Wajah tampan dengan garis wajah sempurna itu akhirnya harus rela terluka akibat perkelahiannya dengan Andrew tadi di club malam. Astha yang jago berkelahi akhirnya tersungkur saat Andrew mengerahkan anak buahnya untuk memukuli Astha. Salah Astha yang merasa tak akan mungkin dikalahkan oleh siapapun. Dan menyuruh Reza pergi meninggalkan dia sendirian di club malam itu. Dan akhirnya dalam keadaan terjepit, dia memukulkan botol minuman ke kepala Andrew. Dan menendang beberapa anak buah Astha hingga jatuh tak sadarkan diri. Di ruangan Andrew yang cukup luas.
"Sial.. Aku harus segera keluar dari tempat ini." bisik Astha.
Darah berceceran. Suara bising pengunjung club malam menggema di seluruh ruangan. Mampu mengaburkan posisinya sebagai tersangka. Tak ingin berurusan dengan pihak berwajib, Astha berjalan menunduk dan menutup wajahnya dengan topi. Berusaha membelah kerumunan orang yang yang sedang menikmati musik yang memekakkan telinga.
"Za, jemput aku di depan club Andrew. Aku sedang sembunyi. Kalau sudah sampai, hubungi aku. Aku akan memberimu kode." ucap Astha lirih.
Lama dia terdiam di tempat persembunyiannya. Dari kejauhan tampak club malam milik Andrew ramai sekali. Sepertinya ada yang sudah mengetahui perihal kejadian yang baru saja terjadi dengan pemilik club malam itu.
'Si brengsek itu mati apa tidak ya?' batin Astha. Beberapa saat kemudian mobil sport warna hitam miliknya melintas. Astha segera menghubungi Reza. Dia tahu itu Reza.
"Ke arah jam sembilan Za, langsung buka pintu mobilnya." ucap Astha. Langsung ditutup olehnya.
Reza melihat arah jam sembilan dari tempatnya berdiri. Dia menemukan orang bertopi yang iya yakini adalah Astha. Dengan cepat dia membuka pintu mobil untuk Astha.
"Hah.. Akhirnya. Ayo cepat cabut dari sini." titah Astha.
"Ada apa Tuan? apa Tuan sudah berhasil memberi pelajaran pada Andrew?" tanya Reza yang sudah mengemudikan mobil Astha.
"Sudah. Itulah kenapa aku harus segera pergi dari situ. Aku memukul kepalanya dengan botol. Aku tidak tahu apakah dia masih hidup atau mati." ucap Astha santai. Dia membuka topinya lalu bersandar di jok mobilnya.
"Tuan wajahnya berdarah." ucap Reza saat melihat wajah Astha sekilas sambil menyetir mobil.
"Jangan banyak omong. Aku ingin segera sampai rumah." Astha mengambil tisu dan membersihkan darah-darah di wajah. Ada luka sobek di pelipisnya. Tapi dia hanya menyeka dengan tisu.Baginya, luka seperti ini sudah biasa dia rasakan.
"Mau saya antar ke rumah sakit, Tuan?"
"Tidak perlu. Langsung pulang ke rumah." titah Astha. Reza hanya memgangguk. Dia tidak berani bilang apa-apa jika sudah ada perintah dari Tuannya.
Setengah jam kemudian Astha sudah sampai di rumahnya. Sebelum turun, dia memastikan dulu kalau tidak ada orang yang mengikutinya. Setelah dirasa aman, dia segera turun dari mobil.
"Panggilkan pelayan baru itu. Suruh dia ke kamarku sekarang. Aku butuh dia." ucap Astha sambil menyampirkan jaket kulitnya.
"Baik Tuan." Reza mengikuti langkah Astha. Dia langsung pergi ke kamar Alivia yang ada di bagian belakang rumah besar itu.
Tok Tok Tok.
Alivia terbangun saat ada seseorang yang mengetuk pintunya. Dirinya diliputi rasa takut. Seharian dia lelah mengerjakan pekerjaan rumah, malam hari sekedar ingin beristirahat saja tidak boleh. Pikirnya. Tapi kemudian dia ketakutan. Kalau ada anak buah Astha yang ingin melakukan hal di luar batas padanya.
"Siapa?" teriak Alivia sambil membawa sapu lidi yang biasa dia pake untuk membersihkan tempat tidur.
"Aku Reza. Buka pintunya, Vi." teriak Reza dari luar.
Mendengar nama Reza, Via sedikit lebih tenang. Karena dia juga hafal suara Reza.
Ceklek. "Ada apa, Za? malam-malam begini gangguin orang."
"Kamu dipanggil Tuan Astha. Dia ingin kamu ke kamarnya sekarang."
"Eh.. Mau apa?" Alivia mengeratkan kedua tangannya menyilang.
"Ga diapa-apain paling suruh bantu bersihin kamar atau bersihin lukanya. Udah buruan. Dia mau kamu. Ya harus kamu."
"Tapi.."
"Tenang aja. Dia ga akan macem-macem sama dia ga doyan."
"Dia Gay ya?"
"Hushh ngawur.. Kedengeran orangnya bisa habis lo. Udah buruan. Keburu Tuan Astha marah nanti."
"Iya ya.. sebentar."
Alivia memakai jaketnya. Bukan karena dingin, tapi untuk melindungi diri. Dengan memakai jaket tebal begini tidak akan menarik perhatian Astha. Via lantas mengunci pintunya. Dia bersama Reza menuju ke Paviliun milik Astha. Seperti biasa setiap akan menuju ke kamar Astha, dia akan melewati ruangan tempat anak buah Astha bermain kartu atau bilyard.
"Kamu ke sana sendiri ya. Tahu kan letaknya? aku ada urusan lain." ucap Reza.
"Tapi bener kan dia ga akan ngapa-ngapain?"
"Enggak tahu juga sih. Kalau tiba-tiba dia nafsu sama kamu, ya udah kasih aja. Kalau hamil tinggal minta Tuan Astha menikahi. Enak kan jadi istri bos." goda Reza.
"Sembarangan kalau ngomong kamu. Aku tidak serendah itu. Lihat saja kalau berani macam-macam akan aku keluarkan semua jurusku."
"Ya udah gitu aja repot. Udah sana masuk. Jangan bikin Tuan Astha marah.
"Iya iya.." Gerutu Alivia. Dia masih sangat ngantuk. Tapi pekerjaan dia malam ini rupanya belum selesai juga.
Tok Tok Tok. Alivia mengetuk pintu. Dia merutuki dirinya kenapa harus mengetuk pintu. Padahal ada bel nya.
Sesaat kemudian Astha membukakan pintu untuknya.
"Jadi orang jangan lelet. Buruan masuk." ucap Astha.
"Iya Tuan." Setelah Alivia masuk, Astha tiba-tiba mengunci pintunya dari dalam.
"Eh Tuan, kenapa dikunci? Via ketakutan. Takut Astha akan berbuat macam-macam.
"Tolong bantu aku obati lukaku." Astha duduk di pinggiran ranjang. Menunggu tangan Alivia membersihkan lukanya.
"Baik Tuan." Via mengambil alkohol dan obat merah, perban dan plester. Karena Alivia melihat ada luka robek. Melihat wajah tampan Astha tertutup luka, membuat Via bertanya-tanya apa yang terjadi tadi dengan Tuan Astha.
Alivia menuangkan Alkohol ke atas kapas. Dia membersihkan luka Astha dengan hati-hati.
"Awww..." Astha sedikit berjingkat saat Alivia memberikan obat merah.
"Maaf Tuan." Alivia takut Astha marah.
"Lanjutkan." titah Astha
Alivia terkantuk kantuk. Karena dia baru tidur jam 11 dan sekarang jam 1 dia harus bangun mengobati Astha.
Dengan telaten, Alivia mengobati luka Astha. Dan menutupnya dengan perban dan plester.
Alivia masih memegang sisa perban. Tapi rasa kantuknya sudah tidak tertahankan. Akhirnya dia ambruk. Tertidur di bahu Astha.
"Eh.. bangun." Alivia membuka matanya sedikit tapi kemudian tertidur lagi.
Astha membaringkan tubuh Alivia di atas pembaringannya. Mengangkat dan melindunginya dengan selimut. Sedangkan Astha tidur di sofa luar kamarnya.