Sebagai koordinator divisi pertahanan, Micha sangat sibuk kesana-sini untuk menghadiri rapat antar koordinator per divisi. Di dalam rencana mereka, setelah ujian kenaikan kelas di akhir bulan Januari akan terjadi perang antar vampir dan manusia. Diperkirakan perang dimulai di kota Chlor, kawasan manusia.
Mendekat jam 12 siang, barulah Micha bebas dari rapat. Untuk istirahat, dia akan ke ruang divisi pertahanan. Jarak ruang rapat ke ruang divisi pertahanan sangatlah jauh. Dari ujung lantai satu ke ujung lantai dua, bukankah itu cukup jauh?
Ketika sudah menginjak lantai dua, tinggal berjalan beberapa langkah lagi hingga sampai ke tempat tujuan. Di tengah perjalanan, Micha mendapatkan sosok sepasang gadis dengan lelaki berjalan kemari. Makin dekat, makin terlihat jelas sosok mereka. Micha sangat mengenal sosok mereka. Dua rekan yang paling dekat dengannya, Carl dan Silver telah menyadari kehadiran Micha dari kejauhan.
"Hai, Micha!" Carl melambaikan tangan dengan wajah berseri-seri.
Tiga vampir itu saling berpapasan. Hari ini Micha tampak lelah sekali di mata Silver dan kebiasaan Silver yang paling dibenci Micha adalah mengejek terang-terangan saat kelelahannya meningkat.
"Kartu as yang selalu perfek ternyata juga bisa kelelahan ya." Ejekan yang selalu keluar dari mulut Silver. Namun Micha tak mau kalah.
"Sekali lagi kau mengejekku, akan kulaporkan perbuatanmu agar kau angkat kaki dari sini." Micha menatap tajam Silver, seakan ingin membunuhnya.
Selama ini Silver tidak pernah takut ancaman dari Micha yang setiap hari didengarnya. Bagi Silver, tidak mungkin Micha mengeluarkan Silver semudah itu, karena Silver satu-satunya yang hanya bisa diandalkan oleh Micha.
Silver terkekeh.
"Terus..." Carl mengalihkan pembicaraan. "Micha, kau mau balik? Sekarang kami sedang menuju ruang makan."
Micha berpikir sejenak sambil menggumam. "Aku ikut saja kalian setelah ini. Ada yang ingin kudiskusikan tentang perempuan dari kelas E bernama Alice itu." Wajah Micha berubah drastis menjadi serius sekali.
Carl dan Silver juga ikut serius dengan anggukan berganti satu sama lain.
Waktu berdiskusi telah tiba. Balik ke ruang divisi pertahanan untuk menaruh file berisi hasil rapat, lalu ke ruang makan bersama Carl dan Silver, dan lalu menyantap makanan dan minuman yang telah disediakan khusus keluarga bangsawan kelas tengah, terutama minuman yang berupa darah segar itu. Tak terlalu lama dari itu, Carl dan Silver sudah siap untuk menyimak gagasan Micha dahulu.
"Sebenarnya aku berpikir, perempuan yang datang tadi adalah 'Darah Suci'. Apa kalian berpikir begitu juga?"
Kedua rekannya mengangguk secara bersamaan, tanpa berkomentar dulu. Sejak awal, mereka memang ingin tutup mulut dulu, agar bisa mengerti setiap kata yang diucapkannya.
"Bukan hanya 'Darah Suci'. Sepertinya dia dekat sekali dengan Emile Clerid, dengan arti lain dia pasti juga kuat. Kekuatannya pasti hampir setara dengan Emile Clerid. Aku tidak tahu apa yang mereka rencanakan, tapi bisa jadi mereka kebetulan ingin masuk ke divisi yang kukontrol. Dan satu masalahnya, aku adalah lawan Emile Clerid besok. Jadi menurut kalian, apa yang harus kulakukan kepada mereka?"
Carl mengangkat satu tangan sebagai isyarat izin diperbolehkannya berbicara sebentar.
"Aku memang berpikir dia adalah 'Darah Suci'. Tapi satu bukti paling kuat 'Darah Suci' tidak ada darinya."
Kedua rekannya dari sisi depan dan sebelah terlalu memperhatikannya. Mereka sama-sama mengangkat alis.
"Bukannya tadi kau sudah menyebutnya dan semuanya hampir persis?"
Carl menggelengkan kepala. "Kurang satu lagi. Semua manusia memiliki bau darah yang sama, kecuali satu, 'Darah Suci'. Baunya sangat menusuk dan di dalam darahnya, terdapat semua jenis sihir dari Leluhur Kedua."
Suasana menjadi hening sesaat setelah Carl selesai berbicara. Ternyata satu bukti utama 'Darah Suci' terlupakan dan memang tidak ada setelah diingat-ingat.
Micha pun patah semangat dalam menggali informasi 'Darah Suci'. Tetapi Silver tidak, dia jauh lebih berapi-api dibanding Micha. Tekadnya belum goyah dan pemikirannya masih tetap sama, gadis bernama Alice adalah 'Darah Suci'. Karena Silver lah satu-satunya yang paling membenci keberadaan 'Darah Suci'.
Berawal dari Sieg, mantan rekan mereka meninggalkan sebuah perintah untuk mereka berupa menangkap 'Darah Suci', hingga sikap Micha berubah drastis. Keramahannya sudah tidak pernah muncul lagi dan berubah menjadi dingin. Maka itu, Silver bukan hanya membenci 'Darah Suci', dia juga sangat membenci Sieg yang paling dekat dengan Micha, tetapi pada akhirnya ia meninggalkannya. Kepergian Sieg lah yang membuat Micha selalu berpikir 'harus kuat' darinya.
Untuk mengalihkan keheningan, Silver langsung berdiri sambil menghentakkan meja makan dengan keras. Tentunya Micha dan Carl terkejut bersamaan dan spontan perhatian mereka tertuju ke Silver.
"Micha." Silver menatap lekat-lekat kedua mata Micha. "Untuk menjadi kuat, kau harus mempunyai pendirian yang kuat. Jika kau benar-benar ingin menangkap 'Darah Suci' demi menjadi lebih kuat dari Sieg, kepercayaanmu jangan sampai menurun."
Silver menarik napas dalam-dalam. Rasa ketegangan di tubuh pun hilang. Kemudian ia mengacungkan jari telunjuk mengarah ke Micha serta mengeraskan suara.
"Jadi, aku punya satu perintah untukmu. Aku yang lebih rendah darimu memang tidak pantas seperti ini, tapi ini semua agar rencanamu berjalan lancar." Ia menarik napas sekali lagi. "Micha, kuperintahkan kau untuk mematai perempuan bernama Alice itu!"
Kini wajah Micha jauh lebih terkejut. Tak disangka, Silver berani memerintahnya. Padahal selama ini dia tampak takut dengan vampir-vampir yang berada di atasnya. Tapi... kenapa harus mematai vampir yang dicurigai 'Darah Suci' yang akhirnya mustahil juga? Sudah jelas satu bukti penting tidak ada, berarti tidak ada kemungkinan bahwa dia adalah 'Darah Suci' kan?
Puluhan pertanyaan melayang di atas kepala Micha.
"Ka..." Satu demi satu kata perlahan keluar dari mulut Micha. "Kau tidak berhak untuk memerintahku. Lagipula yang kita curigai itu salah."
Bantahan itu tidak diterima. Silver menyibak jari telunjuk yang diacungkannya tadi.
"Siapa yang bilang aku tidak berhak memerintahmu? Di jalur kelahiran, kita hampir sejajar dalam keluarga bangsawan kelas tengah bukan?" Ia pun mengganti topik. "Lalu, asal kau tahu saja ya. Bau 'Darah Suci' bisa disegel tahu."
"Bisa disegel?!" Tanpa disadari, Micha dan Carl mengucapkannya secara bersamaan.
"Nah, sekarang kau terserah mau percaya atau tidak. Jadi, apakah kau mau melaksanakan perintahku, hanya sekali ini saja?" Silver menawarkannya sambil mengulurkan tangan kepada Micha.
Micha menundukkan kepala dalam-dalam. Ia bimbang, apa yang harus dia percaya? Yang dia inginkan hanyalah 'Darah Suci' dan rekan yang paling ia percayai sudah membantu memecahkan teka-tekinya. Seharusnya sebagai rekan yang paling mempercayainya mengikuti apa yang dikatakannya. Silver juga bilang, "Hanya sekali ini saja."
Setelah membulatkan tekad, Micha mengangkat wajah yang berubah menjadi serius.
"Baik. Aku akan melaksanakan perintahmu, Silver. Mematai tersangka 'Darah Suci', Alice."
Sebagai tanda melaksanakan perintah, Micha menerima uluran tangan Silver. Mata mereka saling beradu, yang penuh kepercayaan.
*****
"Hm... Alice lama sekali ya."
Sejam yang lalu, Emile dan Alice berpisah di lantai tiga. Alice menyuruh Emile ke lantai satu duluan, karena ia ingin mengumpulkan formulir di ruang divisi pertahanan. Emile mengira Alice hanya mengumpulkan formulir kemudian langsung menyusulnya, ternyata tidak. Menunggunya sepertinya percuma, apalagi mencarinya di ruang divisi pertahanan. Belum tentu Alice masih di ruang divisi pertahanan.
Dua tiang lampu di depan gedung markas pelatihan, salah satunya dijadikan sandaran oleh Emile. Ia membuang napas berkali-kali, hingga tidak sadar Leluhur Kelima sudah ada di depannya.
"Hei, kau mendengarku tidak?"
Nada dingin seperti biasanya, maka Emile sama sekali tidak terkejut. Sosok yang dijadikan saingan, yang membuat Emile selalu menghindar bertemu dengannya. Namun saat ini ia sedang lengah dan Leluhur Kelima itu akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bisa berbicara dengan Emile.
"Ah... kau ya, Rogue? Sudah lama tidak melihatmu sejak seminggu lalu." Emile tersenyum tipis agar terlihat nyata ucapannya.
Bukannya membalas ucapan Emile, ia celingak-celinguk di sekitar vampir di depannya, seperti mencari sesuatu, barulah dia bersuara.
"Aku juga sudah seminggu tidak bertemu Alice. Jadi, mana Alice sekarang?" Rogue menyatakan sekaligus bertanya dengan wajah datar.
Benar-benar tanpa berdosa, begitu pikir Emile. Sudah susah-susah menyapanya dengan baik, malah seolah-olah dianggap tidak ada. Dia masih bisa menahan kekesalannya, dengan mengacuhkan tatapan mata lawan bicaranya.
"Entahlah. Aku berdiri disini karena tadi dia bilang ingin menyusulku di depan gedung. Tapi, entah kenapa sampai sekarang, dia masih belum datang."
"Hm..." Setelah bergumam panjang, Rogue terdiam dan masih berdiri di depan Emile.
Sepertinya dia juga ingin menunggu Alice. Karena mungkin masih lama Alice akan datang, Rogue pindah posisi berdiri di sebelah Emile.
Sama saja seperti tadi, suasananya membosankan. Untuk mengganti suasana, Emile memulai pembicaraan selagi ada yang bisa diajak berbicara. Sebelumnya, ia berdeham dan memasukkan tangan ke saku celana dahulu.
"Hei. Sejak kapan kau kenal Alice?" Pertanyaan yang spontan dilontarkan oleh Emile adalah hal yang memalukan. Namun Emile benar-benar mengharapkan jawaban dari Rogue sampai menatapnya dalam-dalam.
"Hm... Mungkin sudah lama?"
Tidak sesuai harapan, jawaban Rogue tidak begitu meyakinkan. Itulah yang terjadi, karena Rogue memang tertutup.
"Begitu ya..." Lagi-lagi Emile membuang napas yang jauh lebih panjang. "Aku sudah tahu jawabannya kok. Soalnya hubunganmu dengan Alice benar-benar tertutup. Jadi kau tak perlu menjawab pertanyaanku lagi."
--... Membosankan lagi. Meski ada yang bisa diajak ngobrol, dia itu tertutup. Ditanya paksa pun, dia tidak akan pernah menjawab dengan jujur.
Namanya kawasan vampir, tidak ada matahari sama sekali. Terkadang di siang hari seperti ini, langit agak cerah meski seperti mendung. Di bawah langit mendung itu, ada dua vampir yang sedang berdiri sedaritadi dengan saling terdiam, hanya untuk menunggu Alice, gadis yang membuat mereka bersaing.
--Waktuku untuk latihan terbuang percuma. Apa lebih baik aku mencarinya ya? Lagipula besok aku harus bertarung dengan kartu as.
Emile bimbang dan memikirkannya baik-baik. Mengingat besok ada pertarungan, alangkah baiknya mencari Alice dulu agar waktu latihan tidak terbuang banyak. Setelah ia merasa mengambil keputusan yang tepat, ia melangkah ke arah yang berlawanan dengan Rogue tanpa kalimat, "Aku pergi dulu ya."
Tetapi langkahnya terhenti ketika Rogue bersuara untuk bertanya setelah lamanya diajak bercakap dengan Emile.
"Kau dan Alice berencana masuk divisi pertahanan ya?"
Posisi berdiri yang masih sama, Rogue bertanya seolah-olah dia tahu semua yang ingin disembunyikan Emile.
Emile langsung menegakkan badan. Ia tidak berani bicara empat mata dengan vampir yang serba tahu ini, jadi dia mematung di tempat.
Suara bergetarnya bertanya balik. "Dari mana kau tahu?"
"Yah... Ini hanya instingku sih." Diam-diam Rogue melirik Emile untuk melihat reaksinya. "Seharusnya kau mencari informasi tentang divisi pertahanan dulu. Alice kan tidak tahu apa-apa, makanya dia sudah mengalami sesuatu yang tak harus dialaminya."
Belum selesai berbicara, Emile sudah berdiri tepat di depan Rogue dengan jarak yang tak seberapa. Lalu ditarik kerah seragam Rogue secara kasar.
"Apa yang terjadi dengan Alice?!"
Emosi meluap secara tak sadar. Suaranya pun seperti seluruh penghuni di kawasan Sterlen Boarding School bisa mendengarnya.
Di situasi apapun, Rogue selalu bersikap tenang. Pada saat itu juga, hal baru terlintas di dalam benak Emile. Apakah semua Leluhur Terbesar memang tidak pernah takut dengan apapun?
"Tenanglah, Emile. Kalau begitu, aku akan memberitahumu sesuatu."
Tidak lama, setelah Emile agak tenang, Rogue melanjutkan kalimatnya. "Micha Liliane, yang akan menjadi lawanmu besok adalah koordinator divisi pertahanan. Jadi, kau tahu maksudku kan?"
Cengkeraman di kerah seragam Rogue makin erat. Pernyataan Rogue berada di luar dugaan bagi Emile. Emile sudah tahu bahwa Micha juga masuk divisi pertahanan dari dulu, namun ia tidak menyangka bahwa Micha adalah koordinator divisi pertahanan.
Mulut Emile ingin mengeluarkan suara, tapi hanya bergerak tanpa muncul suara. Ia ragu. Yang ingin dikatakannya adalah sebuah permintaan. Tidak pantas vampir rendahan meminta sesuatu kepada Leluhur Terbesar.
--Begitu ya. Alice belum datang sampai sekarang karena Micha Liliane pasti mencegatnya. Pasti dia ingin mencari kelemahanku dari Alice.
Menyangkut Alice, Emile akan selalu serius. Seperti yang dikatakannya di pertemuan pertamanya dengan Alice, satu-satunya gadis yang bisa diajak bicara dan ia ingin melindunginya, meski Alice tidak dengar kalimat terakhir Emile yang berbisik. Seakan melindungi Alice adalah kewajiban Emile.
Setelah menetapkan hati dengan benar, Emile menunjukkan keseriusannya di depan Rogue, dengan kedua tangan masih mencengkeram kerah seragamnya.
"Rogue, aku memang tidak sopan terhadapmu, tapi aku tidak akan pernah minta maaf kepadamu. Maka itu, aku memintamu untuk mencari Alice bersamaku."
Wajah Emile yang penuh dengan harapan tidak membuat Rogue langsung turut. Meski demikian, Rogue sendiri juga tidak ingin membiarkan Alice dimanfaatkan begitu saja.
Sikap tenang yang dimiliki Rogue tidak ada perubahan. Dengan itu, ia membalas, "Terserah kamu."
Emile pun tersenyum tipis setelah melepas cengkeramannya dari kerah seragam Rogue. Isyarat tangan dari Emile bertanda menyuruh Rogue mengikutinya, lalu si pengisyarat melangkah duluan menuju pintu masuk gedung markas pelatihan.
Di tempat berdiri yang masih sama, Rogue hanya membuang napas panjang dan menatap heran Emile.
"Dia sudah berani memerintahku ya. Pengaruh Alice hebat juga."
Rogue mulai melangkah mengikuti jejak Emile di belakang. Selama pencarian Alice, Emile terus melangkah maju tanpa menoleh ke belakang. Entah apa yang dirasakannya, Alice hanyalah partnernya. Apakah perasaan itu... bukan sekedar partner? Cepat atau lambat, Emile pasti akan menyadari perasaan itu.