dan memiting tangannya. Membuat pistolnya jatuh ke tanah.

"Kukira kau adalah seorang sharpshooter," kata Sifari dengan nada kecewa, "ternyata hanya seorang happy trigger."

Solari berusaha untuk menahan erangan sakitnya. "Sayangnya untukmu, Kapten, aku punya dua pistol."

Dia meraih pinggang kirinya. Merogoh pistol yang tersimpan di sana. Dia mengarahkan pistol itu ke arah Sifari dan menarik pelatuknya. Sebuah dentuman terdengar. Ternyata, Sifari menutup mulut pistol dengan tangannya. Solari tercengang dibuatnya. Karena reaksinya pun juga biasa saja.

"Hmmm… jadi begitu. Alih-alih memakai peluru asli, kau menggunakan aliran energimu sebagai amunisi. Menciptakan peluru yang awet lama. Not bad," kata Sifari dengan nada datar. "Karena itulah kau harus lebih banyak menggunakan KEPALAMU!"

Sifari menyundulkan kepalanya ke kepala Solari. Mereka berdua sama-sama terhuyung ke belakang, menyentuh kening masing-masing. Solari sampai terjatuh ke tanah.

"Ah, aku menyesali itu." kata Sifari. "Kau tahu? Kita itu lumayan mirip."

Sifari menyeimbangkan tubuhnya. Dia berlari menuju Solari sambil mengeluarkan api dari kedua tangannya. Ia meluncurkan tinju kanannya. Sebelum tinjunya dapat mengenai, tiba-tiba tangannya tertahan. Ternyata, lendir berwarna hijau menempel di tangannya. Lendir itu mengarah kepada seseorang, Erik. Dia berusaha menarik tangan Sifari dengan lendir.

"Kak Solari! Kau tidak apa-apa?" tanya Erik.

"Kau ngapain?!" tanya Solari kembali.

"Ku-kupikir aku bisa membantu."

Sifari termenung, memerhatikan lendir yang menahan tangannya. "Lendirmu ini lebih mirip lem atau karet?" tanya Sifari.

"Hah? Aku tidak tahu," jawab Erik.

"Kalau begitu kita tes saja, ya," kata Sifari sambil menyeringai.

"Apa maksud-WOAAAHHH!"

Sifari menarik lendir yang mengikat tangannya. Sontak, Erik pun juga ikut tertarik. Ia terlempar dan menabrak Solari. Mereka berdua pun terkapar di tanah.

"Itu saja, ya?" kata Sifari.

"Awww," Erik mengrang kesakitan.

"Saranku," kata Sifari, "pelajarilah fisika. Terutama hukum Newton. Itu akan sangat membantumu, kujamin."

"Ya, baiklah" jawab Erik sambil mengangguk lemah.

***

Gila. Gila. Gila. Nggak mungkin. Nggak mungkin aku bisa melawan Kak Sifari. Apalagi setelah mengintip apa yang terjadi pada Kak Solari dan Erik. Tubuhku saja sampai berkeringat dan bergetar hebat. Apanya yang memburu Raja, itu sih monster! Nggak heran Kraken sampai kalah. Sonia, kau bodoh, sok-sok-an ngomong 'Ayo memburu Raja'. Buat apa!? Akhirnya, sekarang aku sembunyi di antara pepohonan.

"Sonia," kata seseorang menepuk pundakku.

Aku kaget. Sepertinya aku ketahuan. Aku berbalik badan. Hampir aku teriak, tetapi tangan orang itu menutup mulutku.

"Hei, hei, ini aku, Eriza."

Aku bernafas lega. Ternyata Kak Eriza. Dia terlihat ketakutan dan kebingungan juga. Walaupun, hal itu berusaha ia sembunyikan. Kak Eriza memegang tangan kananku.

"Kau nggak apa-apa?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Ternyata Kak Sifari kuat juga, ya. Meskipun agak nyentrik. Kita nggak boleh meremehkan dia," ujar Kak Eriza.

"Ini, sih, bukan latihan. Ini penyiksaan!" seruku pelan.

"Haha, mungkin kau benar," kata Kak Eriza sambil tersenyum, "tapi, kalau dia menyiksa, pasti kita sudah kalah dari tadi, kan?"

"Iya, sih…"

"Begini, aku punya rencana. Tapi, tidak bisa kujalankan sendirian," kata Kak Eriza, "aku butuh bantuanmu."

Kak Eriza pun membisikkan rencananya kepadaku.

"Hm, iya, iya. Bagus juga. Ya! Dengan ini, pasti kita bisa punya kesempatan!" kataku bersemangat.

"Tapi, jangan sampai lupa step-by-step-nya, lho, ya," ingat Kak Eriza.

"Oke, oke, serahkan saja padaku."

"WAKTUNYA TINGGAL 10 MENIT LAGI!" teriak Kak Sifari menggema di area hutan.

"Ayo kita bergegas, Kak" ajakku.

"Oke!"

***

Sifari duduk di atas sebuah batang pohon dekat danau. Dia melamun sambil melempar kerikil ke danau. Batu lemparannya memantul beberapa kali sebelum tenggelam ke dalam air. Dia merasakan sensasi menggelitik di bulu kuduknya. Dia kemudian menoleh ke belakang, dugaannya benar.

"Akhirnya kau maju juga, Sonia," kata Sifari.

Sonia menatap dengan tajam. Dia berjalan mendekati Sifari. Sifari pun berdiri dari duduknya, menghadapi Sonia. Makin lama, langkah Sonia makin cepat. Ia menciptakan bongkahan es tajam dari tangannya dan menerjang ke arah Sifari. Berusaha untuk menusuknya.

"HEAAAHHH!!!" teriak Sonia.

Sifari terkaget, tapi masih berusaha untuk tenang. Tepat sebelum serangan Sonia dapat mengenainya, ia menghindar ke kiri. Ia juga menangkap lengan Sonia.

"Hooo, kau suka main dari depan, ya?" ledek Sifari, "Hm, aku suka."

"He-heh?"

"Dengan gayamu!" Sifari menarik tangan Sonia dan melemparkannya ke danau. Adik kelasnya itu pun tercebur ke dalam air.

"Tenang saja! Danau itu cetek!" seru Sifari.

Sonia keluar dari dalam air. Ia berusaha untuk mengatur nafas dan berdiri. Kemudian, dia mengangkat tangannya. Bersamaan dengan itu, butiran-butiran air terangkat.

"TRIPLE ICE SHOT!" Sembilan peluru air melesat menuju Sifari.

Sifari mengeluarkan api besar dari kedua tangannya. Lalu, melakukan gerakan menyilang. Membuat semua es menguap. Tapi, ternyata peluru es itu hanya umpan. Sonia sudah siap menyerang kembali. Kali ini, dia berusaha untuk menebas Sifari dengan sabit es besar. Sifari langsung menahan sabit itu dari gagangnya. Sonia tercengang. Sifari melempar Sonia ke samping. Sonia pun terhempas ke tanah. Ia terbatuk-batuk.

"Kenapa berusaha untuk mengalahkanku?" tanya Sifari, "Tujuanmu hanya untuk membuatku terjatuh. Lagipula, kau tidak akan bisa mengalahkanku."

"Mungkin aku tidak bisa," kata Sonia sambil terengah-engah, "tapi, dia bisa!"

Sifari langsung menoleh. Selama ini, Sonia hanyalah umpan. Serangan aslinya sedang disiapkan dari balik pepohonan. Cahaya mengkilat memancar dari tangan Eriza yang membuat bentuk seperti pistol.

"Yang dicari adalah tujuh!" seru Eriza, "Kesialanmu kuubah menjadi keberuntunganku, LUCKY SEVEN… SHOT!"

Sebuah tembakan energi mengarah ke Sifari dan menghantamnya dengan ledakan.

"Yes!" seru Eriza kegirangan. Tapi, raut wajahnya langsung berubah. Begitu mengetahui serangannya tidak berguna.

"Mantra Pengikat nomor 1, Parma," Sebuah lingkaran jingga melindungi Sifari. Jari telunjuk dan tengahnya membentuk seperti tombak. "Maaf taktik kalian gagal. Bukan karena kurang beruntung, tapi terlalu sial. Mantra Pengikat nomor 2, Tenere!"

Sebuah tali energi jingga terpancar dari jari Sifari. Mengikat Eriza yang berada di kejauhan. Eriza berusaha untuk melepaskan diri, tapi usahanya sia-sia. Sifari menarik tali tersebut kearahnya, membuat Eriza tertarik.

"Mantra Pengikat nomor 1, Parma!" Lagi-lagi lingkaran jingga muncul di hadapan Sifari. Eriza yang sedang ditarik pun menabrak lingkaran itu. Ia terkapar di tanah.

"Ba-bagaimana bisa Mantra sekuat ini tanpa merapal," lirih Eriza.

"Mantra itu lebih dari sekedar merapal, kau tahu," kata Sifari sambil menyeringai. "Hah, kalau begitu kalian gagal, yah?"

"JANGAN MEMUTUSKAN DULU!" teriak sebuah suara cempreng.

Bersamaan dengan suara itu dua tembakan lendir. Kaki Sifari tiba-tiba ditahan lendir hijau. Tangannya juga diikat menyatu oleh lender. Ia tidak bisa bergerak sama sekali.

"Huh, akhirnya berhasil juga," kata Erik lega. Ia muncul dari balik pepohonan. "Sekarang, Kak Solari!"

Solari juga muncul dari balik pepohonan, membawa bazooka besar. Ia memasang kuda-kuda menembak.

"Kita lihat apa kau bisa menahan kekuatan sebesar ini, Kapten," katanya tegas, "SUNSHINE HOWITZER!"

Tembakan cahaya kuning memancar dari bazooka Solari. Menciptakan ledakan besar untuk Sifari.

***

Ledakan besar terlihat dari pinggir tempat latihan. Dimana Barqi, Alan, dan Yura sedang menunggu. Mereka seperti tersengat dan langsung berlari ke sumber ledakan.

"Ledakan macam apa itu?!" seru Alan panik.

"Yang pasti itu buruk," kata Barqi cemas.

Mereka berlari melewati pepohonan dan menuju area danau. Mereka berhenti. Di sana mereka melihat Solari dan Erik yang sama-sama tercengang. Melihat hasil dari ledakan tadi yang sekarang menjadi asap tebal. Dari balik asap, terlihat Sifari. Matanya berubah menjadi merah. Bukan hanya itu, di sekelilingnya terbentuk medan energi jingga. Ia juga mendekap Sonia dan Eriza di dekatnya.

"Da-dasar gila!" seru Sifari. Matanya berubah kembali hitam. Medan energi disekitarnya juga turun. Ia melepaskan Sonia dan Eriza dari dekapannya. "KALIAN HAMPIR MELUKAI TEMAN KALIAN, BEGO!"

"Apa kalian nggak mikir dulu, hah?!" bentak Sifari lagi kepada, "Bukan aku yang menjadi masalah, tapi teman kalian. Mereka berada di area tembak! Dalam keadaan terkapar!"

Sifari terengah-engah. Solari dan Erik tertunduk merasa bersalah. Barqi dan Alan menghampiri mereka berdua, sementara Yura menghampiri Eriza dan Sonia. Kemudian, Sifari duduk di tanah. Dia menghela nafas

"Kalian harusnya memperhatikan sekeliling juga ketika menyerang. Apa yang bisa menjadi keuntungan atau kemalangan kalian," ujar Sifari.

"Sepertinya kami sudah," celetuk Solari.

"Maksudmu?" tanya Sifari.

"30 menit belum lewat dan pantatmu sudah menyentuh tanah," jawab Solari.

Sifari terbelalak, "Oh iya, benar juga… Ada yang mau es krim?"

***

Kembali ke masa kini…

Aku, Erik dan Solari berlari di koridor rumah megah milik Beni itu. Kami berusaha untuk mencari tempat Sonia dikurung. Kami mengecek setiap ruangan yang kami temui, tetapi sama saja. Tidak ada tanda-tanda Sonia. Kemana dia? Apa jangan-jangan? Tidak, semoga belum. Setidaknya itu yang kuharapkan.

Kami pun tiba di sebuah ruangan dengan pintu besi. Biasanya di film-film semua tawanan di kurung di ruangan di pintu besi. Coba saja kau cek. Dengan perlahan kubuka pintu itu. Lampu di ruangan masih menyala. Tetapi, yang lebih aneh, ada seseorang di sana. Ia berdiri mematung. Begitu kudekati, ternyata dia telah membeku.

"Sonia ada di sini," kataku, "tadinya."

"Dimana dia sekarang?" tanya Erik.

"Dimana pun itu, dia sudah berhasil kabur," jawabku. "Sekarang pertanyaannya, sudahkah dia keluar dari rumah ini atau masih ada disekitar sini?"

"Hmmm…"

Tiba-tiba, datang dua orang preman. Mereka datang sambil minum-minum dan merokok. Melihat kami dengan teman mereka yang berdiri membeku, membuat mereka tercengang dan marah.

"Woi, siapa lu?! Ngapain temen gue lu!?" teriak salah seorang dari mereka. Dia mengeluarkan golok, sementara yang satunya mengeluarkan celurit. Mereka mendekati kami sambil menodongkan senjata.

"Erik!" seruku sambil memberi aba-aba menutup mulut. Erik mengangguk.

Dia menembakkan benang lendir ke golok dan celurit preman itu, kemudian mengambil senjata mereka. Ia menembakkan lendir panjang ke langit-langit. Lendir itu ia gunakan untuk bergelayutan. Sambil berayun, Erik menembakkan peluru lendir ke mulut preman itu dan berayun kearah mereka, menendang dagu preman itu. Preman itu terkapar pingsan.

"Dan itu namanya Hukum Newton!" ledek Erik.

"Nice job," pujiku sambil menepuk pundak Erik.

"Sekarang kemana lagi, Kapten?" tanya Erik.

Aku menepuk jidatku. Benar juga! Kenapa kita tidak tanyai mereka saja! Terlanjur pingsan, kan! Intuisi, kumohon, bekerjalah!

"Hmmm… menurut beberapa riset, orang yang dominan tangan kanan akan memilih berjalan ke kanan. Karena Sonia bukan kidal, aku yakin dia akan berjalan ke kanan, sepertinya," ujarku.

"Kalau begitu, ayo!" seru Erik.

Kami berlari menuju koridor kanan. Kami melewati sebuah ruangan. Di seluruh ruangan itu terpampang banyak lukisan. Mulai dari abstrak, pemandangan, figuratif, bahkan gambar Beni sendiri. Narsis sekali.

"Tapi, harus kukatakan," celetukku, "untuk rumah seluas ini, keadaannya sepi juga."

"Mungkin karena sedang waktu produksi, semua orang ada di pabrik?" tanggap Erik.

"Atau mungkin, karena hanya yang terbaik, yang perlu ditempatkan disini," celetuk seseorang.

Langkah kami terhenti. Aku menoleh kepada Erik. Dia menggeleng. Tunggu, sepertinya ada yang aneh…

"AWAS!" teriakku kepada Erik sambil mendorongnya.

Tiga bola besi meluncur ke arah kami. Ia menghantam lantai dengan keras. Beruntung aku dan Erik sempat menghindar. Erik terkaget-kaget dengan serangan yang tiba-tiba.

"Terima kasih, Kapten," ucapnya.

"Nggak apa-apa," balasku.

Tepukan tangan perlahan terdengar. Dia tersenyum lebar. Yang menyerang kami adalah seorang berpakaian badut. Pasti dia yang bernama Romo. Bola-bola besi itu kemudian melayang kembali ke arahnya.

"Selamat datang, tuan-tuan…" sambut Romo. "Ahhh, bangsat! Menggunakan kata-kata itu membuatku ingat masa lalu. Masa lalu yang ingin kuhancurkan!"

Matanya sudah berubah. Skleranya memerah dan irisnya menguning. Sial, dia sudah memakai Euphoroid?

"Kapten!" seru Erik, "Kau maju saja. Kau mencari Sonia, yang disini biar aku dan Kak Solari yang tangani."

"Apa nggak apa-apa?" tanyaku ragu.

"Nggak apa-apa!" jawab Erik, "Iya, kan, Kak Solari? Eh? Kak Solari? Eh? Dimana dia? Eh? Eh? EHHHHHH!!??? DIA NGILANG!!!"

WHHHAAATTT!!!??? Perasaan 10 menit yang lalu dia masih lari bareng kita. Kok? Tiba-tiba ngilang!? Sejak kapan!? Erik sampai shock berat. Tapi, kemudian dia menampar-nampar mukanya.

"Huh, oke! Kapten, kau maju saja. Biar aku yang menangani badut ini," katanya dengan penuh keyakinan.

"Serius nggak apa-apa?" tanyaku masih ragu.

Dia mengangguk, "Percayalah kepadaku. Seperti aku percaya padamu."

"Perasaan quote-nya bukan begitu…"

"Ah, sudahlah. Yang penting kau maju saja, Kapten!"

"Oke, yang ada disini kupercayakan padamu. Jangan sampai kalah, oke!

"Oke!"

"Hei, kalian akan menyerang atau apa?" celetuk Romo kesal, "Bacot banget dari tadi."

Aku mengangguk kepada Erik. Dia balas menangguk dan bersiap dalam posisi kuda-kuda. Aku merogoh kantongku, mengambil bom asap, menekan tombolnya, dan melemparkannya. Seketika seluruh ruangan, dipenuhi dengan asap. Romo sepertinya terhalang pandangannya. Aku menggunakan kesempatan ini untuk lari. Sementara Erik menembakkan tali lendir ke langit-langit. Dia berayun kearah Romo dan mendaratkan sebuah tendangan ke wajahya.

"Namaku Erik Stanyal. Salam kenal," sapa Erik.

"Hai, Erik, namaku Romo. Mari kita bermain!"

***

"Ini dimana?" tanya Solari kepada dirinya sendiri, "Perasaan aku tadi masih lari bareng Kapten dan Erik, kok sekarang sampai disini?"

Ia berjalan sampai tiba di depan sebuah pintu dengan tanda "Gudang Euphoroid". Ia menggaruk kepalanya.

"Hei! Siapa disana?!" teriak seseorang.

Solari menoleh. Terlihat sosok pria. Tubuhnya kekar, rambutnya kribo. Dia bertelanjang dada, sehingga memperlihatkan kulit coklatnya. Di sisinya, ada seekor singa yang seakan siap menerkam kapan saja.

"Siapa lu!? Ngapain lu disini? Ini area terbatas!" tegurnya.

"Kau pasti Rembo," kata Solari.

"Hm? Rambut pirang… mata biru… ah, jangan-jangan! Kau pelanggan kami, ya!" teriak Rembo senang. "Mohon maaf, ya, kami tidak bisa melayani anda di pintu depan! Soalnya kami lagi berjaga-jaga dari serangan penyusup. Kami sungguh minta maaf!"

"A-ah, iya. A-aku pelanggan kalian," kata Solari kebingungan.

Singa milik Rembo mengaum-aum kecil kepada tuannya. "Hm? Ada apa, Simba? Penipu? Dia? Nggak mungkin. Apa? Lihat pinggangnya? Ada apa dengan pinggangnya? Ah! Ada pistol! Eh, tapi memang kenapa? Banyak pelanggan kita yang punya pistol… UAPA!? Dia Insaneis!?"

Rembo mengeluarkan cambuknya. "Dasar kau penipu! Ternyata kau penyusupnya!"

"Kau yang menipu dirimu sendiri," bela Solari.

"Rasakan ini!" Rembo mengayunkan cambuknya ke arah Solari.

Solari mengeluarkan salah satu pistolnya. Dia menembak ke samping. Api dari pistolnya mendorongnya untuk menghindar.

"Tidak akan. TIDAK AKAN AKU KALAH UNTUK KEDUA KALINYA DARI INSANEIS!"

To be continued…