Sesuai rencana, aku, Barqi, dan Sonia berjaga dari jarak menengah. Kami berada di gerbong yang sama dengan Alan dan Yura, yang menjaga Pak Jaya dari dekat. Tapi, kami mengambil jarak yang cukup. Sementara, Solari, Erik, dan Eriza berada di gerbong sebelah. Kereta lumayan ramai hari ini. Jadi, aku dan Barqi berdiri, tapi Sonia dapat duduk. Yang lucunya adalah orang-orang pikir Sonia adalah adik kami. Makanya, dia dapat duduk. Tentu, dia tidak menganggap ini lucu.
"Kak Sifari," panggil Barqi.
"Hm?" tanggapku.
"Tentang lambang kelompok kita… kenapa bunga mawar?" tanya Barqi.
"Oh, itu. Yah, Pak Ares meminta semua kapten untuk memilih lambang dari bunga," jawabku, "aku memilih mawar karena meskipun indah, ia berduri."
Barqi mengangguk, "Boleh juga."
"Kak Sifari," panggil Sonia, "kenapa nggak Kak Sifari aja yang nganterin? Kan, Kakak bisa terbang. Kayak gini ngebosenin tahu."
"Aku nggak bisa terbang kalo nggak pake tangan. Kamu, kan, udah ngerasain sendiri," jawabku, "Lagian beliau, kan, terluka parah. Aku nggak bisa jamin kalo terbang bersamaku aman. Aku bukan maskapai."
"Haaahhh," keluh Sonia. Mukanya tertunduk lesu. Sepertinya dia sudah kehilangan mood.
"MRT memiliki tempat yang spesial di hatiku," lanjutku, "dan membuat MRT ini Ramirus Industries, perusahaan teknologi favoritku!"
"Yah, semua orang terkejut, bahkan menganggap dia gila. Ketika Ramirus bilang dia akan membangun MRT di seluruh Jabodetabek," kata Barqi, "tapi, ternyata dalam tiga tahun dia berhasil. Disamping mengeluarkan teknologi lainnya."
"Aku tertarik terutama dengan teknologi penyem—" kataku sebelum terpotong karena ada yang menabrakku. Aku menoleh.
Dua orang bertampang preman menatapku dengan galak. Seorang dari mereka yang badannya lebih besar berkata, "Woi, bego, lu punya mata gak, sih?"
"Hah? Bukannya jelas-jelas lu yang nabrak?" balasku.
"C-coy! Lihat, bego! Rambut merah kayak landak, mata hitam. Dia si Lionheart!" kata teman si preman.
"Hm? E-eh!? Seriusan!? Lu si Lionheart?"
"Iya. Emangnya kenapa?" tanyaku.
"E-eh, maaf udah nabrak, Bang Lionheart! Ngomong-ngomong Abang mau kemana?" tanya si preman. Gelagatnya langsung berubah 180 derajat. Mereka jadi sopan dan gugup tiba-tiba.
"Mau ke Bercos," jawabku.
"Be-bercos?!" kata si preman terkejut. Dia berkata sambil berbisik kepada temannya, "Dia belum tahu apa, ya?"
Temannya menjawab berbisik, "Kayaknya biarin aja dia gak tahu. Biar mampus! Kita kasih tahu bos, Jek!"
"O-oh, yaudah. Semoga Abang selamat sampai tujuan," kata si preman. "Kami pergi dulu, ya, Bang Lionheart!" Kemudian mereka beranjak dari kami.
Lionheart. Aku benci nama itu. Ternyata masih ada saja yang ingat. Padahal sudah hampir tiga tahun.
"Rusuh banget, sih, mereka," celetuk Sonia.
"Yah, ada alasannya mereka disebut preman," kata Barqi. "Tapi, Kak Sifari, sepertinya mereka Saneis, ya? Aku tidak bisa merasakan kekuatan dari mereka."
"Memang," jawabku, "tapi, sekalipun mereka Saneis, mereka tahu banyak hal tentang kekuatan. Insaneis yang lemah masih bisa mereka kalahkan."
Aku kemudian melihat sekeliling. Mengecek keadaan yang lain. Di kelompok jauh, Eriza sedang tidur dalam keadaan duduk di bangku, sementara Solari dan Erik mengobrol sambil berdiri. Di kelompok dekat, mereka semua dapat tempat duduk. Alan sedang berbicara dengan Pak Jaya, sementara Yura seperti kebingungan. Aku menoleh ke layar rute stasiun. Tiga stasiun. Itulah jarak antara kami dan penyelesaian misi ini.
***
Akhirnya… kami tiba juga di Bercos. Setelah naik MRT, kami sambung Busway. Kak Sifari sepertinya sangat terobsesi dengan transportasi umum. Bagus, sih. Tapi, kan kita lagi bawa orang yang terluka. Jadinya, orang-orang pada lihatin, kan. Haaahhh. Yah, yang penting kami sudah sampai dengan selamat.
Bercos. Kampung ini sangat sunyi. Aku hanya melihat satu dua orang berkeliaran di luar rumah. Anak-anak yang bermain juga tidak banyak. Kemana orang-orang? Dari jendela rumah-rumah, aku dapat melihat beberapa pasang mata mengintip. Mereka seakan bersembunyi. Dari siapa? Bukan hanya aku yang lain juga sama curiganya. Kak Sifari menengok waspada kanan kiri. Kak Eriza tiba-tiba megenggam tangan kananku. Aku bisa lihat Erik berkeringat banyak sekali. Kemudian, aku menyentuh belakang leherku. Aku baru sadar kalau aku juga berkeringat dingin. Gugup, takut, cemas. Itulah perasaan yang ada di dada kami.
Sebuah teriakan memecah sunyi kami, "ALASAN MULU LU, TOLOL!"
Seorang pemuda dipukul ke tanah. Mukanya babak belur. Mulutnya mengeluarkan darah. Sepertinya ia baru dihajar habis-habisan. Yang menghajarnya juga bukan main-main. Rambutnya panjang dikuncir. Badannya kekar dan tingginya sekitar dua meter. Si raksasa ini memegang kepala pemuda tadi, kemudian mengangkatnya.
"Lu itu susah banget, sih disuruh kerja. Apa lu udah bosen hidup? Hah!?" kata raksasa itu kemudian membanting si pemuda.
"A-ampun, bang," kata pemuda itu terengah-engah, "Kakek dan adik saya sakit, sementara kakak saya belum pulang dari kemarin. Jadi nggak ada yang ngerawat mereka."
"Tuh, kan. ALASAN LAGI!" erang raksasa itu sambil menginjak si pemuda. "KALO EMANG UDAH WAKTUNYA KERJA, YA LU KERJA, BEGO!"
Genggaman tangan Kak Eriza tambah kencang. Kak Barqi meraih pedang di pungungnya. Erik juga dalam posisi siaga. Kak Sifari? Eh, dia kemana?
"Terus tentang kakak lu, nggak usah khawatir. Dia udah jadi mainannya bos! Hahahahaha!" seru raksasa itu.
"Apa!?" seru pemuda itu.
"Yah palingan dia kesakitan dikit. Si bos lumayan liar soalnya. Hahahaha!"
Si pemuda bangkit, ia seperti berusaha menyerang si raksasa, "Lu jangan apa-apain kakak gua—"
Tinjunya terhenti. Pundaknya tertahan. Yang menahannya, astaga, tidak bisakah si landak merah ini tidak membuat masalah. Kak Sifari! Dia sudah mengenakan sarung tangannya. Dia melangkah ke arah raksasa itu. Tangannya terkepal keras.
"Hm?" si raksasa kebingungan, "Lu siapa, anjing?"
Kak Sifari mengeluarkan api dari tangan kanannya, kemudian meninju raksasa itu. Tepat di perutnya. Si raksasa terpental ke belakang.
"BANGSAT!" erang raksasa itu. Kemudian ia berlari ke arah Kak Sifari. Dia berusaha memukul Kak Sifari.
"Alan!" seru Kak Sifari.
Tinju si raksasa itu tertahan oleh raksasa lainnya. Itu adalah Kak Alan. Dia sudah berubah menjadi monster yang bertaring panjang dan sama besarnya. Dia menahan dengan kedua lengannya dalam posisi menyilang. Kemudian, dia menangkis tinju si raksasa itu dan melakukan tinju ganda ke dadanya. Si raksasa mundur sedikit, lalu berusaha meninju ke wajah Kak Alan. Dengan sigap, Kak Alan menghindar ke kiri dan membalas dengan tinju ke wajah si raksasa. Dia melanjutkan dengan uppercut ke perut si raksasa. Alhasil, si raksasa melayang ke udara. Tetapi, sebelum dia jatuh ke tanah, ia tertahan di udara.
"Serius, Roman, lu kalah?" kata seorang pria melayang berpakaian hitam dan rambut mangkok, "Mereka anak SMP-SMA, lho. Bukannya harusnya lu lebih kuat dari mereka?"
"B-bos!" kata si Roman itu.
"Itu karena si monyet mikir pake otot, bukannya otak," kata seorang pria lagi berambut gondrong berantakan. "Nih!" lanjutnya sambil menyerahkan suntikan.
Tabung suntik itu berisi cairan berwarna merah. Si Roman kemudian menyutikkan cairan itu ke bisepnya. Kemudian dia mengerang-erang.
"AH! AAAH! AAAHHH! AAAAAAHHHHH!"
"Apaan itu?" tanya Alan.
"Ng-nggak mungkin!" kata Kak Eriza terkejut.
"Hah?" tanyaku.
"Kekuatannya bertambah terus. 2500. 3000. 3500. 4000!" kata Kak Eriza.
Si raksasa itu terdiam. Kemudian, terlihat matanya berubah. Skleranya menjadi merah semua dan bagian irisnya menjadi kuning. Badannya bertambah besar dan kekar. Ia menyeringai lebar.
"Hei bangsat, gue liatin nih yang namanya kekuatan!" katanya.
Dia menyerbu ke arah Kak Alan lagi. Tapi, kali ini dia cepat sekali! Kak Alan kaget tiba-tiba Roman ada di depan mukanya. Roman meninju dagu Kak Alan. Ia pun terpental jauh ke belakang. Kulihat Kak Alan pingsan. Dengan satu pukulan!? Roman kemudian mengincar Kak Sifari. Sebelum dapat mengenai Kak Sifari, Kak Barqi menahan tinju Roman dengan pedangnya.
"Ah, lalat," kata Roman.
Kemudian, dia memukul Kak Barqi ke samping dengan tangannya yang lain. Kak Barqi terpental mengenai rumah seorang warga. Kak Sifari pun menembakkan api dari kedua tangannya. Roman hanya menahan dengan satu tangannya.
"Heh, geli doang," katanya.
Kemudian dia memukul Kak Sifari ke tanah. Yang tersisa tinggal kami berlima. Erik dan Kak Solari berada di depan. Kak Solari mengeluarkan pistolnya. Tetapi, tiba-tiba si Roman sudah berada di dekat mereka. Ia memukul Erik dan Kak Solari ke samping. Mereka berdua terpental rumah warga juga. Sekarang, tinggal kami perempuan.
"Tunggu!" seru si pemuda tadi, "mereka bukan siapa-siapa. Aku yang salah. Serang saja aku!"
"Oh iya, bener juga," kata bos mereka, "yang tadi lu incer, kan dia, tolol!"
"Bang Raja!" teriak seorang perempuan keluar dari dalam rumah. Ia memeluk si pemuda itu. Sepertinya dia seumuranku.
"Bu-bunga!" kata pemuda itu balas memeluknya.
"Oh, tenyata lu punya adik perempuan juga," kata bos mereka sambil menjilat bibir atasnya.
Ia tiba-tiba muncul di hadapan mereka berdua. Menarik si adik perempuan dan mengangkat dagunya.
"Hm, hm. Ui, uihihihi. Ya, ya. Bagus juga," kata bos mereka sambil mengelus-elus pipi dan dagu si perempuan. Si perempuan memejamkan mata. Seakan berharap si bos berhenti.
"Ya! Kamu akan kubawa! Rasanya bagus juga kalau punya kombo kakak beradik! Let's get party!" seru si bos.
Apa maksudnya? Jangan-jangan cewek ini akan… tidak! Tidak mungkin, kan!? Sudah dapat satu dia mau satu lagi? Gila! Darahku meluap-luap. Kepalaku terasa panas. Dan hatiku ingin memberontak. Aku pun mengangkat kepalan tangan kiriku.
"Ice Shot!" kataku sambil menembakkan peluru es ke arah bos tersebut.
Seperti yang sudah bisa ditebak, tidak berpengaruh apa-apa. Tapi, memang bukan itu tujuanku. Aku hanya ingin dia melepaskan gadis itu. Dia pun menoleh kepadaku.
"Bosen hidup kayaknya lu," kata si bos kepadaku. Kemudian dia menyeringai, "Atau jangan-jangan mau 'main' juga sama gue? Uihihihi"
"LEPASKAN GADIS ITU!" teriakku. Kak Eriza dan Kak Yura kaget aku berteriak.
"Hm? Kenapa harus? Kalo enggak? Lu bakal bunuh gu-"
"Uhuk! Uhuk!" gadis itu terbatuk sambil mengeluarkan darah. Sialnya, darah itu mengenai tangan si bos. Ia sangat geram tentunya.
"CEWEK BEGO! Tangan gue kotor, kan jadinya!" katanya.
Kemudian dia menampar gadis itu hingga terjatuh ke tanah. Gadis itu ditangkap oleh abangnya.
"Ah, tapi untungnya, gue nemu 'mainan' baru," kata si bos.
Dia muncul di depanku. Dia mengangkat daguku. Mengelus-elus pipi dan daguku. Tapi, kemudian Kak Eriza menyela. Melepaskan tangannya dariku.
"Lepasin tanganmu dari Sonia, dasar jahanam!" kata Kak Eriza.
"Hm? Model cewek kayak lu… gue udah punya," katanya sambil menyentil Kak Eriza. Kak Eriza terpental ke belakang. Ia berusaha untuk bangun, tapi tidak kuat.
"Sebelum lupa," si bos mengangkat tangan kanannya, melakukan gerakan sapuan ke kanan.
Tiba-tiba Kak Yura terpental ke samping. Menghantam rumah warga. Aku kebingungan. Kenapa bisa? Kekuatan macam apa yang dia punya?
"Nah, sekarang kita bisa berdua, uihihihi," katanya kepadaku.
"Stop!" kata Kak Sifari.
Ia berusaha untuk bangkit. Ketika dia mengangkat mukanya, aku menyadari sesuatu yang berbeda. Sebelah matanya berubah menjadi kuning, sama seperti si Roman tadi. Tapi, bagian skleranya masih putih. Lalu, apinya… bukan biasa seperti ia keluarkan berwarna merah kejinggaan. Kali ini berwarna hitam pekat. Nafasnya terengah-engah. Ia seperti berusaha melawan sesuatu. Kekuatannya kah?
Kemudian dia menembakkan lidah api hitam ke arah bos. Tetapi, meleset dua senti. Si bos terkejut, namun ia berusaha untuk tetap santai.
"Si anjing masih bisa ngelawan juga rupanya," kata si bos, "Yah, kenekatan lu ngelawan gue akan berakhir dengan lu mati."
"Oh, ya?" kata Kak Sifari, "Kita lihat saja, bangsat!"
Gaya bicaranya aneh. Bukan seperti Kak Sifari. Lebih seperti…orang lain. Kak Sifari mengeluarkan energi besar. Tekanan angin dari energinya sedikit mendorong kami. Dia seperti ingin menghajar si bos. Tetapi, tiba-tiba kertas dengan tulisan yang tidak kukenal tertempel di keningnya. Sontak, kekuatan Kak Sifari tiba-tiba menghilang dan ia jatuh ke tanah. Ternyata, Kak Yura yang melemparkan kertas itu. Kak Sifari memberikan jempol kepadanya sebelum jatuh.
Si bos menyeringai. Merasa tidak perlu melawan lagi, ia pun menarikku pergi. Aku berusaha melawan, tetapi tidak bisa. Segala usahaku sia-sia. Si bos kemudian menjentikkan jarinya. Perlahan, aku pun kehilangan kesadaran. Namun, aku masih bisa mendengar suara teriakan Kak Sifari…
"SONIA! SONIA! SONIAAAAA!"
To be continued…