Aku membuka pintu kamar dengan malas-malasan. Setelah itu, aku langsung berbaring di tempat tidurku. Aku lelah. Lebih tepatnya pikiranku. Semua hal yang terjadi malam ini, menyita banyak pikiranku. Kelompok lima. Arithmancy. Onmyoji. Latihan. Misi. Terutama, ternyata yang menjadi kaptenku adalah Kak Sifari. Orang yang menyelamatkanku minggu lalu. Sebenarnya, aku ingat jelas ketika dia menyelamatkanku. Tapi, aku ingin melupakannya, karena itu bermula dari kenekatanku melawan monster Kraken. Ketika aku merenung, mendengar suara nyanyian merdu.
"Badai dan petir menerjang malam. Menyapu kesedihan bersama turunnya hujan. Cahaya bintang, menerangi kegelapan yang diselimuti bayangan. Matahari tiba menyingsing fajar. Menyinari langit setelah senja."
Itu adalah suara Lucia. Dia memang punya suara yang bagus. Aku sampai iri dibuatnya.
"Nyanyi lagi, ya?" tanyaku.
"Ya…" jawabnya.
"Tapi kamu nyanyi lagu yang sama lagi kayak kemarin. Begitu juga dengan kemarinnya lagi. Sebenarnya kamu nyanyiin lagu yang sama, sih, seminggu terakhir ini."
"Entahlah, Sonia. Lagu itu seperti sudah terukir di dalam diriku sejak lahir."
"Woah, terukir sejak lahir, ya?" kataku kagum, "Mungkin kau ditakdirkan sesuatu yang hebat. Apakah mungkin itu sebuah ramalan?"
"Mungkin. Siapa tahu."
Ditakdirkan untuk sesuatu yang hebat, ya? Aku tidak penah mendapat yang seperti itu. Kehidupanku sepertinya biasa-biasa saja. Kekuatanku tidak luar biasa. Aku memang ditakdirkan untuk menjadi orang biasa saja sepertinya.
"Oh, iya," kata Lucia, "ngomong-ngomong, bagaimana kelompokmu? Kelompok lima, kan kalo gak salah? Kaptennya Kak Sifari?"
"O-oh, iya," jawabku, "hmm… gimana, ya… Bikin pusing, sih. Soalnya aneh-aneh semua. Ada shifter Ogre, ada yang bisa ngeluarin slime, gitu-gitu deh, pokoknya. "
"Termasuk kamu?"
"Hah!? E-enggaklah! Jangan samakan aku dong!" kataku, "kamu sendiri gimana?"
"Aku dapat kelompok delapan. Kaptennya Kak Rudi. Aku gak akan bilang kelompokku normal juga sih."
"Tapi, senggaknya gak ada kan yang—"
"SONIAAA!!!" kata seseorang sambil memelukku dari belakang. Ternyata orang itu adalah Kak Eriza.
"E-eeeh?" inilah yang kumaksud dari Lucia beruntung. Baru sebagian malah.
"Soniaternyatakitasatutimyatadinyaakukhawatirlohkalobakalsatutimsamaorangyanggakkukenaltapiakusetimsamakamuyang… Zzz…"
Tidur?! Cepet banget?! Di tempat tidurku lagi! Haaahhh, ya sudahlah aku mengalah saja. Dari alisnya yang terangkat, sepertinya Lucia sudah paham yang kumaksud. Aku pun pindah tempat tidur ke tempatnya Kak Eriza. Aku menghela nafas. Semoga aku tahan dengan segala keanehan ini. Cuman sebulan, kan? Eh? Iya? Atau berapa lama? Mereka gak ngasih tau berapa lama aku harus melalui ini!
***
Sabtu
"Huaaammm… yang cewek kemana, sih? Lama banget belom datang-datang," keluh Erik, "apa mereka nggak takut dibantai Kak Sifari kayak Kamis kemarin? Tapi, Kak Sifari juga belum dateng, sih."
Empat orang pemuda itu telah berkumpul di alun-alun sekolah. Barqi, Alan, Solari, dan Erik. Mereka telah menunggu selama lima belas menit. Kejenuhan telah merasuk ke dalam diri mereka. Sampai akhirnya, tiga orang perempuan tiba.
"Maaf kami telat," kata Yura, "Kak Eriza dan Sonia susah dibanguin, sih."
"Pastinya," kata Alan, "sudah saya duga. Apalagi dari si cebol ini."
"Hah!? Siapa yang kau panggil cebol, barbar!" kata Sonia kesal.
"Berani-beraninya kau memanggil seniormu seperti itu!" kata Alan.
"Hmph, apanya yang senior," gerutu Sonia.
Atmosfer disekitar mereka memanas. Keduanya memalingkan muka satu sama lain. Sudah jelas kedua belah pihak sulit akur.
"Sudah-sudah, kalian seperti anak kecil saja," kata Sifari tiba-tiba.
"Kak Sifari," kata Alan, "anda baru datang?"
"Hm? Nggak kok, udah dari tadi, kok… hah…"
"AAAHHH, BOHONG!" teriak Sonia, "KAK SIFARI BARU NYAMPE, KAN?! HELAAN NAFAS APA ITU!?"
"Oke, oke, aku memang baru nyampe, kuakui itu," kata Sifari sambil nyengir.
"Cih, telat mulu. Kapten macam apaan nih," kata Sonia misuh-misuh.
"Kak Sifari," panggil Barqi, "hari ini misi pertama kita, kan?"
"Oh, ya. Benar. Ngomong-ngomong kalian bawa yang kukasih kemarin?"
"Ooh, ooh, maksudmu yang ini?" kata Erik sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Yang lain juga mengeluarkan hal yang sama dari tas mereka. Masih rapi terbungkus plastik bening, yaitu seragam kelompok mereka. Jaket militer berwarna hitam. Lambang sekolah terpatri di bagian dada kiri. Sementara lambang kelompok terpampang di bagian punggung. Bunga mawar dengan tulisan 'V' diatasnya. Yang berbeda hanya Alan, miliknya mempunyai lengan pendek. Mereka kemudian memakai jaket itu.
"Lumayan juga kostumnya," kata Eriza, "desainnya simpel. Sepertinya aku suka."
"Yang bikin lambangnya Solari, lho. Bagus, kan!" kata Sifari.
Semuanya langsung menatap Solari dengan penuh kekaguman. Solari menurunkan topinya, berusaha untuk menyembunyikan wajahnya. Ia hanya berkata, "Bu-bukan apa-apa."
"Yah, sekarang," kata Sifari, "kita harus melapor ke kantor Pak Ares. Kalian semua sudah siap, kan?"
"Belum pernah sesiap ini," jawab Barqi.
"Pasti!" kata Alan.
"Aku semalam hampir gak bisa tidur tahu," gerutu Erik.
"Mhm." bisik Solari.
"Misi pertama, here I come!" seru Eriza.
"Semoga misinya gak susah," harap Sonia.
"Bukannya kalau gak susah jadi gak seru?" tanya Yura.
Mereka semua berjalan menuju ke kantor guru. Kemudian, berhenti di depan pintu dengan tulisan 'Ares Raka Chandra'. Sifari mengetuk pintu tiga kali.
"Masuk!" kata suara dari dalam ruangan.
Sifari membuka pintu dan masuk bersama yang lainnya. Terlihat Pak Ares sedang berbincang dengan seorang pria paruh baya. Namun pria paruh baya ini diperban dimana-mana. Kepala, lengan kiri, perut. Muka pun juga terlihat agak pucat.
"Pak!" seru Sifari, "Kelompok lima, diketuai Sifari Danar, melapor untuk menjalankan misi!"
"Laporan diterima… tapi… apa memang harus seformal ini?" tanya Pak Ares kebingungan.
"E-e-eeehhh!? Gak harus seformal ini?" kata Sifari terkejut. "Dasar Toni! Dia menipuku."
"Yah, tapi tidak buruk juga. Saya hanya kaget saja. Karena kelompok lain tidak seperti ini kemarin," kata Pak Ares, "mungkin lain kali akan saya terapkan. Tapi, pertama-tama misi kalian dulu."
Pak Ares melanjutkan, "Kalian tiba di waktu yang tepat. Karena kita dalam keadaan yang lumayan emergency di sini. Perkenalkan ini adalah Pak Jaya. Ia kemarin ditemukan oleh kelompok sembilan di Taman Lembah Gurame. Kemudian, dibawa kesini karena terluka cukup parah setelah diserang Manticore."
"Dan tugas kami adalah?" tanya Sifari.
"Kalian harus mengawal beliau pulang ke rumahnya di Bercos," jawab Pak Ares.
"Bercos? Dimana tuh?" tanya Alan.
"Di Jakarta," tanggap Barqi, "tepatnya Jakarta Selatan, tapi hampir masuk Pusat."
"Tapi cuman mengawal aja?" tanya Sonia, "gampang banget."
"Ah, tapi ada beberapa masalah, makanya saya bilang emergency," kata Pak Ares. "Pertama, semua guru sedang sibuk. Jadi tidak ada yang bisa menemani kalian dalam misi ini. Kedua, seluruh mobil sekolah sedang dipakai keluar. Jadi kalian harus mencari moda transportasi lain."
"Eeeehhh!?" kata semua murid bersamaan.
"Ah, kita naik MRT aja," kata Sifari.
"MRT?" tanya Solari
"Mass Rapid Transit, disingkat MRT," jawab Sifari menjelaskan, "sebenarnya seperti kereta biasa, cuman gak pake listrik dari atas saja. Listriknya biasanya di dalam rel."
"Hmmm… Aku baru tahu. Di rumahku nggak ada soalnya," kata Solari.
"Tapi, Kak Sifari," kata Sonia, "Bukannya MRT bakalan ramai? Terus nanti gimana kita bawa bapak ini? Sementara beliau terluka?"
"Dan kita tidak boleh terlihat terlalu mencolok," lanjut Barqi.
"Jaket ini sudah membuat kita mencolok, sih," celetuk Yura.
Sifari diam sebentar, "Hmmm… Kita butuh rencana. Oke, begini," ia mengajak kelompoknya melingkar, "Kita bagi tiga tim. Tiga tim ini akan menjaga dari jarak yang berbeda-beda. Pertama, Alan dan Yura, kalian menemani Pak Jaya dari dekat."
"Oke," kata Alan.
"Oke, sih. Tapi kenapa aku harus sama Alan?" tanya Yura.
"Karena kau onmyoji. Kalau Alan mengamuk, hanya kau yang bisa menanganinya. Kita tahu apa yang terjadi terakhir kali dia mengamuk," jelas Sifari.
"Baiklah," kata Yura.
"Kedua, aku, Barqi, dan Sonia menjaga dari jarak menengah. Karena kemampuan kita lebih cocok dalam jarak ini."
Barqi mengangguk, sementara Sonia berkata, "Oke."
"Terakhir, Solari, Eriza, dan Erik menjaga dari jarak jauh. Karena kalian semua bisa menyerang dalam jarak ini. Eriza, kau jaga-jaga dengan kemampuan analisismu."
Mereka bertiga mengangguk.
"Dan supaya tidak mencolok, jaket ini kita lepas dulu."
"Oke," kata Sifari sambil menghela nafas. "Hei, kenapa muka kalian seperti orang yang melihat UFO?"
"Kami tidak mengira kau dapat membuat rencana yang bagus," kata Barqi.
"Aku pikir kau ini otak konslet atau apalah," celetuk Sonia.
"HEI! Hanya karena aku yang paling lemah di Empat Raja Langit, bukan berarti aku bodoh, tahu!" bela Sifari.
Pak Ares tersenyum melihat interaksi mereka, "Sepertinya kalian sudah siap. Sifari, Pak Jaya kuserahkan padamu."
"Nama saya Jaya," kata Pak Jaya sambil mengulurkan tangan kepada Sifari, "mohon bantuannya, ya, dek."
Sifari membalas jabatan tangannya, "Nama saya Sifari, Pak. Bapak tenang saja dan serahkan kepada kami."
Pak Jaya menitikkan air mata, kemudian menangis, "Terima kasih, dek. Terima kasih banyak."
"Kak, sepertinya kita harus berangkat sekarang," kata Barqi.
"Ya," kata Sifari. "Baiklah, Pak Ares. Kalau begitu kami izin pamit dulu."
"Oke, hati-hati. Semoga kalian sukses!" kata Pak Ares sambil melambaikan tangan.
Mereka semua keluar dari ruangan Pak Ares. Alan menuntun Pak Jaya yang masih menitikkan air mata. Ketika sedang berjalan, mereka berpapasan dengan seorang pria muda dengan rambut keriting dan badan berisi.
"Barqi! Sifari! Sedang menjalankan misi?" tanya pria itu.
"Ah, iya, Pak Dirga. Baru saja mau berangkat," jawab Sifari.
"Oke, hati-hati di jalan! Jangan lupa bawang gorengnya!" kata Pak Dirga sambil berlalu.
"Hah, cara yang aneh untuk minta oleh-oleh," kata Barqi.
***
"Hah!? Jelek banget!" kata seorang pria, "Lu tau gak sih cara bikin obat yang bener!? Dasar kakek tolol!"
Kakek itu dengan lemah berusaha menanggapi, "Ma-maaf, tuan. Sudah beberapa hari ini saya kelelahan. Jadi saya kesulitan—"
"Halah alasan!" kata pria itu sambil menampar sang kakek. Kakek itu pun tersungkur ke tanah. "Bilang aja males kerja!"
Seorang perempuan muda menghampiri kakek itu, "Benar, tuan. Kakek saya sudah beberapa hari ini hanya makan sedikit. Karena tuan belum memberikan upah kepada kami."
"Hmmm? Penggangu lagi. Tapi, uihihihi. Kamu cantik juga," kata pria itu sambil mengangkat dagu perempuan, "Oke! Segala kejadian ini akan kulupakan. Tapi, kamu akan kubawa. Untuk kuajak 'main'."
Perempuan itu bergetar ketika ia diseret oleh sang pria. Segala usaha untuk menolak sia-sia. Air mata telah mengalir di pipinya. Suara isakan dan teriakan bercampur menjadi satu.
"Tolong, jangan, tuan! Tolong jangan! TOLONG!"
To be continued…