Chereads / Kouri no Kioku (Ice Memories) / Chapter 3 - Emile Clerid - Part 1

Chapter 3 - Emile Clerid - Part 1

Buram. Ini yang kulihat ketika aku berusaha membuka mataku yang terasa berat. Aku tak tahu dimana aku berada sekarang. Yang hanya kuketahui adalah aku berbaring di atas kasur yang sangat empuk dan selimut putih yang menyelimutkanku dalam kehangatan. Kusingkirkan selimut itu agar aku bisa bangkit dari ranjang tersebut. Sebelum aku keluar dari ruang tidur itu, aku menatap seluruh anggota tubuhku, tak ada yang terluka dan berubah.

Kuperhatikan setiap sudut ruangan, ini bukan rumahku. Apa berarti aku masih berada di kawasan vampir? Aku pun penasaran, apa yang terjadi pada diriku kemarin malam? Aku mulai mengingatnya, terakhir yang kulakukan adalah... bertemu dengan vampir bangsawan yang kutemui beberapa hari lalu...

"Alice, apa yang kau lakukan disana, hah?" Suara yang terdengar jauh dariku, membuatku berpaling ke sumber suara.

Rogue Luc, dialah vampir yang kutemui kemarin malam, bahkan dari beberapa hari yang lalu. Dia berjalan ke tempat aku berdiri, di depan pintu ruangan yang telah kutempati semalaman.

"'A...anu. Apa yang terjadi semalaman? Sepertinya aku tidak mengingat apa-apa", tanyaku dengan suara yang pelan.

Rogue melangkah tepat di depanku, sambil membisikkan sesuatu dengan wajah datar. "Ikuti aku sekarang juga. Aku akan menjelaskan semuanya." Lalu Rogue melanjutkan berjalan.

Tidak ada lagi vampir yang bisa kupercayai selain dia. Maka dengan terpaksa, aku mengikuti perintahnya.

Kami pun tiba di tempat tujuan, yaitu ruang makan. Sarapan untuk dua orangsudah tersaji di atas meja makan. Ada satu yang berbeda, di ujung meja makan terdapat sepasang pakaian untuk perempuan berwarna putih yang terlipat rapi.

"Ro...Rogue-san. Saat ini aku berada dimana?", tanyaku setelah kami berhenti melangkah di depan meja makan.

Rogue masih membelakangiku seraya mengambil sepasang pakaian yang kumaksud. "Ini adalah rumahku."

Aku hanya mengangguk kecil, karena baru tahu bahwa rumah yang cukup besar ini adalah rumah Rogue.

Rogue membalikkan badan dengan kedua tangan membawa lipatan sepasang baju putih, kemudian disodorkanlah kepadaku.

"Pakailah seragam ini. Jika kau mengikuti perintahku, identitasmu sebagai manusia tidak terlihat."

Aku mengira vampir ini baik. Bukannya mengembalikan aku ke kawasan manusia, malah menyuruhku masuk ke sekolah vampir. Aku menepiskan tanga Rogue yang membawa lipatan seragam.

"Sudah kubilang, aku tidak mau. Aku ingin bertemu dengan kakakku sekarang juga." Suaraku sedikit meninggi. "Lalu kenapa kau memanggilku 'Alice'?"

Rogue mengacuhkan pandanganku. Kukira ia bakal marah karena aku tidak mendengar perintahnya. Ia masih tenamg.

"Kau tidak boleh ke kawasan manusia karena ada beberapa alasan. Aku akan menjelaskan nanti." Dia melirikku yang penuh penasaran. "Di salah satu kitab vampir, ada kitab yang menceritakan tentang 'Darah Suci'. Awalnya aku tidak begitu mengerti, karena memakai bahasa kuno vampir. Aku mempelajarinya butuh satu bulan. Disana tertulis, 'Darah Suci berbaur diantara manusia dan suatu saat akan mengkhianati kaum manusia. Alice, nama manusia yang memiliki darah suci, yang akan mengikuti kaum vampir.'"

Suasana sunyi sesaat. Penjelasan panjang lebar Rogue tentang asal mula nama 'Alice' membuatku sangat tercengang. Apa itu hanya kebetulan saja, nama yang sama, Arisu dan Alice? Aku menjadi 'Darah Suci', itulah takdir yang tidak kuketahui sejak lahir.

Rogue kembali menyodorkan lipatan seragam putih perempuan. "Nah, kau mau kan?"

Aku menatapnya dengan serius, menelan ludah karena bimbang untuk keputusan selanjutnya.

******

Rasanya tidak nyaman memakai seragam yang tak biasa kupakai. Biasanya aku memakai seragam berwarna dongker dan kali ini putih, dengan gaya militer. Di sisi pinggang, terdapat tempat untuk menyimpan senjata. Jadi sekolah apa yang dia maksud?

Agar berjalan sejajar dengan Rogue, aku menyusulnya yang sengaja mempercepat langkahnya daripada aku. Saat ini, kami dalam perjalanan menuju sekolah bernama Sterlen of Boarding School, bertempat di kota Sterlen, kawasan vampir.

"Hei, sekolah yang kau maksud apa? Kenapa ada tempat senjata segala?"

Tetap saja, aku bertanya dia masih suka mengacuhkanku.

"Sekolah militer vampir", jawabnya singkat. Ia menambahkan kecepatan langkahnya sehingga aku tertinggal di belakang lagi.

"Hei, tunggu!"

Sesampai disana, aku hanya bisa terkagum-kagum dengan bangunan yang sekarang berada di hadapanku. Sterlen of Boarding School memiliki tiga gedung utama dan masing-masing memiliki halaman yang sangat luas. Tiga gedung utama tersebut terdiri markas pelatihan, asrama laki-laki dan asrama perempuan. Masing-masing gedung memiliki tiga lantai.

Kamar yang kudapatkan berada di lantai tiga, di sayap kiri. Sangat capek untuk kesana, karena harus menaiki puluhan anak tangga.

"Ini kunci kamarmu." Rogue menyodorkan sebuah kunci berwarna perak kepadaku setelah kami sampai di depan kamar yang akan kutinggal.

Aku menerimanya dengan napas tersengal-sengal. Rogue menatapku dengan datar. Jika diperhatikan baik-baik, Rogue sama sekali tidak terilhat capek. Apa vampir tidak pernah merasa capek?

"Kecapekan adalah salah satu hal yang harus kau perhatikan selama disini. Cantumkan itu di kepalamu." Rogue membalikkan badan ke arah yang berlawanan serta menoleh kepadaku. "Jangan berlama-lama di kamar. Kalau sudah selesai, langsung ke auditorium."

Aku memandang punggung Rogue yang semakin mengecil. Setelah itu, aku masuk ke ruangan yang kusebut kamarku. Sebelumnya aku sudah membuka pintunya terlebih dahulu.

Belum saja aku mengelilingi kamarku, aku langsung merebahkan diri di atas kasur berukuran sedang. Saat ini pikiranku kacau balau, tak tahu apa yang terjadi sekarang.

'Darah Suci' itu... apa ada orang selain aku yang memilikinya? Yah, itu memang tidak mungkin, karena hanya namaku yang tertulis di kitab. Namun aku sangat yakin bahwa sebelumnya ada orang yang memiliki darah suci selain aku. Aku pun memutuskan untuk mencari lebih dalam tentang 'Darah Suci', tanpa sepengetahuan Rogue.

*****

Kudatang auditorium yang terletak di lantai satu gedung markas pelatihan. Sesuai dugaanku, ruang sebesar itu sudah penuh dan sesak. Kuyakin diantara mereka ada anggota lama dan baru.

Aku berjalan di celah-celah yang sedikit terbuka, namun tak bisa kutemukan sosok Rogue. Langkah demi langkah lagi, hasilnya sama saja. Hingga akhirnya aku tidak sengaja menyenggol seorang vampir. Vampir yang tak sengaja kusenggol bersama temannya menatapku dengan tajam. Aku tak tahu harus mengatakan apa, karena yang sedang kuhadapi adalah vampir, bukan manusia. Aku hanya takut jika mereka menyadari identitasku yang sebenarnya.

"Ma--" Suaraku terhenti ketika sosok laki-laki berambut coklat muda muncul di depanku. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia membelakangiku. Namun aku harus meyakininya bahwa yang pasti bukan Rogue.

"Maaf, kami dari kota Sourch dan ini temanku. Kami sama-sama baru masuk tahun ini. Mohon bantuan untuk tahun ini."

Senyumannya membuat vampir-vampir yang kesal tadi menjauhi kami.

Aku pun menghela napas lega. Ada yang membantuku. Aku ingin berterimakasih kepadanya, namun aku belum mengenalnya. Bukan hanya itu saja, jika aku seenaknya berkenalan dengan vampir lain, apa Rogue mengizinkanku?

Mau tak mau, sebagai makhluk yang baik, aku harus berterimakasih kepadanya.

"Ma...Makasih." Aku mengeluarkan suara sebisa mungkin, namun hasilnya terdengar terbata-bata.

Meski suaraku yang terdengar begitu, pendengaran vampir sangat tajam. Tentunya vampir itu langsung menoleh ke belakang, tempat aku berdiri.

"Sama-sama." Ia tersenyum ramah. Kemudian dia pergi ke keramaian dan sosoknya hilang disana.

Setelah kepergian vampir yang menolongku, suasana hening seketika. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun. Semua mata tertuju ke panggung yang tepat berada di depan. Perhatianku juga tertuju ke panggung, dimana di tengah panggung ada podium. Di atas podium, terdapat sosok vampir yang akan membuka acara kali ini. Aku menyipitkan mata agar bisa melihatnya dengan jelas. Ya, sosok itu sangatlah tidak asing bagiku. Vampir yang pertamakali kukenal, Trax Vans! Aku baru ingat bahwa dia Pemimpin Umat Vampir. Apa dia mencariku?

Trax menghentakkan kaki di atas podium dengan keras.

"Selamat datang, anggota baru!", sambutnya dengan mikrofon sehingga suaranya terdengar keras sampai seisi auditorium bising. Penghuni auditorium juga membalasnya dengan berseru.

Aku tak tahu apa yang ingin dibicarakannya, hanya saja aku berharap dia tidak akan membicarakan tentang keberadaan 'Darah Suci'.

Sesuai harapan, Trax hanya memberikan motivasi kepada anggota baru yang akan memulai kehidupan baru sebagai militer vampir. Namun yang pernah kudengar vampir memiliki pendengaran yang tajam. Berarti seharusnya Trax bisa mengetahui keberadaanku sekarang, karena frekuensi 'Darah Suci' yang khas. Aku hanya bisa menaikkan alis sekaligus bersyukur saat ini.

Setelah memberikan motivasi, Trax mengumumkan pembagian kelas. "Perhatian untuk anggota baru. Sekolah ini memiliki enam tingkat kelas. Dimulai dari kelas tertinggi, yaitu kelas S, A, B, C, D dan E sebagai kelas terendah. Kalian bisa melihat daftar anggota kelas di mading setelah ini."

Trax membungkukkan badan sebagai isyarat pidatonya akan usai. "Saya Trax Vans, Pemimpin Umat Vampir akan membimbing kalian ke tempat yang dijanjikan 'Darah Suci', sesuai di janji kitab. Sekian dari saya."

Beberapa saat setelah Trax turun dari podium, seisi auditorium dipenuhi tepuk tangan yang riuh.

Masih saja aku bingung dengan 'Darah Suci'. Dimana tempat yang dijanjikan 'Darah Suci'?

Kini auditorium telah sepi, seluruh vampir telah membubarkan diri dan menuju kelas masing-masing, Hanya satu-satunya aku yang berada disana. Namun perkiraanku salah, ada satu vampir lagi...

"Hei, waktunya masuk kelas, Alice."

Aku menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakangku. Disanalah sosok Rogue yang sedang berjalan kepadaku.

"Aku tidak mau", ucapku setelah Rogue sampai di depanku.

Rogue mengerutkan alis dan menatapku dengan tatapan serius, namun aku memalingkan pandangan darinya.

"Kenapa? Bukannya aku sudah menjelaskan semuanya tentang 'Darah Suci'?"

Aku menarik napas terlebih dahulu untuk menenangkan perasaanku yang sedaritadi kutahan. "Kau tidak bilang kalau disini ada Trax Vans. Bisa saja dia tahu keberadaanku..."

Rogue menggelengkan kepala. "Tidak. Dia takkan tahu keberadaanmu, soalnya aku sudah memasang segel sihir di tubuhmu. Meski begitu, kau harus tetap berhati-hati", jawabnya serta melangkahkan kaki tanpa memperlihatkan wajahnya. Hingga ia meninggalkanku sendirian di auditorium sebesar itu.

Lagi-lagi aku tidak mengerti ucapan Rogue. Segel apa yang dia maksud?

*****

Aku berlari dengan panik di sepanjang lorong lantai tiga. Ruangan yang sedan kutujui adalah ruang kelas E. Aku tidak menduga, aku masuk kelas terendah. Akan jauh lebih nyaman jika aku sekelas dengan Rogue. Namun aku akan berusaha mencoba di kelas E.

GREK!

Secara tak sadar, aku telah menggeserkan pintu dengan kasar. Tentu saja aku juga telah menarik perhatian vampir-vampir di dalam ruangan. Mereka menatapku tajam. Semoga saja mereka tidak menyadarinya bahwa aku adalah manusia.

Kudapati sosok guru perempuan berdeham keras seraya menatap tajam kepadaku. Spontan aku menundukkan kepala sebelum aku diceramahi.

"Ini adalah hari pertama. Saya memaafkanmu hanya kali ini saja", ujarnya yang terdengar dia sedang marah.

Aku hanya bisa mengatakan, "Maaf..." Kemudian mencari bangku kosong yang bisa kutempati. Untungnya bangku kosong berada di paling ujung belakang. Aku bisa bebas dari tatapan tajam vampir-vampir di kelas ini.

Bangkuku berada di dekat jendela. Tidak ada yang bisa kulakukan disitu selain terdiam menunggu kelas usai. Hingga aku menghela napas kesepuluh kalinya.

"Kau perempuan yang tadi ya?"

Aku tidak tahu pertanyaan itu tertuju ke siapa, namun aku tetap mencari sumber suara tersebut, tepat di sebelahku. Sosok laki-laki yang seang menatapku lekat-lekat adalah sosok yang baru kutemui di auditorium tadi!

Aku agak gugup menjawab di hadapan vampir yang telah menolongku.

"I...Iya. Makasih atas pertolonganmu tadi." Aku juga tidak berani menatap bola matanya yang berarna hijau terang. Kualihkan pandanganku kemana-mana.

"Tidak apa-apa kok." Ia tersenyum hangat sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Namaku Emile Clerid, asli dari kota Sterlen." Ia mengulurkan tangan kepadaku.

Aku membalasnya dengan berjabat tangan, dengan perasaan ragu.

"Namaku Arisu. Mohon bantuannya."

Setelah beberapa detik, aku baru menyadari keanehan di dalam perkenalanku. Bersamaan itu, Emile menaikkan alis, heran dengan namaku yang mirip dengan nama manusia. "Arisu?"

Dengan segera, aku melepaskan jabatan tangannya dan mengalihkan pandangan ke bawah. "Maksudku, namaku Alice."

Emile hanya menganggukkan kepala, yang berarti dia sudah mengerti. Kemudian kami kembali fokus memperhatikan guru menjelaskan di depan kelas.

"Semuanya, untuk hari ini kalian bisa latihan dimana saja. Dengan syarat, kalian harus berpartner dengan anak-anak di kelas ini. Untuk hari ini, sekian dari saya." Setelah membungkukkan badan, ada satu informasi lagi yang tertinggal. "Oh ya, ada satu informasi yang harus kalian ketahui. Ujian kenaikan kelas akan diadakan akhir bulan Januari", katanya sebelum beranjak dari tempat.

Akhir bulan Januari? Benar juga, sekarang sudah akhir bulan Desember. Berarti aku hanya punya sebulan untuk meningkatkan kemampuanku.

Suasana di kelas setelah guru meninggalkan kelas sangatlah beda. Mereka pada mencari partner yang menurut mereka cocok dengan pribadi mereka masing-masing. Hanya aku dan Emile yang masih terdiam di bangku masing-masing. Namun masih mending Emile, banyak perempuan yang menghampirinya, dengan alasan ingin berpartner dengan Emile. Aku yang di sebelahnya hanya menikmati suasana yang tercipta sekarang.

Tanpa sengaja, aku mendengar percakapan Emile dengan para perempuan. Suasana ramai diantara mereka karena pada berlomba-lomba menjadi partner Emile. Suasana tersebut hanya bertahan beberapa saat, ketika Emile mulai mengeluarkan suara.

"Maaf, aku sudah memiliki partner."

Seketika wajah para perempuan itu tercengang, begitu pun juga denganku yang sebenarnya tidak terlibat dengan mereka. Para perempuan langsung saling bertanya-tanya dan pasti pertanyaannya adalah, "Siapa?"

Emile beranjak dari tempat, entah kemana ia ingin pergi. Namun itu salah, dia langsung menghadap ke bangkuku dan menarik tanganku seakan dia ingin mengajakku ke suatu tempat.

"Ini partnerku, Alice. Ayo kita pergi, Alice!", ajaknya sambil tersenyum kepadaku.

Aku hanya mengangguk-angguk dengan terheran. Kenapa Emile memilihku sebagai partnernya? Aku hanya bisa mengikutinya pergi ke suatu tempat dengan rasa penuh penasaran.

Tempat tujuan Emile sebagai tempat latihan adalah halaman belakang gedung markas pelatihan.

Sebenarnya aku sangat capek berlari dari lantai tiga hingga sampai sini. Hampir saja napasku tersengal-sengal, baru kuingat peringatan Rogue tadi pagi.

Dalam kesempatan ini, aku memberanikan diri untuk bertanya ke Emile. "Hei, Emile. Aku ingin tanya. Kenapa kau memilihku menjadi partnermu?"

Aku memberikan tatapan serius, namun tidak ada reaksi di wajah Emile, kecuali senyum kecilnya.

"Sebelumnya aku ingin bertanya sesuatu dulu kepadamu. Sebenarnya kau tidak pernah menyentuh senjata sekalipun kan?"

Pertanyaan Emile benar, membuat detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sebelumnya aku tidak pernah merasakan seperti ini.

"Da...Darimana kau tahu?", tanyaku yang setengah mati ketakutan.

"Itu sudah terlihat jelas ketika aku bertemu denganmu pertamakali." Emile mengacungkan jari telunjuk sebagai penunjukkan alasan pertama. "Pertama, tidak ada senjata di sabuk peralatanmu." Kemudian diacungkanlah lagi jari tengahnya. "Kedua, karena kau takut melawan kelas teratas, seperti di auditorium tadi."

Aku pun terdiam, terkagum setelah Emile selesai bicara. Emile benar-benar berada di luar dugaanku, dia sangat cerdas. Aku yakin dia bakal masuk kelas S dengan cepat, minimal seminggu.

Emile melanjutkan menjawab pertanyaan dariku. "Saat ini aku ingin melatih seseorang yang belum pernah berpengalaman, karena aku yakin orang yang belum pernah berpengalaman akan jauh lebih kuat. Dan juga..." Dia terdiam sejenak, menundukkan kepala tanpa memperlihatkan wajah. "...Karena kau satu-satunya perempuan yang nyaman diajak bicara."

Angin kencang mengganggu pendengaranku. Aku sibuk dengan diriku sendiri sehingga kalimat terakhir Emile tidak terdengar, hanya terdengar samar-samar.

"Eh, maaf, Emile. Apa yang barusan kau katakan terakhir?", tanyaku setelah angin mereda.

Emile hanya tersenyum tipis, seolah dia tidak pernah mengucapkan kalimat terakhirnya tadi.

"Bukan hal yang penting."

Meski aku penasaran kalimat terakhirnya tadi, aku mulai menjalani kehidupan vampir pertamakalinya.