Hari ini adalah hari Minggu, hari untuk bersantai-santai. Kami boleh keluar dari asrama dan bisa keluar kota. Namun aku lebih memilih tetap tinggal di kota Sterlen, untuk menenangkan diri dari kejadian kemarin. Yah, walaupun aku harus menuruti perintah Rogue.
Kemarin kami pulang dengan selamat menggunakan mobil khusus vampir bangsawan milik Rogue. Pada akhirnya, Emile tidak mengikuti kami setelah kami lari.
Selama di mobil, Rogue menceramahiku berbagai hal dan isinya selalu menyalahkanku, karena akulah yang membuat Unit Pemburu Vampir menemukan kami. Satu lagi...
"Kau tahu kan, besok hari Minggu? Ini perintahku, kau tidak boleh keluar kota dan harus beristirahat di asrama. Jam sepuluh pagi, aku ingin berbicara sesuatu denganmu di kafe sebelah sekolah."
Itulah yang dikatakan Rogue kepadaku sebelum kami memasuki asrama. Untungnya ini bukan sekolah seperti SMA. Takkan ada yang tahu jika mereka kehilangan satu orang atau dua orang, juga menganggap hal ini tidak pernah terjadi. Intinya ini adalah sekolah bebas.
Aku tidak tahu Emile sudah pulang atau belum pada malam itu. Sebenarnya aku ingin menunggunya di depan gedung asrama laki-laki, namun Rogue pasti sudah menduga hal itu dan aku pun kembali ke asrama secepatnya.
Hari Minggu benar-benar menenangkan. Selimut tak bisa kulepas dari tubuhku, karena derajat suhu pagi ini adalah 2 celcius. Tidak ada juga hiburan sama sekali di kamar seperti ponsel atau televisi. ... Ponsel ya. Aku jadi teringat ketika aku belum mengenal Rogue. Dia menghampiriku yang sedan dalam perjalanan pulang sekolah, kemudian mematikan ponselku tanpa mengatakan apapun.
TIT TIT TIT. Jam digital di atas meja sebelah ranjangku berdering, menandakan sebentar lagi jam sepuluh.
--Suhu sedingin ini, masa' disuruh ke kafe? Tubuhku sakit semua ini gara-gara kau tahu, Rogue. Yah... sebagian memang kesalahanku sih, meski aku tidak mau mengakuinya.
Dengan terpaksa, aku bangkit dari ranjang. Alarm berisik itu kumatikan secara kasar. Begitu pun dengan selimutku kusingkap dengan kasar.
Setelah selesai bersiap-siap keluar asrama, aku mengunci kamarku terlebih dahulu, kemudian menuruni anak tangga hingga lantai dasar. Kali ini berbeda, aku biasanya menggunakan tangga di sayap kiri, namun untuk kali ini saja aku memakai tangga sayap kanan. Penampilanku tampak tidak karu-karuan, rambut dikuncir satu dan memakai baju dari kemarin malam dilapisi jaket bertudung berwarna coklat.
Beberapa langkah telah kutempuhi banyak dan akhirnya aku mencapai tempat tujuan, kafe sebelah sekolah. Aku tercengang melihat kafe sebagus itu. Kafe Gango, kafe yang cukup besar dengan hiasan bertema musim dingin. Desainnya berbeda dengan kafe-kafe di sekitarnya, seperti memiliki keindahan tersendiri.
Tema musim dingin tentunya penuh dengan warna putih. Sebagai penyambut, di balik pintu putih terdapat boneka salju di sisi-sisi tembok. Benar juga, hari natal baru beberapa hari lalu. Jadi di ruangan ini masih penuh dengan nuansa natal.
Memang agak sedih, waktu itu hari natal yang tak menyenangkan. Gara-gara aku, pesta natalku dengan Rei berantakan. Dua vampir menyusup dan menangkapku, dan Rei tampak marah sekali hanya karena tidak bisa menyelamatkanku. Terakhir kali aku melihat Rei, Rei hanya bisa meneriaki namaku berkali-kali dengan wajah penuh terluka dan menyesal. Aku berpikir, apa dia sedang merasakan kesepian saat ini?
Pikiranku tersebut menghilang begitu saja ketika aku akhirnya menemukan meja kosong di ujung kafe. Jam sepuluh pagi adalah waktu dimana kafe penuh, namun keberuntungan berpihak kepadaku sehingga ada meja yang benar-benar kosong.
Dua sofa saling berhadapan dan diantaranya terdapat meja berbentuk persegi panjang. Aku memilih duduk di sofa menghadap pintu masuk. Jika Rogue datang, aku bisa memarahinya. Menyuruh orang datang kesini tepat waktu, tetapi dirinya telambat, itu mengesalkan bukan?
Selagi menunggu kedatangan Rogue, aku membaca buku menu. Suara langkah mendekat dan dugaanku yang mendekat adalah seorang pelayan. Itu salah, ketika aku mengangkat wajah, mataku tidak sengaja beradu pandang dengannya. Dia adalah lelaki berambut coklat muda dan mata berwarna hijau yang pernah kutinggalkan di kota Drimsville kemarin.
"Emile..." Kuletakkan buku menu itu di atas meja. Mataku tidak bisa berhenti memandang Emile.
"Aku ingin berbicara sesuatu denganmu, Alice."
Keseriusan Emile tertampak di wajahnya. Dugaanku, dia penasaran dengan kejadian kemarin, sampai melibatkan Unit Pemburu Vampir.
Namun mulutku tidak bisa mengeluarkan suara sehingga kami hanya terdiam di tempat masing-masing.
*****
Alasan keterlambatan Rogue tidak diketahui Alice. Itu disengaja, karena alasannya benar-benar rahasia, berhubungan dengan leluhur vampir terbesar dan keluarga bangsawan vampir.
Rogue punya janjian untuk berkomunikasi dengan seorang vampir lewat hologram komunikasi. Setiap leluhur vampir memang harus punya hologram komunikasi agar bisa menghubungi satu sama lain. Biasanya terpasang di kamar sendiri.
Namun vampir yang akan berkomunikasi dengannya adalah keluarganya sendiri yang paling dibenci. Seorang kakak laki-laki yang memiliki gelar leluhur juga.
"Sudah lewat jam sepuluh." Rogue menatap jam digital di atas meja dengan kesal.
Setelah bergumam kesal, tiba-tiba muncul hologram komunikasi di depannya langsung seolah membaca hati Rogue. Hologram tersebut memunculkan gambar sosok seorang laki-laki berambut coklat tua duduk di atas sofa merah dengan kaki menyilang. Rogue benar-benar membenci penampilan vampir itu, berlagak keren dan berkuasa.
"Hai, adik tercintaku. Berapa lama kau menungguku?"
Tak ada jawaban apapun dari mulut Rogue. Wajah marah dipendam tidak pernah ditunjukkannya kecuali pada vampir ini.
Nama vampir itu Senio Luc, vampir Leluhur Keempat. Anak tertua dari keluarga Luc, dengan kata lain kakak laki-laki Rogue. Tidak seperti Rogue, Senio tidak pernah bersekolah di sekolah militer vampir. Menurut Senio, bersekolah militer vampir membuat harga dirinya jatuh sebagai Leluhur Keempat.
"Hentikan kata-kata menjijikkan itu. Kau bukan kakakku, Senio."
Pengakuan sang adik selalu ada setiap berkomunikasi dengan sang kakak. Biasanya Senio hanya membalasnya dengan tertawa kecil.
"Kuakui leluconmu selalu tidak lucu tahu." Tawaan kecil itu berubah menjadi pembicaraan yang serius. "Terus, bagaimana? Sudah 100 tahun kau bersekolah di Sterlen of Boarding School kan? Aku dapat laporan dari sekolahmu itu. Apa benar, kau melarikan diri dari garis depan dan melewati batas vampir?"
Tatapan intimidasi dari Senio tidak membuat Rogue goyah. Rogue masih berwajah dingin dan menjawabnya dengan tenang.
"Iya."
Senio pun tersenyum masam setelah mendecak kesal. "Kau benar-benar tidak merasa berdosa ya. Ini artinya kau mempermalukan nama keluarga Luc dan gelarmu juga. Tidak, daridulu kau memang sudah mempermalukan dirimu. Memohon kepada Leluhur Kedua hanya untuk menyelamatkan orang tercintamu dan lebih memilih untuk menunggu orang 'itu' kembali kepadamu daripada melaksanakan tugas leluhur. Itu memang sudah takdirnya, tapi kenapa kau tidak merelakannya? Itu hanya keegoisanmu, sejak hari itu!" Senio menekankan suaranya di kalimat terakhir.
Respon Rogue kali ini berbeda, dia sangat terkejut bahwa Senio mengetahui hal 'itu'. Mulutnya yang gemetaran berusaha mengeluarkan suara keras.
"Memangnya kau tahu perasaanku saat itu seperti apa? Leluhur itu... benar-benar kejam!" Rogue pun ngos-ngosan setelah selesai berbicara, akibat mengerahkan seluruh kekuatan dan perasaannya melalui mulutnya.
Selama ini Rogue tidak pernah mengutarakan isi perasaannya tentang hal yang lalu. Pernyataan Rogue itu fakta, Leluhur Terbesar saat itu...
"Iya, iya, aku mengerti. Ternyata memang sia-sia ya, mengingatmu terus." Senyum Senio kembali seperti semula.
"Hei, Rogue. Ingatlah, 'Darah Suci' bukan milikmu saja. Jika kau menemukannya, langsung serahkan kepada Leluhur Terbesar. Jika tidak..." Ia memicingkan mata. "..."
Kalimat setelahnya terdengar samar-samar, namun Rogue bisa mendengarnya dengan jelas. Itu adalah kalimat yang takkan pernah terjadi lagi di kehidupannya. Pasti dan juga tidak boleh terlupakan.
Cahaya hologram hilang dalam sekejap. Rogue kembali tenang. Dia langsung merebahkan diri di atas kasur. Dalam pandangannya hanya ada langit-langit kamar berwana putih suci, satu bohlam lampu berada di tengah-tengah. Situasi menegangkan tadi telah memunculkan kelegaan di dalam hatinya.
"Kau masih aman, Alice", gumamnya.
*****
"Silakan."
Si pelayan perempuan meletakkan dua minuman berupa kopi secara berturut-turut di depan kami masing-masing. Ia langsung menjauh dari meja kami setelah membungkukkan badan.
Ketegangan memenuhi sekitar kami. Sebenarnya hanya aku yang merasa begitu. Di hadapanku, Emile meminum kopi degan tenang. Tak ada tanda-tanda dia marah soal kemarin. Meski begitu, aku harus mengatakan permintaan maaf dari hatiku yang paling dalam.
"Emile, maaf yang kemarin. Aku telah meninggalkanmu sendirian dan aku malah terkepung Unit Pemburu Vampir." Suaraku samar-samar terdengar serak. Aku menatapnya dalam-dalam agar terlihat meyakinkan permintaan maaf ini.
Mendengar aku telah memulai pembicaraan dengan permintaan maaf, Emile berhenti meneguk air kopi yang tinggal setengah, kemudian cangkir berisi kopi itu diletakkan di atas meja tepat di depannya.
Beberapa saat ia terdiam, lalu hanya menunjukkan senyum kecilnya.
"Tidak usah minta maaf. Aku takkan marah tentang kemarin. Tapi aku akan marah jika kemarin kau sudah tertangkap oleh manusia."
Aku masih kurang puas dengan balasan dari Emile. "Lalu kenapa kau lebih mementingkan nyawaku? Aku ini juga vampir, tidak mudah mati di tangan manusia." Aku lebih menatapnya dengan serius.
Senyuman kecilnya makin memudar berubah menjadi wajah kesedihan. Emile yang kukenal biasanya suka tersenyum kepadaku, namun Emile yang berada di hadapanku seperti orang lain.
"Benar juga, aku memang selalu begini. Tapi, Alice, aku menganggapmu sesuatu yang paling berharga bagiku. Jika aku tidak melindungimu, maka hal yang buruk terjadi lagi di depanku, seperti keluargaku. Aku hanya memiliki adik perempuan. Dia menyayangiku, tapi aku malah membencinya. Aku merasa tidak perlu melindunginya, karena dia pasti bisa melindungi diri sendiri tanpaku dan itulah hal yang paling kusesalkan. Dia mati di tangan Unit Pembasmi Vampir tanpa kuketahui. Mungkin itulah alasan aku tidak marah kepadamu."
Adik perempuan? Sekilas aku bisa merasakan kesepiannya Rei, hampir persis dengan Emile. Ternyata pemikiranku salah, vampir juga bisa mati. Aku turut berduka atas kematian adik perempuan Emile.
"Emily Clerid. Itu nama adikku." Kalimat selanjutnya terasa berat dilontarkan. Emile perlu menghembuskan napas dalam-dalam. "Sebenarnya dia bukan adik kandungku. Dia adalah 'Darah Suci'."
Aku tercengang. Pernyataan Emile di luar dugaan. Emily Clerid wajar saja terbunuh, karena dia adalah manusia. Namun untuk apa Emile berpura-pura menjadi kakaknya kalau membencinya? Ini pasti seperti Rogue, ada suatu alasan mengontrak 'Darah Suci'.
Emile menjawab pertanyaanku yang ada di dalam benakku. "'Darah Suci' bisa menghilangkan kutukan. Daridulu aku tidak berani menghisap darah Emily, padahal aku punya kutukan berupa tidak bisa mengeluarkan sihir. Aku menundanya hingga dia mati."
Aku semakin takut bertanya selanjutnya. "Apa sampai sekarang kau masih mencari 'Darah Suci'?" Aku mengepalkan tangan erat-erat. Semoga jawabannya sesuai harapan.
Tatapan lurus Emile meyakinkan jawabannya. "Tentu saja. Ini demi kau, Alice. Jika sihirku kembali, aku bisa melindungimu dengan percaya diri."
Senyuman Emile penuh arti dan hanya tertuju kepadaku. Aku tidak bisa membantah harapannya. Dia ingin segera menangkap 'Darah Suci' demi aku, namun nyatanya 'Darah Suci' adalah aku. Itu sangat menyedihkan ketika suatu saat Emile sudah mengetahui kebenarannya.
Di situasi seperti ini, tidak memungkinkan aku mengatakan, "Aku adalah 'Darah Suci'". Jika aku melakukannya, Rogue bakal memarahiku. Satu-satunya cara untuk membalas kebaikannya adalah...
"Makasih, Emile. Berusahalah juga demi adikmu." Aku menampakkan senyuman penuh kebohongan.
Pembicaraan penting pun selesai, dilanjutkan menghabiskan secangkir kopi. Sekitar 15 menit, kopi itu dibiarkan dan menjadi dingin. Rasa pahit di lidahku bertambah. Hanya butuh waktu sebentar untuk menghabiskan kopi. Setelah kami membayar semua yang kami pesan, kami segera meninggalkan kafe Gango dan kembali menuju sekolah kami, Sterlen of Boarding School.
Aku dan Emile berjalan berdampingan dengan tenang. Sudah tidak ada masalah lagi yang dipendam. Namun sepertinya kurang satu...
"Hei, Alice. Sekarang masih jam setengah 12 lho. Apa kau tidak mau ke suatu tempat?", tanya Emile sambil menoleh kepadaku.
Aku sempat memutar bola mata untuk berpikir. Suara Rogue kembali berdengung di telingaku sekarang.
"Ng... tidak usah deh. Tubuhku masih capek akibat kemarin. Lagipula nanti aku bisa dimarahi Rogue." Aku juga ikut menoleh ke Emile sehingga mata kami saling bertemu.
Emile menaikkan alis. Ia heran dengan isi jawabanku.
"Rogue? Jangan-jangan vampir bangsawan yang menggendongmu kemarin?"
Aku juga ikut terheran.
--Lho? Emile tidak tahu Rogue? Rogue kan Leluhur Kelima. Masa' tidak tahu?
"Iya. Kau tidak tahu? Dia itu Leluhur Kelima lho."
Emile terdiam seketika seolah terkejut. Setelah itu, dia tidak bertanya lagi dan kembali memperhatikan langkahnya. Mengapa dia terkejut ya? Aku tidak begitu ingin tahu, namun jika menyangkut Rogue tidak diketahui oleh vampir ini... benar-benar aneh.
Gerbang sekolah sudah tidak jauh lagi. Gerbang sekolah serba putih itu tertampak begitu kami tinggal satu langkah lagi. Semakin dekat dengan gerbang masuk, mulai terlihat jelas di sekitarnya. Di depan sana terdapat sosok vampir berambut pirang bersandar ke tembok putih tinggi, seperti sedang menunggu seseorang. Ya, aku tahu orang yang sedang ditungguinya.
Aku pun berhenti melangkah tepat di depannya, diikuti Emile yang hanya bingung dengan perilakuku.
"Kenapa kau malah menungguku disini, Rogue?", tanyaku sambil menatapnya tajam, meski mata kami tidak saling bertemu.
Rogue bergaya sok sedang menunggu seseorang dengan menyilangkan tangan seraya mengacuhkan tatapan dariku.
"Yang seperti kau tahu, aku ini sibuk dengan urusan para leluhur bodoh itu." Seperti biasa, Rogue berkata dengan tenang. Kemudian ia menegakkan badan. "Seharusnya aku yang tanya kepadamu. Kenapa kau lama sekali disana?"
Aku pun menunjukkan Emile yang berada di belakangku dengan jari jempolku, sebagai alasan yang nyata. Emile benar-benar tampak kebingungan, maka dia terdiam sebentar dulu.
"Kebetulan aku bertemu dengan Emile dan kami membicarakainsiden kemarin."
Emile pun selangkah lebih maju dariku, bersikap yang layak untuk Leluhur Terbesar. Tanpa ragu, dia mengulurkan tangan kepada Rogue.
"Maaf atas tidak kesopanan saya. Namaku Emile Clerid. Untuk sementara, izinkan saya untuk menjadi partner Alice." Emile memperkenalkan diri tanpa melewatkan tersenyum sedikitpun.
Aku memperhatikan sikap Rogue. Di saat itulah aku mendapatkan firasat buruk, ketika aku menatap wajahnya. Wajah Rogue memang tidak menunjukkan rasa benci terhadap Emile, namun aku bisa merasakan hawa-hawa di sekitarnya.
Rogue langsung menjabat tangannya tanpa pikir panjang, untuk membalas perizinannya.
"Boleh saja. Asal jangan sampai kau menyeret Alice ke dalam situasi berbahaya. Kau juga..." Rogue memberi jeda kalimat selanjutnya.
Waktu sedikit itu disempatkan untuk melepaskan jabatan tangan. Emile semakin penasaran dengan kalimat Rogue selanjutnya, tertulis jelas di wajahnya.
"Apa?"
"Kau jangan bersikap formal kepadaku. Aku tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu, apalagi mendapatkan gelar 'Leluhur Kelima'", lanjutnya sambil mengalihkan pandangan dari Emile.
Suasana sunyi hanya sebentar, dari akhir suara Rogue. Aku sama sekali tidak bisa mendengar percakapan mereka, jadi aku hanya berdiam diri di belakang Emile.
Emile pun tertawa pelan. Ia membisikkan sesuatu, seperti sesuatu yang rahasia. Cukup panjang mengucapkan beberapa kalimat, lalu menepuk bahu Rogue bersamaan membalikkan badan ke arah gerbang masuk.
"Tunggu, Emile. Kau mau kemana?", tanyaku setelah Emile melepaskan tangannya dari bahu Rogue dilanjutkan melangkah melewati batas masuk ke sekolah.
Emile masih melanjutkan melangkah seraya menjawab pertanyaanku dengan sedikit ragu, namun tetap tersenyum. "Mungkin... latihan sendiri?"
Tak lama, Emile sudah meninggalkan kami berdua di depan gerbang masuk. Kami memandang kepergian Emile yang makin mengecil hingga tak terlihat lagi. Masih saja aku terheran dengan sikap Emile barusan. Cukup aneh.
"Huh, Emile kenapa ya?" Aku mengeluh tanpa ada rasa usaha. Yah... meski ada usaha tetap sama saja, tidak ada hasil.
Ketika aku ingin memanggil Rogue, ternyata dia juga bersikap aneh. Dia masih memandang jejak terakhirnya Emile. Aku makin penasaran, apa yang mereka bicarakan tadi?
--Kalau begitu, boleh kan aku berusaha mengambil Alice darimu? Dari awal kita bertemu, aku tahu kita adalah saingan.
Rogue mencerna ucapan Emile yang penuh dengan misteri. Apa dia tahu bahwa Alice adalah 'Darah Suci'?
"Hei, Rogue. Kau tidak mau balik?" Pertanyaanku membuyar isi pikiran Rogue yang tidak kuketahui.
Rogue sedikit terkejut dan langsung mengalihkan pandangan dariku. Sikap datarnya mulai memudar dari wajahnya. Cukup dari itu, aku tahu Rogue menyembunyikan sesuatu lagi dariku.
"Terserah kau. Aku akan mengikutimu."
Jawabannya pasti selalu begitu, dengan meninggikan suara. Kemungkinan besar, dia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu yang benar-benar aku tidak boleh mengetahuinya. Terutama... alasannya terhadap kebenciannya kepada Leluhur Terbesar.