Chereads / Kouri no Kioku (Ice Memories) / Chapter 4 - Emile Clerid - Part 2

Chapter 4 - Emile Clerid - Part 2

Dari siang hingga sore, kami berdua, aku dan Emile hanya mengelilingi gedung markas pelatihan. Kami akan memulai latihan pada esok hari.

Ketika kami berada di lantai dua, tak sengaja kami melewati ruang kelas S. Kulirik ke dalam kelas tersebut diam-diam, tidak ada sosok Rogue. Aku mencarinya lebih dalam, tetap saja hasilnya nihil. Apa Rogue sudah pulang sebelum kelas usai?

"Alice, kau sedang apa? Cari seseorang?" Suara Emile mengejutkanku yang sedang berusaha melihat isi ruang kelas S.

Aku langsung berbalik badan, tidak memedulikan apa yang baru kulakukan dengan berjalan lebih awal daripada Emile.

"Tidak apa-apa. Ayo pergi lagi."

Hingga akhirnya, aku baru ke kamar ketika menjelang malam. Keadaanku sudah benar-benar lelah, sedaritadi kusembunyikan kelelahanku dari Emile hanya untuk menyembunyikan identitasku.

Sebentar lagi aku akan sampai ke kamarku. Dari kejauhan sudah terlihat daun pintu kamarku, juga seseorang.

'Seseorang'? Aku menypitkan mata, sosok tersebut makin terlihat jelas. Aku berjalan mendekat, sosok tersebut sangat terlihat jelas daripada tadi.

"Kau menungguku daritadi?", tanyaku setelah sampai tepat di depan kamarku.

Di sebelah pintu kamar, disanalah Rogue menungguku sambil bersandar di dinding dan melipat kedua tangan.

"Tidak, aku hanya ingin berbicara sesuatu denganmu." Rogue menegakkan badannya, kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum memulai pembicaraan.

Perasaanku terasa tidak enak sejak melihat tatapan Rogueyang serius sekali dari awal bertemu disini. Aku pun juga memasang wajah serius seraya bertanya, "Apa yang mau dibicarakan?"

Keadaan hening sesaat, menjadi menegangkan bagiku. Kemudian Rogue mengeluarkan suara yang memecahkan keheningan.

"Alice, siapa orang yang bersamamu tadi?"

Ya, perasaanku benar. Inilah yang membuat perasaanku tidak enak daritadi. Aku yakin pasti dia bakal marah kepadaku karena tidak izin bersama seorang vampir.

Bibirku bergemetaran sehingga suara yang kukeluarkan terdengar terbata-bata. "Di...Dia teman sekelasku yang tadi pagi menolongku. Untuk membalas budi kepadanya, aku harus menjadi partnernya. Namanya... Emile Clerid." Lalu aku menelan ludah untuk menghilangkan rasa ketegangan.

Aku kembali menatap Rogue, ternyata dia hanya menatapku datar serta menganggukkan kepala berkali-kali. Kalau dia tidak marah, untuk apa dia menanyakan tentang Emile?

Rogue berjalan satu langkah sejenak, berhenti tepat di sebelahku dengan arah yang berlawanan. Ia membisikkan sesuatu.

"Jaga dirimu baik-baik dari dia, Alice." Lalu dia melanjutkan melangkah lagi hingga sosoknya tidak terlihat lagi di mataku.

Aku hanya terdiam mematung di tempat yang sama. Melihat dari wajahnya, sebenarnya Rogue menungguku daritadi. Dia juga sampai mengingatku untuk jaga diri dari Emile. Apa itu berarti... tidak ada sosok Rogue di kelas S... selama itu dia mengawasiku?

Itulah yang kupikirkan semalaman ini...

*****

Semalaman aku bertekad untuk bangun pagi meski suhu masih sangat dingin. Yang harus kulakukan adalah mengasah pedang yang telah kudapatkan kemarin. Aku tidak mau tertinggal oleh Emile yang cerdas dan aku juga ingin menyusul Rogue di kelas S.

Tempat latihan yang dijanjikan Emile adalah halaman belakang gedung markas pelatihan. Maka itu, aku kesana di pagi yang masih buta ini.

Yah... disana aku hanya berlatih mengacungkan pedang yang benar kepada lawan, hingga berkali-kali. Setelah latihan yang cukup lama itu, aku jadi ngos-ngosan sendiri, namun malah kuteruskan latihannya.

Akhirnya aku mulai sangat lelah dan beristirahat di bawah pohon yang rindang. Kuletakkan pedangku di samping tempat dudukku. Kaki kuselonjorkan sambil menikmati suasana pagi. Kusandarkan badanku ke dahan pohon. Udara dingin membuatku mulai terkantuk dan akhirnya mataku terpejam, tak sadarkan diri.

Tiba-tiba...

SRET!

Aku terbangun dengan sangat terkejut. Pipiku terasa nyeri dalam sekejap. Kuraba-raba pipiku yang terasa nyeri, disitulah ada luka goresan yang lebar dan dalam juga mengeluarkan darah yang banyak. Apa identitasku sudah ketahuan secepat itu?

"Sudah kubilang, berhati-hatilah."

Tanpa kusadari Rogue sudah berada di depanku, agak jauh tepat di dekat gedung. Perhatianku bukan tertuju ke Rogue, melainkan sebuah pisau yang tertancap di tembok, dan juga terdapat surat yang terikat dengannya.

Rogue mengambil pisau tertancap itu tanpa berpikir panjang. Tujuannya adalah mengambil surat, maka pisaunya langsung dibuang begitu saja. Aku menunggu dia membaca surat itu tidak terlalu lama. Setelah beberapa detik, dia berjalan kepadaku tanpa bicara sedikitpun sebelum sampai di depanku.

"Kenapa, Rogue?", tanyaku. Aku berusaha berbicara tidak terlalu panik.

"Lihat ini."

Secarik surat yang telah dibaca Rogue ditunjukkan kepadaku langsung tepat di depan wajahku, hanya beberapa mili jaraknya. Yang tertulis disana adalah 'Aku menemukanmu, 'Darah Suci'ku'.

Belum saja selesai membaca dengan sempurna, aku langsung mundur ke belakang, menjauh dari surat itu sehingga aku terpojok tepat di bawah pohon.

Surat itu dibalikkan ke Rogue, lalu ditatapnya lagi dalam-dalam. Jantungku berdegup dengan kencang, menunggu tindakan Rogue selanjutnya dan ternyata tindakannya jauh dari dugaanku...

"Sudah terlambat, ada seseorang yang sudah mengetahui keberadaan 'Darah Suci'", ucapnya sambil meremas lembaran kertas yang ada di tangannya, lalu dilemparkan kertas tersebut dari tangannya dengan terang-terangan.

"Terus, bagaimana ini? Apa ini salahku?" Aku menundukkan kepala serta mengepalkan tangan di atas dada. Aku tidak bisa tenang karena hal seperti itu, namun kenapa Rogue bisa setenang itu?

"Tidak, ini bukan salahmu."

Wajah Rogue tidak terlihat dari sudut manapun, karena dia menundukkan kepala. Kuperhatikan baik-baik, gerak-gerik Rogue membuatku merasakan firasat buruk. Entah itu apa, tubuh Rogue bergemetaran dengan sendirinya terdengar suara rintihan darinya.

Aku ingin bertindak sesuatu untuknya. Namun belum saja aku bertindak, Rogue sudah mengangkat wajahnya dan matanya... benar-benar menyeramkan, seperti waktu aku bertemu dengannya di depan toko roti. Dalam sekejap, sekujur tubuhku mengeluarkan keringat tak terhitung. Wajahnya tidak sepertinya, bola mata berwarna biru menjadi merah dan muncul gigi taring vampir.

"Rogue, matamu..." Suaraku hampir tidak keluar saking takutnya.

Percuma saja, sepertinya Rogue tidak mendegar ucapanku. Wajahnya makin mendekat kepadaku dan terhenti tepat di sebelah tengkukku.

ZLEB!

Terlambat. Padahal aku ingin mencegah hal ini terjadi kepadaku. Darah dari seluruh tubuhku terhisap banyak menuju bagian leher yang digigit. Sepertinya dari kemarin Rogue benar-benar haus darah.

Saat ini aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhku menjadi mati rasa, seluruh darahku terasa habis tanpa tersisa sehingga kesadaranku hilang.

*****

"Sudah sadar?"

Itulah pertanyaan pertamakali ketika aku membuka mata tanpa tahu apa yang telah terjadi kepadaku.

Kutatap sekelilingku dengan baik-baik, di sebelahku saat ini ada Emile yang sedang menuangkan teh. Aku baru sadar bahwa aku sedang terbaring lemah di atas ranjang yang cukup empuk ini. Entah kenapa, aku merasakan darahku baru mengalir sekarang di detik-detik sekarang.

"Emile, aku ada dimana sekarang?" Suaraku serak dan melemah, yang sering terjadi pada orang yang baru sadar tidak tahu apa-apa.

"Di ruang kesehatan", jawabnya yang masih melakukan hal yang sama.

Ruang kesehatan? Memangnya apa yang telah terjadi kepadaku? Tubuhku lemah, leherku terasa nyeri... Kuingat-ingat lagi terakhir apa yang kulakukan dan yang kuingat adalah Rogue menghisap darahku...

Emile benar-benar terkejut melihatku yang tiba-tiba bangkit spontan dari ranjang. Yang kuingat pertama adalah ada pisau meluncur mengenai pipiku, membuat sebuah goresan luka yang mengeluarkan darah banyak. Maka itu aku langsung meraba pipiku.

...Tidak ada luka sama sekali.

"Alice, ada apa? Ada sesuatu yang telah terjadi padamu?" Emile tampak panik karena aku seperti orang yang ketakutan.

Aku terdiam sesaat untuk menenangkan diri. Setelah napasku kembali normal, aku langsung menoleh ke Emile yang sangat mencemaskanku.

"Kenapa aku bisa ada disini?"

Emile mengedikkan bahu, dengan arti tidak tahu. "Dari pagi, aku mencarimu sampai ke kamarmu untuk latihan. Tapi aku sama sekali tidak menemukanmu. Ketika aku ke ruang ini, aku menemukanmu dalam keadaan seperti tadi dan disini tidak ada siapapun kecuali kau."

Jika tidak ada orang sama sekali, berarti Emile tidak melihat orang yang mengantarku kesini. Namun aku yakin yang mengantarku adalah Rogue. Waktu itu... Kenapa Rogue menjadi berubah total? Apa itu efek melihat darah?

Tiba-tiba Emile menyodorkan cangkir berisi teh didampingi senyuman hangat darinya.

"Beristirahatlah dulu. Aku akan menunggumu sampai siap untuk latiha--"

Emile belum selesai bicara, aku sudah menyelanya dengan menarik kedua tangannya sehingga cangkir yang ingin diberikan kepadaku jatuh.

"Tidak! Latihan sekarang saja, aku baik-baik saja!"

Aku yang begitu heboh, Emile hanya menaikkan alis, tidak paham dengan keadaanku yang sekarang. Hal penting yang harus kulakukan sekarang adalah menyingkirkan pikiran negatif tentang Rogue untuk sementara.

Tentang Rogue yang tiba-tiba menghisap darahku tanpa sebab...

*****

Suara alarm darurat berbunyi, bertanda para vampir harus mulai bersiaga di gerbang luar kawasan, yang berada di bagian barat kota Sterlen. Aku baru tahu hal itu dari Emile.

Namun ada satu masalah. Sebelum berangkat ke gerbang luar kawasan, pedangku hilang dari sabuk peralatanku!

"Emile! Pedangku hilang, aku mau mencarinya dulu. Kau bisa duluan ke--"

Emile menyela perkataanku dengan memandang ke atas, sedang berpikir. "Oh iya. Aku baru ingat tadi pedangmu masih tergeletak di ruang kesehatan." Emile kembali menatapku. "Mau kutemani kesana atau kutunggu disini?"

"Tunggu saja di depan gerbang!" Aku menjawabnya serta berlari ke arah yang berlawanan.

Pertanyaan itu hanya candaan semata saja, padahal dia ingin menemaniku. Aku tahu itu.

Jalan yang harus kususuri terlalu jauh untuk ke ruang kesehatan. Lorong lantai satu yang sangat panjang dan anak tangga yang amat banyak. Belum juga setengah dari panjangnya lorong lantai dua, hingga akhirnya aku menemukan ruang kesehatan.

Kubuka pintu ruang kesehatan dengan pelan-pelan, bisa saja ada vampir lain. Meski itu tudak mungkin, karena seluruh vampir di sekolah ini sedang menuju gerbang luar kawasan. Setiap sudut di ruang kesehatan, kucari pedang baruku dengan teliti dan ternyata tak perlu jauh-jauh, pedang yang kucari berada di sebelah ranjang yang kutempati tadi.

Namun anehnya, kuperhatikan baik-baik, pedang itu bersama sebuah kalung rosario di bagian gagang pedang. Kalau memang ada yang bermaksud memberikan ke vampir, bukankah vampir lemah terhadap salib?

Ah, sudah tidak ada waktu. Aku harus segera ke gerbang luar kawasan. Kuambil langsung pedangku bersama kalung rosario itu tanpa kuketahui siapa pemberinya.

Langkah kakiku kupercepat. Ini benar-benar sudah terlambat. Suara alarm darurat makin keras. Sangat memalukan bagiku kalau aku mengulang kesalahan yang sama lagi di hari kedua.

Di kejauhan, sudah terlihat gerbang yang tinggi menjulang, kemungkinan gerbang luar kawasan. Disana juga ada seorang vampir sedang melambaikan tangan kepadaku. Ketika aku sudah berada di dekat gerbang luar kawasan, aku baru bisa melihat sosok itu dengan jelas.

"Ayo, Alice! Kendaraan kita sudah menunggu!", teriak Emile yang tampak panik juga, sepertiku.

Setelah menginjak tanah luar kawasan, Emile langsung naik ke mobil dan terakhir aku, harus menutup pintu mobil.

Meski aku hampir terlambat, ini benar-benar gawat. Pernapasanku setelah berlari tidak normal bagi para vampir. Aku harus mengontrol napasku sebelum dia menyadarinya. Setelah beberapa menit, napasku kembali normal seperti biasanya.

"Emile, sekarang kita akan kemana?", tanyaku sambil merapikan rambutku yang berantakan, karena habis berlari.

"Kita akan ke..." Emile memberi jeda sedikit, kemudian dilanjutkan. "Kawasan manusia, kota Drimsville." Seketika raut wajah Emile menjadi serius.

Aku sangat terkejut, ke kota Drimsville? Kota Drimsville adalah kota kelahiranku. Hanya satu hal yang kuingat disana, memang terdapat Unit Pembasmi Vampir.

--Mungkin ini kesempatanku untuk kabur.

Rencana tersebut terlintas di dalam benakku, asal tidak ketahuan oleh Rogue.

Rencanaku pertama-tama, setelah mobil berhenti sempurna, aku akan berlari sampai Emile tidak mengejarku. Untung saja aku hafal setiap daerah di kota Drimsville. Sebisa mungkin aku kabur ke rumahku dan menceritakan apa yang terjadi di kawasan vampir kepada Rei. Kuyakin setelah mendengarku, Rei langsung segera bertindak, melaporkan ke pihak tertinggi di Unit Pembasmi Vampir.

Sepertinya rencanaku terhenti sementara, karena Emile memanggilku berkali-kali sedaritadi.

"...lice! Alice!"

"Eh, maaf, Emile. Kenapa?", tanyaku setelah tersadar dari lamunan. Dengan segera, aku menatap Emile yang penuh keheranan. Wajahku juga tidak boleh terlihat panik yang bisa dicurigai sesuatu.

"Apa kau takut ke kawasan manusia? Soalnya kau diam saja daritadi."

"Ti...Tidak. Aku hanya tidak sabar melihat kawasan manusia."

Aku tidak tahu wajahku seperti apa sekarang, namun alasanku ini bisa mengelabuinya. Rasa khawatir Emile kepadaku pun menghilang. Kali ini aku memang harus berhati-hati, apalagi setelah aku menjalani rencanaku diam-diam.

CKIT! Mobil berhenti bersama suara decitan ban yang cukup mengilukan. Bukan, mobil ini sudah terparkir. Mobil khusus vampir agak besar berwarna hitam. Di setiap luar pintu mobil terdapat lambang bangsa vampir. Ciri-ciri mobil tersebut sudah terparkir rapi dengan jumlah banyak.

Tempat parkir ini bisa juga disebut markas persembunyian vampir. Selama aku berada di kota Drimsville, aku tidak pernah tahu ada tempat parkir bekas sebesar ini. Jika kulihat di sekitarnya, menurutku daerah yang sedang kami injak berada di pertengahan utara. Dari sini ke rumahku agak jauh dengan berjalan kaki. Apa aku bisa menempuh jarak sejauh itu?

"Alice!" Kali ini Emile memanggilku dengan suara yang jauh lebih keras daripada tadi.

Dari aku masuk mobil hingga sampai kesini, aku memikirkan rencama kaburku terus dan mengacuhkan panggilan dari Emile berkali-kali. Jika aku begini terus, rencanaku bisa ketahuan. Aku juga baru sadar, bahwa aku sudah berada di luar mobil.

Keheranan dan kekhawatiran bercampur aduk baik tampak di wajah atau hatinya. Terkadang aku meliriknya, takut menatap langsung dengan bola mata berwarna hijau milik vampir yang sedang berhadapan denganku.

"Alice, kalau kau belum siap bertarung dengan manusia, lebih baik kita pulang saja. Aku tidak bisa tanpa dirimu."

Hari ini angin cukup kencang. Beberapa saat setelah angin mereda pelan, aku ingin menjawab seusahaku.

"Ma...maaf, aku..."

DUAR!

Bagus. Ini adalah kesempatanku. Aku akan panik sendiri dan takut. Kemudian pura-pura berlari ke asal suara ledakan agar terlihat ingin memastikan keadaan disana. Sebenarnya aku tahu Emile makin kesal kepadaku. Baru saja mengeluarkan dua kata, namun aku langsung mengalihkannya dengan sesuatu yang terlihat memusat perhatian.

--Maaf, Emile. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.

Aku tidak berani melihat ke belakang, untuk memastikan Emile megejarku atau tidak. Saat ini kakiku tidak bisa berhenti berlari untuk memenuhi rencanaku. Kecepatan kakiku meningkat tanpa menyadari aku telah melewati batas vampir. Untungnya aku ini sebenarnya manusia.

Aku melewati gang-gang kecil yang penuh tikungan. Jika aku telah memasuki gang besar, berarti kemungkinan besar kompleks rumahku sudah tidak jauh lagi.

Untuk jaga-jaga, aku memeriksa ke belakang dalam keadaan masih berlari. Sejauh apa yang kulihat, tidak ada sosok Emile yang mengejarku. Kenapa ya? Kukira dia bakal mengejarku dengan meneriaki namaku berkali-kali.

Posisi kepalaku kembali semula. Gang besar mulai terlihat tepat di depan mataku, tinggal 10 langkah lagi. Makin kupercepat langkah kakiku dan...

"Kutemukan kau, Alice."

BRUK! Angin terkumpul menjadi satu, menjadi gumpalan menyerang dari belakangku. Punggungku duluan terkena sehingga aku terlempar jauh. Tubuhku terguling-guling 3 kali dan posisiku mendukung untuk melihat sosok yang menyerangku.

Sosok itu...sudah tidak asing lagi. Laki-laki berambut pirang, bola mata yang memancarkan cahaya berwarna biru, memakai seragam putih khusus bangsawan dan tatapan yang selalu datar. Suara langkah makin mendekat kepadaku.

Ingin berusaha bangkit, namun seluruh tubuhku tidak bisa bergerak lagi akibat gumpalan angin menghantam tubuhku. Suaraku juga tidak bisa kukeluarkan. Seragam putihku yang bersih menjadi kotor penuh dengan debu.

Sudah terlambat untuk melakukan sesuatu, sekarang sosok vampir yang kukenal ini berada di depan wajahku.

"Huh, untung aku datang tepat waktu." Ia berjongkok serta menundukkan kepala agar bisa melihat yang tampak kesakitan.

"Ro... Rogue, kenapa kau ada disini? Kelas S kan..." Aku tidak kuat berbicara dengan keadaan seperti ini. Namun Rogue tahu apa yang ingin kukatakan.

"Di garis depan kan? Tapi aku tidak bisa melupakan tugasku untuk melindungimu. Aku sudah menduga kau akan mengambil kesempatan selagi di kota kelahiranmu."

Rasa nyeri menyebar ke seluruh tubuh akibat terlempar jauh serta terguling secara kasar. Tubuhku terasa mati rasa, itulah ciri-ciri manusia. Rogue yang membuatku terluka merasa bersalah. Ia hanya bisa memberi segel sihir lagi kepadaku, sebelumnya segel sihir pertama sudah hilang.

Pemberian segel sihir cukup lama. Kedua tangan Rogue terulur terus dari beberapa menit yang lalu. Kira-kira ada lima lingkaran sihir di sekitar telapak tangan Rogue.

Di keadaan seperti ini, lebih baik diam saja. Aku tidak tahu alasan Rogue selalu mementingkanku dari gelarnya, sampai harus melarikan diri dari garis depan. Namun kurasa ada sesuatu di balik alasannya.