Beni berjalan dengan angkuh dan senyum lebar di rumahnya. Peristiwa tadi pagi masih membuatnya senang. Pasalnya, dia baru saja mendapat hiburan baru. Dia berpikir segala hal yang dapat dilakukannya dengan mainan barunya itu. Tapi, Beni punya rencana. Dia tidak akan langsung 'menyerang'. Itu tidak akan menjadi seru, pikirnya. Kemudian, ia membuka pintu. Pintu itu berwarna putih dan bercorak emas. Sangat mewah. Apalagi untuk ukuran kampung di pinggiran ibu kota. Di balik pintu itu, terdapat ruangan yang juga bernuansa putih dan emas. Di ujung ruangan itu, terdapat sebuah tahta. Tahta itu berwarna merah dengan ornamen-ornamen emas disekelilingnya. Di dalam ruangan itu, ia disambut oleh anak-anak buahnya.
"Ah! Bos udah balik!" seru seorang perempuan berambut kepang dua dengan gembira.
"Yo, bos! Happy banget kayaknya, kushishishi" kata seorang pria berpenampilan seperti badut.
"Pastilah, Romo! Soalnya gue dapat 'mainan' baru!" seru Beni.
"Tapi, katanya si Roman habis kalah? Cemen banget sih lu!" kata seorang laki-laki berambut kribo.
"Gue nggak kalah, anjing! Orang gue bantai semua!" jawab Roman dengan kesal.
"Tapi, kalo gue nggak turun tangan, pasti lu bakal kalah, Man!" kata seorang pria berambut gondrong dan berjas lab, "padahal lawannya cuman anak SMP SMA."
"Argus, lu serius? WAHAHAHA! ROMAN, LU HAMPIR KALAH AMA BOCAH? WAHAHAHA!" teriak pria kribo itu.
"DIEM LU, REMBO, BANGSAT!" balas Roman.
Beni hanya berjalan melewati anak buahnya itu. Ia tidak peduli dengan pertengkaran kecil mereka. Karena sudah biasa. Baginya, inilah yang membuat gengnya hidup.inilah yang membuat gengnya hidup. Ia kemudian duduk di atas tahta tersebut. Para anak buahnya kemudian berlutut kepadanya. Seakan Beni adalah seorang raja.
"Bos, jika anda ada keperluan, maka katakan saja kepada kami. Para pelayan setiamu," kata Argus.
"Yah, untuk hari ini sepertinya sudah cukup. Lu semua bebas mau ngapain aja," kata Beni.
Semua anak buahnya berdiri, "Kalau begitu, saya mohon permisi dulu," kata Argus.
Argus pergi meninggalkan ruangan itu, sementara yang lain masih tinggal. Mereka memerhatikan Argus sampai keluar ruangan.
"Hiiih, gue selalu menggigil kalo dia ngomong kayak gitu," kata Rembo sambil memeluk tubuhnya, "Dasar ilmuwan gila!"
"Iye, kalo ngeri juga kalo inget dia bisa gila juga kadang-kadang. Kayak orang sinting," kata Romo.
"Kata seorang yang berpenampilan seperti badut," kata perempuan itu, "Lu nggak ada bedanya, Mo!"
"Eh, Karla, yang penting gue tetep konsisten sama penampilan gue," bela Romo, "Lah, dia, suka nggak jelas! Dasar tante-tante!"
"Eh, siapa yang tante-tante?!" seru Karla kesal, "Gue masih 24 tahun, tau! Sama kayak lo!"
"Oh, ya? Masa? Nggak keliatan kayak gitu, tuh," kata Romo meledek.
Karla menatap Romo seakan dia bisa membunuh Romo kapan saja. Sementara Romo membalas tatapan itu dengan tatapan meremehkan. Suasana diantara keduanya dipandang enteng saja oleh yang lain. Toh, setiap hari juga begini.
"Tapi, karena si Argus itu kita bisa menjadi seperti sekarang ini," kata Roman.
"Yah, kita harus banyak berterimakasih kepada dia, kan? Soalnya karena dia lah kita bisa kaya dari Euphoroid," kata Beni.
Karla menghampiri Beni. Kemudian, mengalungkan lengannya ke leher Beni dengan manja, "Booossss, kok kamu udah nambah mainan lagiiii? Padahal yang sama kemarin, kan, katanya belum puas. Aku juga belum diapa-apain…"
Beni mengangkat dagu Karla, "Karla, kamu harus ngerti dong. Aku butuh variasi. Yang kali ini itu anak SMP. Biar tambah seru! Apalagi kalo digabungin sama yang kemarin."
"Anak SMP, ya?" tanya Rembo, "Apa lu nggak takut, bos? Nanti dibilang pedofil terus dilaporin ke Kak Toto, loh."
"Kenapa sih semua masalah anak-anak selalu ke Kak Toto? Bingung gue ama orang sekarang," kata Roman.
"Kan, dia tokoh pelindung anak atau apalah itu. Dasar bego!" kata Romo. "Gue yang badut aja tau! Kushishishi!"
"Ngomong-ngomong soal anak SMP," kata Roman, "dia punya teman, kan?"
"Oh, yang hampir ngalahin lu? Hahahaha!" kata Rembo.
"Diem, anjing!" balas Roman. "Soal mereka gimana, bos?"
"Hmm? Oh, iya. Mungkin kita harus jaga-jaga," jawab Beni, "meskipun bocah, mereka Insaneis. Bisa gawat kalo kita ngeremehin mereka."
"Insaneis?!" tanya Karla terkejut.
Ia melepaskan pelukannnya dan jatuh berlutut ke lantai. Matanya membelalak. Tubuhnya mengigil. Nafasnya menjadi berat. Romo, Roman, dan Rembo berlari mendekatinya. Sementara, Beni diam saja, masih duduk di tahtanya.
"Oi, Karla! Ada apa?" tanya Romo.
Karla berusaha untuk mengatur nafasnya, "I-in-insaneis, Insaneis, Insaneis?!" Karla memeluk Romo. "Ki-kita ng-nggak akan melewati hal itu lagi, kan, Mo?"
Romo balas memeluknya, berusaha untuk menenangkan Karla, "Santai, santai, tenang. Sekarang kita udah kuat, kan? Nggak mungkin lah mereka bisa menyakiti kita lagi. Sekarang, atur nafas."
Karla berusaha mengatur nafasnya. Ia menarik dan membuang nafas berulang-ulang. Sampai akhirnya nafasnya menjadi ringan seperti biasa. Karla kemudian bersandar di tembok. Ia merasa lemas.
"Ngomong-ngomong," kata Rembo, "kekuatan mereka apa, Man?"
"Hmmm… mereka ada berdelapan, sih. Yang satu bisa ngeluarin api dari tangannya. Ada yang bisa berubah jadi monster. Ada yang juga pake pedang," jawab Roman.
"Yang gue culik bisa menggunakan es," sambung Beni sambil tersenyum, "dan ada juga yang bisa bikin pingsan pake kertas."
"Wah, kalo gitu kita harus beneran jaga-jaga," kata Rembo khawatir.
"Tapi, kita nggak usah khawatir, kan?" tanya Romo, "soalnya kita punya Euphoroid."
"Yah, selama ada Euphoroid kita nggak mungkin kalah," jawab Roman, "karena Euphoroid udah nyelamatin hidup kita sebelumnya."
***
"BANGSAT!" teriak Argus sambil menendang meja kerjanya.
Ia kemudian membuang seluruh kertas yang ada di meja itu. Ia mengacak-acak rambutnya, menggebrak-gebrak mejanya. Saat ini, kepalanya sedang panas. Hatinya sedang berdebar tidak tenang. Dan tangannya sedang ingin sekali memukul. Pokoknya, segala hal yang bisa dilakukan di ruangannya untuk melampiaskan amarahnya, akan dia lakukan
"ANJING! ANJING! ANJING! BANGSAAAAATTTT!" teriaknya. "Kenapa anjing, KENAPAAAAA!?"
"UAAAAAAHHHH!" teriaknya lagi sambil membanting kursi kerjanya, "Kenapa si bangsat Lionheart ada di Bercos, anjing?! Bukannya dia udah ngilang tiga tahun? Kok muncul sekarang, anjing!?"
Argus berusaha untuk mengatur nafasnya. Ia membetulkan kembali kursi kerjanya dan duduk di atasnya. Ia membuka laci mejanya. Mengambil secarik foto. Di foto itu bergambarkan seorang pemuda. Rambutnya merah, tapi wajahnya tertutup oleh buff. Ia sedang menatap tajam ke arah kamera sambil mengeluarkan api dari tinjunya.
"Itu bener, kan, bener, kan, si bangsat Lionheart? Warna rambutnya sama. Kekuatannya sama." kata Argus, "kalo bener bisa ancur rencana gue, anjiiiiinngggg!"
Argus mengatur nafasnya lagi, "Hah, hah, hah. Kalem Argus, kalem. Lu masih punya Euphoroid. Lu masih punya Beni dan temen-temennya yang bego. Lu masih aman. Si Lionheart dan temen-temennya nggak bisa ngalahin lu! Yang penting lu atur aja Beni dan temen-temennya, lu aman!"
Argus membuka laci mejanya lagi. Kali ini dia mengeluarkan pisau. Dengan pisau itu, ia menusuk foto bergambar pemuda tadi. Ia menusuknya berkali-kali. Sampai akhirnya, di tusukan terakhir, ia menusuk dengan kuat-kuat.
"MATI LU, MATI LU, MATI LU, LIONHEAAAARTTTTT!"
***
Toni dan kelompoknya berjalan di koridor gedung guru. Hari ini misi pertama kelompoknya. Mereka telah mengenakan seragam kelompok mereka. Jaket berwarna biru langit dengan lambang bunga matahari dengan 'I' diatasnya.
"Hari ini misi pertama!" seru seorang laki-laki tinggi dengan rambut berponi ke kanan, "Julio, lu seneng gak?"
"Mager, sih sebenernya gue, Lik" jawab Julio, "apalagi kalo misinya susah."
"Yah, lu mah apa sih yang gak mager, Jul," kata seorang laki-laki bertubuh pendek.
"Nadra, gue gak mager kalo disuruh tidur," jawab Julio.
"Yah, emang, Angkatan Dua kerjaannya tidur mulu, kayak si Malik" celetuk Toni sambil menunjuk lelaki tinggi itu.
"Wesss, Ton, lu jangan ngeremehin Angkatan Dua, dong," bela Malik, "cuman karena kita suka tidur pagi bukan berarti kita gembel."
"Yang gembel, tuh, Angkatan Satu. Kayak si Sifari. Masa Mantra tingkat dua aja gak bisa," sambung Julio.
"Heh, kalian itu bisa gak, sih diem?!" bentak seorang perempuan, "Berisik banget, sih?!"
"Yeeehhh, nggak jelas banget sih, lu," kata Julio, "Ton, adek lu, nih!"
"Agatha, udah santai aja ngadepin Julio, mah," kata Toni, "nggak usah dianggep serius. Orang dia aja nggak pernah serius."
"Ih, tapi, dia itu-egghhh" geram Agatha.
"Sabar, Tha," kata perempuan berambut coklat di sebelahnya menepuk pundak Agatha.
"Gimana aku bisa sabar, Sasha?!"
Mereka pun sampai di depan kantor Pak Ares. Toni mengetuk pintu. Ia dan kelompoknya menunggu jawaban dari orang di dalam pintu.
"Masuk!" seru Pak Ares.
Toni membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan bersama kelompoknya. Mereka masuk dengan sembarangan. Bukan dalam barisan rapi.
"Hari ini giliran kelompok saya, kan, Pak?" tanya Toni.
"Coba kamu laporan dengan formal. Seperti kelompoknya Sifari kemarin," kata Pak Ares.
"Hah?! Ternyata beneran, toh?" gumam Toni. "Emmm… gimana caranya, Lik?"
"Lah, nggak tau gue," jawab Malik.
"Gini aja, Ton. 'Kami dari Kelompok Satu melapor untuk misi hari ini', gitu!" kata Nadra.
"Oooh, oke. 'Kami dari Kelompok Satu melapor untuk misi hari ini', gitu kan?" tanya Toni.
"Nah, cakep!" kata Nadra.
"Baik, laporan saya terima. Lain kali dan seterusnya pakai laporan, ya, sebelum memulai misi," kata Pak Ares. "Baik, untuk misi kalian hari ini-"
"Oh, iya, Pak. Ngomong-ngomong," sela Toni, "si Sifari belum balik, ya? Dia mengambil misi kemarin, kan? Misi apa memangnya?"
"Ya, kemarin dia mengambil misi untuk mengantar seorang yang terluka," jawab Pak Ares.
"Cuman nganterin orang lama banget," kata Toni.
"Palingan dia nyasar," kata Julio.
"Nyasar masa sampai seharian?" tanya Agatha.
"Bisa jadi," jawab Sasha, "tapi, untuk orang sekaliber Kak Sifari, memang kurang mungkin, sih."
"Apa kita perlu kesana juga, Pak?" tanya Toni.
"Tidak. Tidak perlu. Masih ada batas waktu sampai besok, kan?" jawab Pak Ares. "Kalau sampai besok mereka belum kembali, baru kita kirim bantuan. Itu pun juga akan dari pihak guru."
"Oke, Pak," tanggap Toni.
Pak Ares menyeruput kopinya. Ia menghela nafas. "Kalian tidak perlu mengkhawatirkan mereka. Saya yakin mereka baik-baik saja berhasil. Saat ini, kalian harus fokus kepada misi kalian."
"Baik!" jawab mereka serempak.
"Kalau begitu, misi kalian untuk hari ini…"
***
Aku dan Raja sedang berbincang di ruang makan. Sambil makan sarapan, aku berusaha untuk menggali informasi. Sebagai Kapten, aku harus selangkah lebih maju dari yang lain. Aku sudah siap dengan membawa buku catatanku. Yah, walau kurang tepat disebut sebagai sarapan, sih. Soalnya sekarang baru jam 4 pagi. Yang lain juga masih tidur. Untungnya, Raja menyanggupi permintaanku ini. Ia menyuguhiku kopi dan mi instan.
"Aku harus memperingatkan kamu," kata Raja, "si Beni itu anak buahnya banyak. Bukan hanya itu mereka juga gila."
"Oke, aku paham," kataku sambil menyuap mi.
"Bukan cuma Roman, masih ada empat orang yang sama kuat dan gilanya seperti dia," lanjut Raja, "Yang pertama, Romo. Penampilan badutnya mungkin konyol, tapi kemampuannya luar biasa gila."
"Seperti apa kemampuannya?" tanyaku.
"Dia sangat jago dalam juggling bola. Bola yang dia pakai juga bukan main-main. Dia pakai bola besi soalnya. Dengan bola besi ini biasanya dia menghukum pekerja yang telat datang," jawab Raja.
Aku mengangguk-angguk sambil mencatatkan informasi itu di catatanku, "Hm, hm, hm."
"Dan…untuk beberapa alasan yang aneh…dia juga bisa naik sepeda roda satu," lanjut Raja.
Aku mengangkat alisku, "Hmmm…menarik,"
"Yang kedua, mereka punya Karla," kata Raja.
"Karla? Dia perempuan?" tanyaku.
"Ya. Dia lumayan cantik, sih. Tapi, dia satu-satunya perempuan yang secara sukarela mau bekerja untuk Beni. Cukup gila menurutku," jawab Raja, "dia sangat ahli dalam akrobat. Makanya, dia sangat lincah. Dia suka menghukum pekerja perempuan yang tidak becus."
Perempuan ahli akrobat, ya. Aku ingin tahu lebih hebat mana antara dia, Agatha, dan Maria. Yah, murid-murid ASTRIS memang banyak yang lincah, sih. Kecuali, aku.
"Kemudian, ada Rembo. Dia ini pawang singa. Dia bisa berkomunikasi dengan singa seakan dia singa juga. Dia bertugas menjaga gudang," kata Raja.
"Dia sendiri? Apakah punya kemampuan?" tanyaku.
"Hmmm… badannya lumayan kekar, sih. Walau tidak sekekar Roman. Tapi, dia lumayan kuat secara fisik. Maksudku, dia menangani seekor singa, kan?" jawab Raja. "Dan yang terakhir, tentu saja Roman. Kau sudah melihat kemampuannya, kan. Dia yang paling kuat secara fisik di antara mereka bertiga. Kemudian, tambahkan Euphoroid ke dalam kemungkinan. Maka, monster kau dapat."
Aku mengangguk-angguk. Menuliskan semua info tadi ke buku catatanku. Menyuapkan mi dan menyeruput kopi ke mulutku. Badut, ahli akrobat, pawang singa, dan orang kuat. Keempatnya seperti berhubungan. Tapi apa ya?
"Oh, ya, satu lagi," kata Raja, "dan dia kalau bisa kau hindari. Jangan coba-coba melawan dia-"
Solari datang dan duduk di sampingku. Rambutnya masih acak-acakan. Mukanya kusut. Matanya mengerjap-ngerjap. Melihat ke sekitar dengan bingung. Aku menyodorkan gelas kopiku kepadanya. Dia menyeruput dengan pelan, kemudian mengembalikan gelas itu kepadaku. Raja mengerutkan dahinya melihat semua ini. Aku hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.
"Jadi, sekarang waktunya, kan, Kapten?" tanya Solari.
"Ya, tapi kalau yang lain masih tidur, sepertinya bukan," jawabku sambil menyeringai.
"Yah, akan butuh beberapa waktu agar mereka bangun," tanggap Solari santai.
Raja bangkit dari kursinya, "Yah, kalian sebaiknya cepat. Karena jam setengah delapan waktunya kerja."
"Yang artinya?" tanya Solari.
"Yang artinya semua orang harus keluar dari rumahnya untuk kerja. Atau dihajar Roman,"jawab Raja. Kemudian dia beranjak dari ruang makan.
"Baiklah, waktunya membangunkan mereka," kataku sambil berdiri dari kursi. "Solari kau bangunkan yang laki-laki. Aku akan membangunkan yang perempuan."
"Kenapa kau yang membangunkan perempuan?" tanya Solari.
"Kenapa enggak?" jawabku sambil menyeringai. "Lagian, aku hanya akan mengetuk pintu kamar mereka saja, kok."
To be continued…