Kita semua tidak tahu kapan dunia akan hancur. Tapi apakah kalian merasa dunia akan hancur jika vampir banyak bermunculan? Pastinya begitu, kemusnahan manusia lah yang membuat kehancuran dunia.
Saat ini aku hanya tinggal bersama kakakku, Hyuga Rei. Kedua orangtuaku sudah meninggal. Pekerjaan mereka adalah pembasmi vampir level tinggi. Namun mereka tidak berhasil dalam pekerjaan mereka dan dimutasi ke kota lain.
Bulan Desember. Dari pagi sampai sekarang, yang kulakukan hanyalah bermala-malasan di depan TV. Sayangnya tidak ada channel yang seru, hanya ada berita-berita terkini. Namun ada satu berita yang membuatku bergidik dan merinding.
"Para pemirsa yang sedang berada di kota Drimsville harap berhati-hati. Para bangsawan vampir akan menyerbu kota tersebut. Kabar yang kami dengar dari Unit Pembasmi Vampir adalah mereka sedang mencari Putri Bangsawan Vampir yang sedang hilang diantara manusia."
Tanganku yang memegang remote TV bergemetaran. Aku tidak menyadarinya, remote TV yang kupegang sudah diambil Rei.
SYUUT!
TV pun mati dalam sekejap. Rei membuang napas. Ia berdiri di belakang sofa yang sedang diduduki olehku.
"Arisu"
"Ya?". Aku tidak berani menatap mata Rei, entah ia marah atau tidak. Tapi mau tidak mau, aku harus melirik sedikit kepadanya.
Dan ternyata dugaanku benar...
"Arisu, ini sudah mulai malam. Kapan kau beranjak pergi untuk belanja?" Rei bertanya dengan tersenyum kejam.
Aku hanya bisa menjawab, "Ya". Kemudian dilaksanakan.
*****
"Kenapa belanjaannya sebanyak ini?"
Aku berbicara sendiri. Ada beberapa kantong plastik berisi keperluan sehari-hari di kedua tanganku. Itulah kegiatanku selama sekali sebulan.
Ketika aku berada di dekat pintu supermaket, sensor pintu aktif hingga pintu terbuka secara otomatis. Tanpa satu tangan harus menurunkan beberapa kantong plastik belanjaan, aku bisa langsung keluar.
Aku mendongak ke atas. Langit telah berwarna jingga kemerahan, matahari akan tenggelam. Aku berpikir, apakah kota yang kutempati ini sekarang sudah tidak aman, setelah mendengar berita tadi? Namun apakah berita itu salah?
Dalam perjalanan ke rumah, aku memikirkan hal itu terus. Pikiranku buyar seketika ketika melewati sebuah toko roti. Pohon natal yang terpajang di depan balik kaca toko menarik perhatianku.
--Sebentar lagi natal ya.
Aku baru ingat hari ini tanggal 23 dan besok adalah hari natal. Kalau saja para bangsawan vampir belum tersebar di seluruh tempat di kota Drimsville, aku pasti bisa merayakan pesta natal berduaan dengan Rei.
Kaca toko tersebut memantulkan sosokku yang sedang membawa belanjaan banyak dan memakai jaket berwarna biru muda, warna kesukaanku. Lalu aku melirik ke sebelah tempat berdiriku di pantulan kaca toko tersebut. Seketika tubuhku bergemetaran, mengeluarkan keringat dingin karena merasa takut.
Aku mengira di sebelahku tidak ada siapapun, ternyata terdapat sosok vampir berambut pirang dan bertubuh tinggi.
BRUK!
Tanpaa kusadari, aku telah menjatuhkan semua kantong plastik belanjaan. Setelah itu, sosok vampir itu menghilang. Tubuhku pun terasa lemas.
Yang sekilas kulihat, wajahnya tampak seram dan menakutkan seolah aku buruk. Kenapa dia menatapku seperti itu? Apakah vampir itu termasuk bangsawan?
Sejak itu, aku sangat berhati-hati ketika aku ingin keluar rumah. Karena masih banyak vampir yang bekeliaran...
*****
Waktu akan menuju jam 4 sore, waktu untuk pulang sekolah. Pelajaran sangat membosankan, aku sudah tidak sabar untuk pesta natal. Aku menatap jam dinding terus saking tak sabarnya.
Bel pulang yang ditunggu-tunggu pun berbunyi.
"Mari kita tutup pelajaran hari ini. Sekian dari saya."
Sensei yang mengajar di kelasku membungkukkan badan, kemudian berjalan ke pintu dan keluar dari kelas.
Setelah itu, semua murid pada berhamburan keluar kelas. Namun aku berbeda. Aku masih menetap di kelas, menyalakan ponselku yang sedaritadi kumatikan. Ternyata dugaanku benar, ada panggilan masuk dari Rei sebanyak 16 kali!
Aku pun mengangkat panggilannya dengan rasa takut. Kudekatkan ponselku ke daun telingaku. Samar-samar terdengar suara dari seberang telepon.
"Hei, Arisu! Kenapa kau tidak mengangkat ponselmu daritadi?" Dari suaranya, terdengar dia agak kesal kepadaku.
Aku menjawabnya dengan sedikit terbata-bata. "Ma... maaf. Barusan saja pembelajaran berakhir."
Rei menghela napas lega mendengar alasanku. "Syukurlah. Kukira kau sudah dibunuh vampir."
Aku juga ikut menghela napas.
Sambil menyusuri lorong yang panjang, aku mengobrol dengannya lewat telepon. Kemudian melewati anak tangga yang banyak. Akhirnya sampailah aku di lantai satu, dilanjutkan melangkah lagi sambil mengobrol dengan Rei.
"Rei, pastikan semua makanan sudah siap ya. Aku sudah tidak sabar makan malam nanti."
Di seberang telepon, Rei hanya membalasnya dengan tersenyum.
Sesampai di depan gerbang sekolah, aku tidak sengaja melihat sosok laki-laki berambut pirang dan berjubah putih. Namun wajahnya tak terlihat, karena dia menghadap ke arah yang berlawanan. Tiba-tiba lelaki tersebut menoleh ke belakang dan ternyata bukan manusia, melainkan vampir yang kutemui kemarin!
Langkahku terhenti ketika masih berada jauh belakang vampir itu. Ponselku yang masih nyala terjatuh ke tanah.
"Arisu? Hei, Arisu? Arisu?!" Suara Rei dari ponselku masih terdengar, namun kuhiraukan saking terkejutnya.
Vampir itu mirip sekali dengan yang kutemui kemarin, menatapku dengan tatapan yang seram dan menakutkan. Ia menyadari kehadiranku, lalu berjalan ke arahku.
Aku sangat takut, apakah aku akan mati sekarang? Aku tidak mau, ada seseorang yang menungguku saat ini. Saking takutnya, aku menundukkan kepala dan memejamkan mataku rapat-rapat.
... Tidak terjadi apa-apa. Aku membuka mataku perlahan-lahan. Vampir itu sudah berdiri di depanku sehingga aku agak mundur ke belakang. Aku baru sadar bahwa ponselku sudah tidak ada. Kulihat sekitar bawahku ponselku juga tidak ada. Ketika aku kembali menghadap ke depan dimana ada vampir itu, ponsel yang daritadi kucari berada di tangannya!
"A... Apa yang kau lakukan?" Aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
Vampir itu saja masih fokus mengetik sesuatu di ponselku, entah apa yang ia ketik. Sekilas yang kulihat, ia hanya memencet satu tombol, yaitu 'discall'. Kemudian vampir itu melemparkan ponsel tersebut kepadaku dengan lemparan yang tepat.
"Ma... Makasih."
Seperti tadi, vampir itu tidak membalas satu kata pun dariku. Lalu ia membalikkan badan, dilanjutkan melompat ke atap rumah satu sama lain hingga sosoknya tidak terlihat lagi.
Aku terdiam mematung karena ketakutan. Namun ada satu pertanyaan yang muncul di dalam benakku. Kenapa dia hanya ingin mematikan ponselku, bukan menghisap darahku?
*****
Sesampai di rumah, sepi sekali, tidak ada siapapun. Namun aku langsung berlari ke ruang makan. Aku mengira Rei belum menyiapkan makanan, ternyata makanan yang kudambakan sudah tertata rapi di atas meja makan dihiasi hiasan natal. Aku terdiam di depan ruang makan.
KREK!
Terdengar suara pintu terbuka. Udara malam yang sangat dingin menusuk masuk ke dalam hingga aku merasa merinding. Perlahan-lahan, muncul sosok laki-laki dari pintu. Dialah kakakku, Rei dengan napas yang tersengal-sengal karena habis berlari jauh. Tangannya sedang membawa boks kotak berisi kue coklat.
"Rei..."
"Arisu, ini ada kue kesukaanmu. Ayo kita mulai pesta natal kita berdua", kata Rei sambil menunjukkan kotak kue yang dibawanya, dengan tersenyum hangat.
Aku juga membalas dengan senyuman yang sama.
Pohon natal yang sangat besar berada di pusat kota Drimsville. Meski jauh, di rumahku juga terdapat pohon natal yang kami buat sendiri. Ini pertamakalinya aku merasakan kebahagiaan di makan malam, karena malam ini adalah malam natal. Kami melewatinya dengan senang, kesal, bercanda ria dan lain-lain.
Di tengah-tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba...
DUAR!
Suara ledakan yang keras terjadi dimana-mana. Kompleks rumahku memang belum kena, namun aku merasakan firasat yang buruk. Apa ini perbuatan vampir, sesuai berita kemarin?
"Rei, apa itu?"
"Entahlah..."
Aku memandang ke jendela yang berada di sebelah seberangku, yang menghadap ke halaman belakang. Awalnya tidak ada apa-apa disana, namun dari atas ke jendela, muncullah dua ekor vampir sambil mendobrak jendela hingga pecah.
PRANK!
Aku sangat terkejut dengan kedatangan mendadak vampir, apalagi Rei, dia langsung beranjak berdiri di depanku.
"Ternyata benar, manusia yang selama ini dicari ada disini", kata vampir berambut biru tua sebahu.
Vampir satunya hanya mengangguk. Tiba-tiba diacungkanlah pedang khas vampir dari sarung pedang yang terpasang di tepi pinggang, tepat di depan Rei.
"Pilihanmu ada dua, manusia. Serahkan perempuan itu, atau... kau akan mati disini?"
Rei membelalak. Kedua pilihan itu sangat tidak menguntungkan. Tidak mungkin dia ingin menyerahkan adiknya.
Aku sendiri yang di belakang Rei juga bingung sekaligus ketakutan. Kenapa para vampir itu mengincarku? Apa yang mereka inginkan dariku? Ketakutanku di dalam hati ini tidak seperti biasanya.
"Memangnya apa yang kau mau darinya? Lagipula dia kan manusia." Tanpa gentar, Rei menjawabnya. Ia juga tersenyum sombong.
Vampir yang mengacungkan pedang itu mendecak kesal, karena jawabannya tidak sesuai harapan. Jika jawabannya seperti itu, maka vampir yang memberi pilihan tadi menyesuaikannya, yaitu mati disini. Vampir tersebut mulai berkuda-kuda, kemudian dengan secepat kilat, dia menebas lengan Rei. Sosoknya pun sudah tepat di belakangku.
Luka itu terlihat dalam sekali, hingga Rei menahan lengannya yang telah ditebas oleh vampir di belakangku. Sekarang aku sendirian, tidak ada yang menjagaku. Seketika sekujur tubuhku bergemetaran. Mungkin vampir itu akan melakukan hal yang sama kepadaku.
Vampir berambut biru tua itu melangkah ke depanku tanpa membawa senjata. Aku tidak tahu apa yang ia ingin lakukan kepadaku, apalagi dikelilingi oleh dua ekor vampir. Tidak disangka vampir di depanku memukul perutku dengan keras, sehingga aku terbatuk-batuk.
"Ukh..." Aku tidak tahan rasa sakitnya dan ingin jatuh, namun ditahan oleh vampir di belakangku, kemudian dia menggendongku seperti tuan putri.
"A...Arisu..." Rei mencoba untuk menoleh ke belakang, namun vampir berambut itu langsung menginjak kepala Rei.
"Selamat tinggal, manusia."
Dua vampir itu pergi melewati jendela yang mereka pecahkan. Lari mereka cepat sekali, hingga kesadaranku memudar karena terkena udara yang amat dingin. Samar-samar, aku masih mendengar suara Rei yang memanggil namaku berkali-kali.
"Arisu! Arisu!"