Lima hari yang lalu…
Kelas satu dan dua SMA baru saja selesai pelajaran di jam pertama dengan Pak Bayu. Ya, kelas kami digabung untuk suatu alasan. Jadinya, kelas terasa penuh. Dan ribut, tentunya. Suara-suara bising bergema di dalam ruangan. Sebelum keluar, aku berkata kepada Eriza.
"Eriza, besok kelompok kita latihan, ya!"
"Hm? Oke. Di Outdoor training ground, kan?" tanya Eriza.
"Iya. Jangan lupa kasih tau Sonia dan Yura."
"Sip. Akan kusampaikan." Eriza keluar dari kelas bersama teman-temannya.
Barqi mendekatiku, "Jadi besok kita latihan, Kak?"
"Ya. Tapi bukan kaunya yang penting, sih."
"Hm? Maksudnya?" tanyanya.
"Yah, kau akan tahu besok," kataku sambil menyeringai. "Solari, besok latihan, ya!"
"Latihan? Latihan seperti apa?" Solari mengangkat alisnya.
"Yah, bawa saja senjata terbaikmu." Kataku sambil melambaikan tangan. Aku keluar kelas dengan Jofie.
"Besok kelompokmu latihan? Sampai jam berapa?" tanya Jofie.
"Yah, nggak lama, lah. Paling jam tujuh juga sudah selesai," jawabku. "Tenang saja, aku nggak lupa, kok, dengan rencana kita untuk…"
"MASAK NASI GORENG JAHANAM!" kata kami bersamaan.
"Tapi, serius, sebenarnya kau mau latihan apa?" tanya Jofie.
"Yah, aku akan sedikit mengetes kekuatan mereka. Terutama yang anak baru," jawabku.
"Mengetes kekuatan? Apa nggak apa-apa, tuh?"
"Nggak apa-apa, kok!"
"Yah, jangan sampai sisi spartamu keluar saja, ya, tuan Lionheart!"
"Jangan panggil aku dengan nama itu!" seruku. "Lagian, menurut data yang kumiliki, mereka semua sudah masuk fase 'individualitas'."
"Serius!?" seru Jofie terkejut, "bahkan anak kelas satu SMP-nya?!"
Aku mengangguk.
Jofie menepuk jidatnya, "Wow, beruntung banget kau, bro! Di kelompokku saja baru ada tiga orang, termasuk aku sendiri, yang sampai ke individualitas."
"Daripada keberutungan, menurutku itu adalah sebuah kesialan," kataku murung, "berarti akan lebih susah melatih mereka, kan? Ibaratnya, aku harus menjual lukisan yang sudah jadi. Ketimbang melukis yang aku bisa."
"Yah, itu tidak akan menjadi persoalan yang besar untukmu, tuan Lionheart," timpal Jofie setengah meledek.
"SUDAH KUBILANG JANGAN MEMANGGILKU DENGAN NAMA ITU!"
***
"Dan karena itulah, Reformasi di tahun 98 ditandai dengan masuknya WGO ke Indonesia. Pembagian dua kelompok manusia, Saneis dan Insaneis, dan juga registrasi Insaneis menjadi dua hal yang ditekankan WGO dalam keterlibatannya dalam pemerintahan Indonesia…"
Hari ini kelasku, kelas satu SMP, di jam pelajaran kedua belajar Sejarah Indonesia. Yang ngajar Pak Bima. Dan kalo beliau udah ngajar, pasti penjelasannya panjang dan bikin bosen. Banyak sekali siswa yang tidur di kelas. Kecuali satu orang, Lucia. Aku bingung dengan dia. Kok, bisa tahan, sih?! Aku aja setengah ngantuk. Dia bukan manusia kayaknya.
"Baik, cukup sekian saja untuk hari ini," kata Pak Bima menutup pelajaran. Sontak, tiba-tiba semua siswa yang tadinya tertidur langsung bangun. "Terima kasih, kelas dibubarkan."
Semua siswa bangkit dari tempat duduknya, yang laki-laki mencium tangan Pak Bima. Lalu, semuanya beranjak dari kelas.
"Hoamhhh, selesai juga," kataku.
"Iya, siapa yang sangka WGO ternyata mengendalikan negara di belakang layar," kata Lucia sambil melepas kaca matanya.
"Kau peduli tentang ITU?! Aku, sih, nggak peduli,"
"Hm? Kukira itu penting."
"Yah, aku bisa baca nanti kalau mau ujian."
"Atau minta diajarin Kak Sifari," ledek Lucia.
"Dia lagi. Kenapa, sih, harus dia?"
"Wajar dong. Kan, dia kaptenmu."
Aku menghela nafas, "Ah, aku sudah cukup diliatin Kak Maria dengan sinis hanya karena satu kelompok dengannya. Apalagi kalau kelihatan diajarin dia, bisa dibunuh kali. Lagian kayaknya Kak Sifari bukan orang yang tepat untuk minta diajarin sejarah."
"Ya, siapa tahu dia bisa. Dia, kan Empat Raja Langit. Siswa terkuat dan tercerdas di ASTRIS," kata Lucia. "Tapi, hubungan dia dengan Kak Maria itu apa, sih? Apa mereka beneran pacaran?"
"Nggak mungkin lah. Kalau benar pasti mereka bakal kena hukuman, kan?" kataku menimpali.
"Tapi, Kak Maria pede banget bilang, 'Kak Sifari itu pacarku!' Pasti ada sesuatu diantara mereka berdua, kan?"
"Ahhh! Nggak tau, ah! Aku nggak ngurusin." gerutuku.
*DUAK!
Tiba-tiba badanku bertabrakkan dengan seseorang. Sepertinya dia membawa buku sangat banyak. Semuanya bercerceran di jalan. Siapa, sih?! Ah, panjang umur, baru juga diomongin. Ternyata Kak Sifari.
"Ah, Sonia, toh. Maaf, maaf, maaf, ya," katanya memohon.
"Kan sudah kubilang jangan bawa buku banyak-banyak, tebel-tebel," kata temannya yang berambut spiky, "nggak bagi-bagi lagi."
"Ini, kan, buku pinjamanku semua. Aku nggak mau memberatkanmu juga. lagian kau nggak minta," kata Kak Sifari.
"Kau nggak nanya."
Lucia berjongkok. Ia mengambil salah satu buku yang berceceran. "Untuk seseorang yang memiliki kekuatan api, aneh sekali, kau mengambil buku tentang cryokinesis? Buku ini lebih tepat untuk…" Lucia menoleh ke arahku, "Sonia."
Aku terkejut. Sontak aku merebut buku itu dari tangan Lucia. 'The Art of Cryokinesis Vol. 1' karangan Enice Brighton. Aku tahu buku ini! Ini buku pertama yang kubaca ketika pertama kali kekuatanku muncul. Aku melihat buku yang lainnya. Semua judulnya tidak ada hubungan dengan kekuatan dia. 'The Way of Sword', 'Ilmu Matahari', 'Arithmancy for Beginner', 'For Dummy Shifter', 'Sains Lengket', 'Jalan Penyucian Jiwa', dan masih banyak lagi. Aku tidak paham. Maksudnya apa?
"Yah, kau lihat, dibalik sosoknya yang sadis dan menyeramkan, si landak merah ini punya sisi lembut terhadap anak buahnya," kata teman Kak Sifari.
"Berisik, Jofie!" Kak Sifari langsung merapikan bukunya. Merebut buku yang kupegang. Temannya, Kak Jofie, ikut membantu merapikan. Mereka langsung berdiri, hendak beranjak.
Sebelum dia pergi, aku memanggilnya, "Kak Sifari!"
Dia menghentikan langkahnya, "Hm?"
"Besok kita latihan?"
"Ah, Eriza sudah memberitahumu, ya. Iya, benar," jawabnya.
"Latihan apa?"
"Apa kau punya senjata atau memakai senjata?" tanya Kak Sifari balik.
Aku menggeleng, "Nggak, nggak ada."
"Kalau begitu persiapkan saja dirimu besok," katanya sambil menyeringai. Dia pun berlalu. Meninggalkanku dengan penuh tanda tanya.
"Kalau dari nadanya, sepertinya dia akan mengetes kalian, deh," celetuk Lucia.
"Mengetes?" tanyaku masih belum paham.
"Yah, mungkin kau akan bertarung dengannya."
"HAH!? Nggak, nggak, nggak, NGGAK! Itu nggak mungkin. Dan aku nggak mau, oke. Cukup ditangkap Kraken saja yang menjadi mimpi burukku tahun ini. Nggak usah ditambah lagi."
"Memangnya kenapa? Bukannya bakalan asik?"
"Lucia, aku nggak tahu apa yang ada dibalik kepalamu. Tapi, kayaknya nggak akan ada siswa yang berpikir melawan Empat Raja Langit adalah hal yang bagus. Apalagi asik.
***
"Dan itu adalah akhir dari laporan saya tentang 'Squad Project' sejauh ini," kata Pak Ares. Kemudian ia duduk.
Di dalam ruangan ini terkumpul semua guru ASTRIS. Rapat bulanan sedang dilaksanakan Mereka semua terdiam dan mendengarkan dengan saksama laporan masing-masing. Baru saja Ares menjelaskan 'Squad Project' yang ia tangani. Mulai dari cara kerja, peraturan, dan detil kelompok-kelompok. Kapten-kaptennya dan anggota mereka masing-masing.
"Pak Ares," Pak Bayu angkat bicara, "sebenarnya saya kurang yakin kalau Herman dijadikan kapten. Apakah tidak apa-apa?"
"Yah, saya pun juga ragu-ragu menempatkan Herman sebagai Kapten, Pak," jawab Pak Ares, "tapi, dia harus belajar untuk bertanggungjawab dan menjadi pemimpin. Yah, sebenarnya mereka semua harus belajar."
"Hm, si Toni memilih adeknya, Agatha," kata seorang pria berambut pendek runcing sambil melihat proyektor di ujung ruangan, "Ketebak banget."
"Tapi, si Riza nggak memilih adiknya," celetuk seorang pria yang berbadan kekar.
"Ketika mereka yang memilih sendiri, unik juga jadinya," kata seorang laki-laki berkacamata dan rambut disisir rapi.
"Si Sifari dan Barqi satu kelompok, tuh," kata laki-laki berambut runcing tadi.
"Dari dulu, kan, Riku," kata Pak Bima. "Tapi, si Barqi setia sekali sama Sifari. Bukannya Sifari buruk, tapi sepertinya Barqi lebih baik daripadanya. Meskipun, Sifari menyandang gelar Empat Raja Langit. Tetapi, Barqi tetap saja memerlukan 'kepala'. Sifari lah orang yang lebih cocok. Karena dia lebih agresif."
"Nah, itu dia. Pak Ares, saya mau tanya," kata seorang perempuan paruh baya, "Apa tidak apa-apa menjadikan Sifari ketua? Soalnya terakhir kali dia menjadi ketua, kan… anda tahu sendiri."
"Menurut saya tidak ada masalah, Bu Martha," tanggap Pak Ares, "karena kali ini anggota dia hanya sedikit. Dia juga yang memilihnya sendiri satu persatu. Dan saya yakin dia sudah belajar dari pengalamannya dulu."
"Sebaiknya begitu," Bu Martha menimpali dengan cemas.
"Bagi guru yang lain juga, saya harap kita menghilangkan segala keraguan terhadap mereka. Maksud saya, mereka adalah Angkatan Satu. Mereka yang paling senior. Paling dewasa, seharusnya. Dan mereka juga sudah belajar banyak hal dari kita."
Semua guru mengangguk setuju.
"Saya juga mau tanya, Pak Ares," kata seorang pria berumur sekitar lima puluh tahunan. Semua guru langsung menoleh. "Mungkin agak keluar topik, ya. Tapi, apakah dari siswa baru ini ada 'Tujuh Pelindung Angkasa' lagi?"
"Pak Kepala, apakah itu mungkin?" tanya Pak Bayu ragu. "Empat yang sudah kita punya saja itu sebuah keberuntungan dan sudah bagus. Menurut saya, kita jangan terlalu berharap untuk mengumpulkan semuanya."
"Ya, Sifari, Rudi, Agatha, dan Alex. Mereka semua sudah bagus," kata Pak Bima.
"Tidak!" seru Pak Kepala, "semuanya harus terkumpul. Kesalahan generasi sebelumnya jangan sampai terulang!"
"Sebenarnya, sepertinya kita punya enam sekarang," kata Pak Ares tersenyum.
"APA!?" semua guru terkejut. Mata mereka terbelalak. Hampir mereka semua mengangkat alis. Pak Kepala tersenyum lebar. Saking senangnya, hampir saja air matanya jatuh.
"Ya. Menurut laporan Sifari, salah satu anggotanya, Solari Chaliang, adalah pemilik kekuatan SUN." ujar Pak Ares.
"Dan yang satunya lagi?" tanya Pak Riku.
"Dia ada di kelompok delapan, kelompoknya Rudi. Pemilik kekuatan STAR. Namanya Lucia Caelus."
***
Matahari masih malu-malu menunjukkan sinarnya. Tetapi, ayam-ayam sudah berkokok. Sonia bangun lebih awal dari biasanya. Mataya masih mengerjap-ngerjap pelan. Garis hitam terlihat di bawah kelopak matanya. Ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Sempat terpikir di benaknya untuk mandi. Tapi, ia mengurungkan niatnya begitu mendengar langkah-langkah kaki. Sonia langsung kembali ke kamarnya untuk ganti baju. Ia mengambil seragam olahraga dari lemari bajunya.
Setelah itu, ia turun ke ruang rekreasi Asrama Putri. Di sana, ia bertemu dengan Eriza dan Yura yang sudah menunggu. Yura sedang duduk di sofa sambil membaca buku. Sementara, Eriza sedang tidur sambil duduk.
"Selamat pagi, Sonia," sapa Yura.
"Ah, selamat pagi, Kak Yura," balas Sonia. "Ah, Kak Eriza masih tidur. Semalam dia tidur duluan, padahal."
Yura menepuk pundak Eriza, "Kak, kak, kak Eriza."
"Hm?" jawab Eriza dengan mata sayu.
"Ayo kita berangkat," ajak Yura.
"Berangkat. Berangkat? Berangkat kemana?"
"Latihan, tentunya," jawab Sonia.
"Latihan?" Eriza langsung tersadar. "Oh, iya! Latihan! Astaga, kenapa aku masih ngantuk begini. Ayo Yura, Sonia, kita berangkat!"
Yura dan Sonia berpandangan satu sama lain. Kebingungan melihat perubahan mood kakak kelas mereka. Sonia hanya bisa mengangkat bahunya. Mereka pun berangkat menuju training ground.
***
Aku, Kak Eriza, dan Kak Yura tiba di Outdoor training ground. Tempat ini dipenuhi dengan pohon-pohon. Ada kolamnya pula. Terakhir kali aku melihatnya tempat ini kosong, hanya rerumputan yang menghiasi. Kapan menanam pohonnya? Dan kapan bikin kolamnya?
Di sana, ternyata para laki-laki kelompok kami sudah tiba duluan. Mereka semua sedang duduk-duduk di atas batang pohon sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Tapi, ada satu orang yang belum datang, Kak Sifari. Hhhhh, sudah jadi kebiasaan apa, ya?
"Ah! Datang juga yang perempuan," kata Kak Barqi. "Kami sudah nungguin kalian dari sejam yang lalu, tahu."
"Ya, ya," timpalku, "kemana kapten kita yang luar biasa itu?"
"Dia sudah datang dari tadi, kok," jawab Kak Alan, "tunggu saja sebentar lagi. Dia lagi jalan-jalan."
"Hm? Jalan-jalan?" tanya Kak Yura.
Terdengar suara semburan api. Kami mendongak ke atas. Ternyata di situ dia rupanya. Kak Sifari sedang terbang mengelilingi sekolah. Ia menukik ke arah kami. Kemudian, ia menyemburkan api untuk mendarat.
"Hai," sapanya.
"Bukannya kita tidak boleh menggunakan kekuatan selain di sini?" tanya Kak Eriza.
"Yah, aku, kan, take-off dari sini," jawab Kak Sifari santai, "dan nggak ada juga yang bilang kalau area udara ada larangannya."
Dasar, seenak jidatnya saja! Tapi, dia nggak salah, sih. Peraturannya hanya menyebutkan larangan menggunakan kekuatan di area sekolah. Kecuali, training ground atau di tempat lain dengan seizin guru. Tapi, kalau ada guru yang lihat dia bagaimana? Apa nggak jadi masalah?
"Oke, langsung saja," kata Kak Sifari, "kita mulai latihan untuk hari ini. Tapi sebelum itu, Barqi, Alan, dan Yura kalian mundur dulu."
Mereka bertiga pun mundur.
"Hari ini aku hanya butuh kalian," kata Kak Sifari sambil menyeringai, "para murid baru. Aku akan mengetes kalian. Lawan aku."
Kami bergidik. Hatiku berdegup kencang. Ternyata beneran kita melawan Kak Sifari.
"Peraturannya gampang," lanjutnya, "kalau kalian bisa membuat pantatku menyentuh tanah dalam 30 menit, kalian menang. Gimana? Gampang, kan?"
Gampang, matamu! Pasti bakalan susah, kan. Apalagi dia bisa terbang.
"Oh, ya. Aku tidak akan pakai senjata," kata Kak Sifari sambil melepas sarung tangannya. Ia memberikan sarung tangannya ke Kak Barqi. "Jadi aku tidak akan terbang."
Aku bernafas lega. Gak menggunakan senjata, ya? Bagus, deh, kalo gitu. Tapi, kok, Kak Eriza seperti tidak tenang begitu ekspresinya?
"Kak Eriza, ada apa?" tanyaku.
"Sonia, bagaimana kalau dia tidak pakai senjata itu adalah sebuah hal yang buruk?" tanya Kak Eriza balik dengan gugup.
"Maksudnya?"
"Bagaimana kalau senjata itu sebenarnya adalah sesuatu yang menahan kekuatan Kak Sifari?"
Astaga, benar juga! Kenapa tak terpikirkan olehku!
"Oke, kalian siap?" tanya Kak Sifari.
Aku terkejut, "Be-belum-"
"MULAI!"
Kak Solari mengeluarkan pistolnya dan langsung menarik pelatuk. Membuat bara api yang besar di sekeliling Kak Sifari. Kami semua tercengang.
"Hm, menarik juga." kata Kak Sifari. Hah? Dia masih bisa berbicara meskipun terbakar?
Dia menyeringai, "Tapi, aku lupa memberitahu kalian. Api tidak mempan terhadapku."
Kak Sifari membuka mulutnya. Semua api di sekelilingnya terhisap ke dalam mulutnya. Dia tersenyum lebar. Kemudian, ia seperti menghisap udara dan menggembungkan mulutnya. Kak Sifari membuka mulutnya sedikit dan menyemburkan lidah api yang besar. Meskipun tidak mengenai kami, lidah api itu membuat dinding di antara kami. Setelah dinding api itu padam, Kak Sifar sudah menghilang dari pandangan. Masuk ke dalam hutan.
"Ingat waktu kalian hanya 30 menit!" seru suara Kak Sifari menggema dari dalam pepohonan.
Semuanya berkeringat dingin. Termasuk aku. Kami semua bingung apa yang harus dilakukan. Aku melihat Erik bergidik ketakutan. Begitu juga Kak Eriza. Kak Solari yang berpembawaan tenang juga terlihat sedikit ragu. Kita tidak bisa seperti ini terus, harus ada yang bergerak.
Aku mengatur nafas dan mengepal tanganku, "Ayo kita memburu raja."
To be continued…