Pak Ares mengaduk-aduk kopinya. Searah jarum jam seperti biasanya. Kemudian, bibirnya menyentuh mulut cangkir. Kehangatan kopi mengalir dari kerongkongan menuju dadanya. Dia menghela nafas, menatap cangkirnya. Hitamnya kopi seakan mewakilkan kelamnya rasa bersalah yang ia rasakan saat ini.
"Maaf, Sifari," gumam Pak Ares.
***
"Woi… woi, bangun, tolol!"
Sifari membuka matanya. Ia terbaring di sofa berwarna biru tua dan bercorak emas. Seluruh ruangan itu memang dipenuhi warna biru tua dan emas. Ia merubah posisinya menjadi duduk. Tiga orang duduk menghadap dia. Dua diantarannya adalah laki-laki dan yang satunya perempuan. Laki-laki yang duduk di sebelah kirinya memiliki wajah yang mirip dengannya. Tetapi, rambutnya berwarna hitam, matanya berwarna kuning, dan kulitnya lebih pucat. Ia menyeringai kepada Sifari. Pria yang di tengah duduk di belakang meja. Ia berperawakan paruh baya dan berambut cepak. Perempuan yang di sebelah kanan Sifari memiliki rambut kepang dua. Warnanya sama dengannya, merah tua. Wajahnya menampakkan kekhawatiran kepada Sifari
"Hei, tolol!" kata laki-laki berambut hitam, "seharusnya kau pakai kekuatanku untuk menghajar si mesum itu! Kenapa kau menahannya dan membiarkan si gadis Onmyoji itu menyingkirkan kekuatanku?!"
"Dan menjadi gila? Tidak, terima kasih," jawab Sifari, "Terakhir kali kau mengendalikanku, setengah Sawangan hampir hancur."
"Hei, biar kuberitahu, ya. Kau ini aslinya lemah! Tanpa kekuatanku, nggak mungkin kau menjadi 'Empat Raja Langit!" seru laki-laki itu.
"Mars, hentikan!" seru si perempuan. "Sifari, itu tidak benar! Kamu itu tidak lemah! Kamu kuat!"
Sifari menggeleng, "Tidak, Mary. Mars benar. Aku memang lemah. Menyelamatkan temanku saja tidak bisa."
Mars menyeringai, "Tuh, kan! Dia aja nga-"
"Tapi!" potong Sifari "Karena aku lemah, aku tidak akan bergantung kepada orang lain supaya terlihat kuat. Aku akan menjadi kuat dengan usahaku sendiri!"
Mars tercengang. Sementara, Mary tersenyum bangga.
'Cih, bocah ini galak juga,' pikir Mars. 'Hmph, akan sampai mana kira-kira apinya akan membakar? Aku ingin tahu.'
"Sifari," kata pria yang ditengah akhirnya angkat bicara.
"Hm? Kenapa, pak tua?" tanya Sifari.
"Menurutmu apakah yang kau lakukan adalah benar?" tanyanya kembali.
"Yah, kalau bukan, tidak mungkin akan sampai sejauh ini, kan," jawab Sifari.
"Bagus. Itu saja sudah cukup membuktikan bahwa kau kuat. Hanya orang kuatlah yang dapat terus berjalan di jalan yang mereka anggap benar. Meskipun diterjang badai cobaan," kata pria tersebut.
Seluruh pemandangan tiba-tiba bercahaya. Mulai memudar dari pandangan Sifari.
"Oh, ya. Ngomong-ngomong kau salah, tuh," kata Mars, "'bergantung kepada orang lain?' Kau lupa, ya?"
"Meskipun aku benci mengakuinya," kata Mary, "tetapi dia memang benar."
Mereka berkata bersamaan, "Kami adalah kau, dan kau adalah kami."
***
Tubuhku diseret oleh si Roman itu. Dia membuka pintu. Kemudian, dilemparlah tubuhku ke dalam sebuah ruangan. Aku merintih kesakitan. Dia tertawa sinis. Si Roman pergi dari ruangan dan membanting pintu dengan cukup keras.
"ROMAN GOBLOK! JANGAN BANTING PINTU, TOLOL!" teriak seseorang.
"BODO AMAT, ANJING!" balasnya.
Aku mengubah posisiku menjadi duduk. Lalu, bersandar ke tembok ruangan. Ruangan ini tidak terlalu besar. Mungkin luasnya hanya 3x3 meter. Aku mengatur nafas. Berusaha menenangkan diri. Tetapi, meskipun begitu, tetap saja dadaku terasa sesak. Air mata pun tak dapat kutahan lagi. Kubiarkan ia mengalir membasahi pipiku.
"Ada orang?" kata seseorang.
Sontak, aku langsung menyeka air mataku. Berusaha mencari sumber suara. Kemudian datanglah seorang perempuan berjalan mendekatiku. Perempuan ini sepertinya berumur 20 tahun. Rambutnya panjang dan wajahnya cantik. Sayang, semua itu tertutupi oleh penampilannya yang lusuh. Sepertinya dia melewati penderitaan yang cukup keras. Dia kemudian duduk di hadapanku.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya perempuan itu.
"I-iya. Ng-nggak apa-apa, kok," jawabku.
"Nggak apa-apa. Itu yang selalu kita katakan justru ketika sedang diterpa masalah. Karena kita nggak mau orang lain khawatir dan ikut susah," kata perempuan itu.
Dia mengelus pipiku dan rambut pendekku. Beda dengan elusan si bos yang penuh nafsu, dari elusannya yang kurasakan adalah kasih sayang. Dia tersenyum, berusaha untuk menenangkanku. Ah, aku jadi teringat kakak-kakakku. Mereka selalu berusaha untuk menenangkanku. Ketika aku sedang marah, kesal, ataupun sedih. Air mata pun mengalir tambah deras di wajahku. Aku memang cengeng. Perempuan itu mendekapkan kepalaku ke dadanya. Mengelus-elus kepalaku.
"Oh, iya. Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan," katanya, "namaku Putri, panggil saja Kak Putri. Dan kamu?"
"Aku Sonia," jawabku sambil terisak.
Kak Putri pindah duduk disampingku, "Sonia, ya. Kalau boleh tahu, kenapa kamu bisa berada disini?"
"A-aku dari akademi Insaneis sedang menjalankan misi bersama teman-temanku. Misi itu mengantar seseorang ke sini. Ketika sampai disini, kami melihat seseorang dihajar preman. Karena tidak tahan, salah seorang teman kami berusaha membela. Tetapi, akhirnya kami kalah dan aku diculik oleh bos mereka."
"Si Beni itu… dia masih kurang puas apa lagi coba!" geram Kak Putri.
"Kak Putri sendiri bagaimana?" tanyaku.
Dia menghela nafas, "Kami semua ini dipenjara, Sonia. Meskipun di rumah kami sendiri. Kami ditipu, diperdaya, dipencundangi," dia memeluk dirinya sendiri, "Kami pikir mereka memberi kami sebuah harapan. Ternyata, yang kami dapat adalah keputusasaan."
***
"Kak… Kak Sifari… Kak Sifari!"
Aku merasakan tamparan di wajahku. Berusaha untuk membangunkanku. Aku membuka mataku. Barqi melihatku dengan khawatir. Kemudian, dia menghela nafas setelah aku sadar. Aku terbaring di sebuah tempat tidur.
"Kita dimana?" tanyaku.
"Di rumah Pak Jaya," jawab Barqi, "Segera setelah si bos kabur, kamu pingsan. Kemudian, Pak Jaya menyuruh kami untuk menetap di rumahnya. Kamu sudah pingsan 9 jam."
Pak Jaya? Oh, iya, "Bagaimana keadaan beliau?" tanyaku.
"Yah, segera setelah kau melawan si raksasa, Yura menyembunyikan Pak Jaya di tempat yang aman. Jadi, dia tidak apa-apa."
Aku menghela nafas lega. Tapi, rasanya masih ada yang kurang. Ah!
"Sonia! Mana Sonia?! Kita harus segera menyelamatkan dia!" kataku panik.
"Kak, kak," Barqi berusaha menenangkanku, "kita akan menyelamatkan Sonia, santai saja. Tapi, bukankah lebih baik kita berpikir ulang terlebih dahulu?"
Aku terdiam, "Ya. Ya kau benar. Ngomong-ngomong, dimana yang lain?"
"Di ruang tamu. Ayo." ajak Barqi.
Aku bangkit dari tempat tidurku. Ketika aku berdiri, kepalaku terasa tertusuk. Badanku juga terasa nyeri. Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Ketika aku tiba di ruang tamu, terlihat semuanya sedang merenung. Mereka semua pasti sama terpukulnya denganku. Tetapi, mereka semua berusaha untuk tetap tegar. Meskipun kulihat Eriza berusaha untuk menahan tangisnya. Aku duduk bersama mereka.
"Teman-teman," panggilku, "Maaf. Maaf karena telah bertindak gegabah. Maaf karena tidak bisa melindungi kalian. Maaf, karena aku Sonia diculik. Maaf, karena aku kita kalah. Maaf karena aku tidak bisa menjadi Kapten yang baik untuk kalian."
"Sebenarnya yang kau lakukan agak bodoh, Kapten," celetuk Solari, "kami semua bisa terbunuh karenamu."
Solari bicara? Wow, jarang sekali dia angkat bicara. Bukan hanya aku, yang lain juga terkejut. Apalagi dengan kata-katanya yang langsung to the point. Erik terkagum-kagum sepertinya.
"Tapi," lanjutnya, "kalau aku jadi kau, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama."
"Yah, aku juga," celetuk Eriza sambil menyeka matanya, "aku juga tidak akan tahan melihat seseorang ditindas. Pasti aku juga akan melakukan sesuatu. Jadi tak usah khawatir, Kapten."
"Tidak pernah terlintas sekalipun dalam pikiranku, Kapten, untuk meragukan perintahmu," kata Alan, "Yah, memang aku kalah. Tapi, itu karena aku tidak siaga. Bukan karenamu."
"Kapten, sepertinya kau sering menyalahkan dirimu sendiri," kata Yura, "padahal kesalahan itu di luar kendalimu. Jangan memberatkan dirimu, Kapten."
"Aku belum pernah mengalami masalah sebesar ini sebelumnya," kata Erik, "tapi, yang pasti, kalau kita terjatuh, kita tinggal bangkit saja, Kapten."
"Dan soal Sonia," kata Barqi, "pasti kita akan menyelamatkan dia, Kapten!"
Aku tertawa kecil. Aku malah jadi diceramahi anggota ku sendiri. Dan… sekarang mereka memanggilku Kapten? Apa aku pantas? Yah, jika mereka berkata seperti itu, mungkin memang pantas.
"Aku melihat kita semua," kataku, "kalian tahu apa yang kulihat? Sekumpulan pecundang."
Mereka semua melihatku dengan alis terangkat. Sepertinya mereka tersinggung. Kecuali Barqi. Dia seakan menunggu apa yang aku katakan selanjutnya.
"Maksudku," lanjutku, "kita ini bukan orang-orang yang terlalu diperhitungkan. Aku yang terlemah di antara Empat Raja. Barqi, meskipun kau di atas kertas bagus, tidak ada yang berpikir bahwa kau lebih dari sekedar sidekick. Alan. Yah, aku yakin kau tahu bahwa kau lumayan dibenci di sekolah. Eriza, banyak laki-laki dan perempuan yang tertarik dengan penampilan luarmu dan kepercayaan dirimu. Tetapi, mereka akan menjauh menganggapmu aneh dengan kekutubukuanmu. Solari kau sangat pendiam dan acuh tak acuh dengan sekelilingmu. Kecuali, yang barusan tadi. Erik kekuatannya aneh. Yura bukan murid yang terlalu mencolok. Dan Sonia…"
"Ya, dia bagaimana? Sepertinya kehidupannya biasa-biasa saja," kata Erik.
"Dia itu anak bungsu. Kakak-kakaknya pasti selalu menjaga dan melindunginya. Padahal dia tidak ingin dimanja," jawabku.
Mereka semua mengangguk-angguk. Setuju dengan pendapatku.
"Tidak banyak orang yang berharap kepada kita," kataku. Aku menghela nafas, "Tapi, itu bagus. Berarti jika kita gagal, kita tidak akan terhina. Dan jika kita berhasil, kita akan mengejutkan semua orang."
Mereka semua mengangguk-angguk lagi. Erik tertawa, yang lain juga, termasuk aku. Suasana hati kami telah berubah. Dari murung menjadi bersemangat kembali. Kemudian, Pak Jaya datang duduk bersama dengan… pemuda tadi? Kenapa dia ada di sini?
"Sepertinya kalian sudah baikan, ya," kata Pak Jaya.
"Maaf, tapi kamu orang yang tadi pagi dihajar itu bukan?" tanyaku kepada pemuda itu.
"Ah, iya, saya belum memperkenalkan dia," kata Pak Jaya, "namanya Raja. Dia adalah keponakan saya."
"Te-terima kasih karena kalian semua telah menyelamatkanku!" katanya sambil membungkuk.
"A-ah sama-sama. Wait, keponakan?!" kataku terkejut.
Pak Jaya menghela nafas, "Mungkin saya harus memberitahu alasan sebenarnya kalian ke sini."
"Yang pasti bukan hanya untuk mengantar seseorang yang terluka, kan?" celetuk Solari, "karena kalau hanya itu alasannya, seharusnya kau memanggil ambulans. Bukan datang ke sekolah kami."
"Yah, memang benar," jawab Pak Jaya. "Alasan sebenarnya saya meminta sekolah kalian karena… yah, kalian lihat sendiri."
"Preman," kata Barqi.
"Si Beni itu…" gumam Raja kesal.
"Tapi, sepertinya mereka bukan preman biasa." kata Eriza, "ketika si raksasa itu menyutikkan sesuatu, tiba-tiba kekuatannya berubah drastis."
"Berubah adalah kata yang digunakan untuk sesuatu yang ada," kataku.
"Eh, maksud Kapten?" tanya Eriza.
"Si Roman yang dilawan Alan itu Saneis," jawabku.
"EEEHHH?!" seru semuanya terkejut. Kecuali Solari, Pak Jaya, dan Raja.
"Tapi, aku tidak bisa mendeteksi kekuatan apapun," kata Barqi.
"Justru itu, kan," kata Solari.
"Kalian gugup dan takut sampai-sampai lupa kalau dia tidak punya kekuatan," kataku.
Barqi menepuk jidatnya. Alan dan Erik sama-sama tercengang. Yura menghela nafas murung. Tapi, yang paling terpukul adalah Eriza. Kesadarannya telah terbang entah kemana. Aku paham. Sebagai seorang analis, untuk tidak menyadari hal itu adalah sebuah kegagalan besar.
"Dengan kata lain, suntikkan itu memberinya kekuatan?" tanya Barqi.
"Ya, sepertinya," jawabku
"Suntikkan macam apa itu?" tanya Barqi lagi.
"Bukan suntikkan biasa tentunya. Biar kujelaskan semuanya dari awal," kata Raja. "Tiga tahun lalu, Beni dan gengnya datang ke Bercos. Saat itu, kami tidak tahu apa tujuan mereka datang ke sini. Tapi, mereka terlihat seperti orang baik-baik saja. Mereka berinteraksi dengan warga, bercengkrama seperti biasa, bahkan sering membantu kami. Ah, iya. Bantuan itu…"
"Bantuan?" tanya Yura.
"Memang mereka seperti orang baik-baik saja. Tetapi, ada dua hal yang mencurigakan dari mereka," kata Raja, "pertama, sering sekali sebuah truk datang ke markas mereka. Kami kira itu truk pindahan mereka. Tapi, sampai setahun truk yang sama masih suka datang ke rumah mereka."
"Siapapun pasti akan curiga, tentunya," kata Barqi.
"Kedua, kami sering mendengar suara mesin beroperasi di malam hari dari rumah mereka. Ayah dan Pamanku beberapa kali mendengarnya ketika mereka tugas ronda," lanjut Raja.
"Suara mesin?" tanya Erik.
"Pasti ada kaitannya dengan cairan itu," kata Barqi.
"Yah, memang. Karena setelah enam bulan, tiba-tiba mereka dapat membeli tanah dan membangun rumah mewah di kampung ini." kata Raja.
"EH?!" kata kami terkejut.
"Truk yang sama mondar-mandir, mesin menyala tiap malam," gumamku, "Jangan-jangan…"
"Jangan-jangan, apa, Kapten?" tanya Eriza.
"Perdagangan narkoba," jawabku.
Pak Jaya dan Raja menghela nafas. Sementara yang lain tercengang.
"Yah, lebih tepatnya 'Steroid', sih," kataku. "Itulah yang membuat mereka kuat. Tapi, sepertinya bukan steroid biasa."
"Ya, biasanya steroid akan menyebabkan nyeri pada otot," kata Eriza, "Tapi, si Roman itu malah seperti dalam kenikmatan."
"Memang bukan," tanggap Raja, "mereka menamakannya 'Euphoroid'. Alih-alih memberikan efek samping steroid, ia memberikan efek positif ekstasi."
"Efek positif steroid dan ekstasi disatukan? Mengerikan sekali," kata Yura.
"Yah, itulah makanya kami takut," kata Pak Jaya. "Awalnya, hanya ada satu dua orang yang diajak bekerja untuk mereka. Tetapi, karena melihat bayaran yang lumayan menggoda, banyak orang yang jadi ikut bekerja untuk mereka."
"Kami pun sampai saat itu masih belum tahu apa yang mereka kerjakan," kata Raja, "si Beni itu menyuruh warga yang bekerja untuknya tutup mulut. Dan pekerjaan yang mereka lakukan juga biasa saja. Sampai suatu hari…"
"Sebuah masalah muncul?" tanya Solari.
Pak Jaya mengangguk, "Salah seorang dari warga sini yang bekerja untuknya, tidak sengaja menumpahkan cairan Euphoroid. Kemudian, tidak sengaja cairan tersebut terjilat oleh seekor anjing peliharaan mereka."
"Bila pada makhluk yang berakal seperti manusia saja efeknya sudah mengerikan, apalagi kepada binatang yang bergerak karena insting," kataku.
"Pastinya," kata Raja, "Anjing itu menggila. Membunuh warga yang menumpahkan tadi. Menghancurkan satu tabung penuh cairan Euphoroid. Menghancurkan mesin produksi mereka."
"Pasti mereka kesal sekali," celetuk Erik.
"Bukan main. Apalagi karena orang yang bersalah sudah mati. Mereka jadi tidak bisa menyalahkan siapa-siapa," kata Raja, "tapi, mereka jadi menyalahkan semua orang. Mereka berkata kami bodoh lah, kampungan lah, dan sebagaiannya. Lalu, dengan Euphoroid yang tersisa mereka memerintahkan semua warga untuk bekerja kepada mereka."
"Dan yang menolak?" tanya Barqi.
"Tentu saja mati. Kalau pun tidak, mereka pasti lebih berharap mati," jawab Raja, "seperti Ayah dan Ibu kami…"
"Apa yang terjadi dengan mereka?" tanyaku.
"Ayahku menolak habis-habisan. Tentu saja, kami tidak bersalah, kok," jawab Raja, "tapi Beni tidak suka orang yang menganggap dia salah. Ayahku dan beberapa orang dewasa lainnya dijadikan bahan percobaan Roman dalam menunjukkan kekuatan Euphoroid. Sementara, ibuku… karena si mesum Beni itu sangat terpikat dengan kecantikannya, dia membawa ibuku untuk dijadikan hiburannya. Setelah itu kami hidup seperti di neraka. Kami semua tunduk kepada Beni. Kami semua sangat takut kepada si bajingan itu."
Kami semua tercengang. Ternyata mereka semua telah mengalami penderitaan yang berat. Dan bahkan tidak ada yang berusaha menolong mereka? Kemana pemerintah? Kemana WGO?
"Apa kalian tidak berusaha menghubungi Mandala? Atau WGO?" tanya Barqi.
"Sudah," jawab Pak Jaya, "tapi, mereka tidak menjawab apa-apa. Kami sekeluarga terpaksa bekerja untuk mereka. Bahkan Ayah saya yang sudah tua pun dipaksa bekerja untuk mereka."
"Sampai akhirnya, Kakek jatuh sakit, seminggu yang lalu. Meskipun sakit, tapi dia masih memaksakan untuk bekerja," kata Raja, "karena dia bekerja dalam keadaan sakit-sakitan, ia melakukan kesalahan dalam membuat Euphoroid. Beni sangat geram melihat kecacatan dalam produknya. Ia memukul Kakek. Kakakku yang melihat itu berusaha melindunginya. Melihat kakakku, si bajingan itu jadi teringat Ibu kami dan tidak bisa menahan nafsunya."
"Dan dia juga menciduk Kakakmu?" tanya Eriza bergetar.
Raja mengangguk. Wajahnya dipenuhi kesedihan dan penyesalan. Karena tidak bisa melindungi Kakaknya. Sebagai seorang laki-laki, pasti itu akan sangat menohok harga dirinya.
"Makanya, saya berusaha untuk kabur. Mencari pertolongan," kata Pak Jaya, "sialnya, saya ketahuan dan dikejar. Dan akhirnya berakhir di sebuah taman di kota kalian. Lalu, seseorang dari sekolah kalian menemukan dan membawaku. Karena kulihat ini adalah akademi Insaneis, makanya aku meminta bantuan kepada guru kalian. Dan sisanya kalian tahu sendiri."
"Oh, iya. Ngomong-ngomong Ibumu sekarang bagaimana?" tanya Yura kepada Raja.
Raja menggeleng, "Bukan hanya Ibu dan Kakak sebenarnya, tapi banyak juga perempuan yang menjadi bahan pelampiasan nafsu Beni. Dan mereka semua hilang entah kemana."
Kami semua terdiam. Merenung. Besar sekali ternyata hal yang kami harus hadapi. Keraguan. Itu sudah seharusnya ada dalam hati kami. Kami berpandangan satu sama lain. Kemudian, mereka semua memandangku dengan penuh harap. Berharap aku memutuskan sesuatu.
"Jadi, bagaimana, Kapten?" tanya Barqi, "Apakah kau ingin lanjut? Menghadapi semua preman itu? Atau mundur dulu? Meminta bantuan dari sekolah?"
"Mundur bukan pilihan, Barqi," jawabku, "Sudah kubilang ini semua salahku. Maka aku lah yang memperbaikinya."
"Dan sudah kami bilang kau tidak sendirian," kata Solari. Kemudian ia mengulurkan tinjunya, "Kita akan melakukannya bersama, Kapten. Untuk Bercos."
Aku juga mengulurkan tinjuku, "Untuk Bercos. Dan warganya."
Eriza mengulurkan tinjunya, "Untuk Sonia."
Yura juga mengikuti, "Untuk Sonia. Dan semua yang dianiaya Beni."
Erik dan Alan juga mengulurkan tinjunya. "Untuk kedamaian hidup," kata Alan.
Barqi mengulurkan tinjunya, "Dan untuk Kelompok Lima kita. Yang dipimpin oleh Sifari Danar."
Kami semua tersenyum. Semangat telah memuncak dalam diri kami. Janji telah diikat antara kami. Tidak ada kata mundur. Pak Jaya dan Raja juga tersenyum melihat kami. Terutama Pak Jaya, sepertinya aku lihat dia menintikkan air mata.
"Oh, iya. Kita butuh yel-yel sepertinya," celetuk Erik.
To be continued…