Selama tinggal di paviliun Astha, Alivia masih diperbolehkan untuk salat. Seperti petang ini, setelah mengurusi kebutuhan Astha mulai dari memasak, bersih-bersih dan mencuci pakaiannya. Alivia segera mandi dan menunaikan salat magrib. Kadang ada rasa rindu di hati Alivia ingin salat di masjid seperti ketika di kampung dulu. Tapi apa daya sekarang dia hanya seorang tawanan. Yang selalu menjadi lemah setiap berada di depan seorang Astha.
Alivia menunaikan salat di pojokan ruang santai yang ada di depan kamar Astha. Dia memanjatkan doa. Doa yang sama selalu diulang. Semoga dia bisa keluar dari tempat itu. Atau paling tidak Allah membuka pintu hati seorang Astha. Dia rela menjadi pembantu. Tapi tidak untuk disekap seperti ini.
Belum selesai berdoa, Alivia mendengar suara orang membuka pintu kemudian menguncinya dari luar. Alivia sudah tahu siapa itu. 'Selalu setiap malam baru keluar rumah..Kaya kelelawar aja. Cari makannya kalau malam.' batin Alivia. Dia lalu mengaji lebih dulu setelah berdoa. Setidaknya dia bisa lebih tenang mengaji jika Astha tidak berada di sana. Dia membaca dengan suara lirih. Khawatir orang-orang yang di luar sana tertarik untuk mendekati Paviliun. Apalagi sekarang Astha sedang pergi. Dia tidak mau menarik perhatian orang dengan suaranya. Padahal jauh di lubuk hatinya, dia ingin orang-orang yang mendengarnya mengaji bisa terketuk hatinya untuk kembali ke jalanNya.
Membantu mengembalikan orang ke jalan yang benar itu tidaklah mudah. Alivia sering prihatin setiap kali melihat anak buah Astha yang merokok, dan minum alkohol. Bau yang ada di ruang billyard itu sungguh menyesakkan. Aroma tembakau bercampur minuman keras membuatnya pusing saat melewati ruang itu. Hawa panas menyelimuti ruangan itu. Dia membayangkan suatu hari nanti ruangan itu berubah menjadi tempat penuh dengan orang-orang baik.
Tidak ada yang bisa dikerjakan di paviliun Astha. Semua pekerjaannya juga sudah selesai. Astha masih belum pulang. Jelas belum karena pria itu baru keluar satu jam yang lalu. Setelah isya' dia akhirnya tidur di sofa sesuai perintah Astha. Sebelum tidur dia membaca ayat kursi, Al Ikhlas, Al Falaq dan An-Nas. Berharap meski dia tidur, Allah akan melindungi dirinya dari orang-orang yang akan berbuat jahat padanya. Alivia percaya sekuat apapun kekuatan dan kekuasaan Astha, tak akan bisa mengalahkan kekuasaan Allah.
ceklek-ceklek.. suara orang membuka kunci membangunkan Alivia dari tidurnya. Saking waspadanya dia meski dalam tidur. Dia tidak mau disentuh lagi oleh Astha seperti waktu itu.
"Tuan.. Tuan tidak apa-apa?" tanya Alivia saat Astha masuk ke dalam rumah dengan beberapa luka di wajahnya. Padahal luka yang kemarin belum sembuh.
"Jangan banyak omong. Bersihkan lukaku." ucapan Astha bernada perintah itu membuat Alivia bergetar.
"Baik Tuan." Alivia mengambil air dan peralatan lainnya. Tak lupa handuk kering kecil juga dia siapkan. Karena luka Astha berdarah.
Astha duduk di tepian ranjang. Pandangannya seperti menerawang jauh ke keluar jendela kamarnya. Alivia yang melihat itu tidak berani menegur sedikitpun.
"Permisi Tuan, saya mau bersihkan lukanya."
"Hemm."
Alivia membersihkan luka yang berdarah itu dengan air sampai pendarahan berhenti. Selanjutnya dia membersihkan dengan handuk bersih, baru dibersihkan lagi dengan alkohol. Baru setelahnya olesi dengan obat merah sebagai antibiotik. Satu jam lamanya Alivia membersihkan luka-luka Astha. Laki-laki itu hanya bergeming. Pikirannya seperti kosong. Matanya memandang langit-langit, kadang juga terpejam. Dan sedikitpun tidak melihat Alivia.
"Sudah Tuan. Tuan mau istirahat sekarang?"
"Keluar! Saya ingin sendiri." titah Astha.
"Baik Tuan." Alivia mengambil semua peralatan yang dia pakai untuk membersihkan luka Astha. Lalu keluar dari kamar. Alivia bersyukur jika Astha tidak ada hasrat untuk wanita sepertinya. Setidaknya dia aman berada di tempat itu. 'Atau jangan-jangan dia penyuka sesama jenis?' batin Alivia. "Astaghfirullah, Naudzubillah." Setelah menaruh peralatan untuk mengobati luka tadi di kotak penyimpanannya, Alivia mencuci handuk yang dia pakai untuk mengeringkan luka. Lain hari mungkin kejadian seperti ini akan sering terjadi. Dan Alivia harus menyesuaikan diri berhadapan dengan kehidupan gelap dan menyeramkan seperti ini. Hanya satu yang dia harapkan. Tetap bisa menjaga kehormatannya.
Alivia akhirnya bisa merebahkan tubuhnya di sofa yang empuk. Tapi tetap saja pergerakannya terbatas. Tidak seperti di kasur. Dia hanya bisa menerima. Asalkan Astha tidak macam-macam padanya.
**
Pagi-pagi Alivia sudah melakukan pekerjaan rumah tangga seperti seorang istri? bukan. Lebih tepatnya pembantu rumah tangga. Kalau saja ada kesempatan untuk dia bisa keluar dari tempat itu, menjalani kehidupan normal bertemu dengan pangeran, menikah dan punya anak. Betapa bahagianya dia. Tapi sayang takdir berkata lain. Dia harus masuk dalam kandang singa seperti sekarang. Entah kapan dia akan keluar. Tapi dia selalu percaya bahwa apa yang terjadi padanya pasti ada hikmah yang nantinya bisa dia petik. Apa kabar dengan mimpinya untuk bisa kuliah dan bekerja? Alivia meneteskan airmata setiap kali mengingat bahwa mimpinya tak akan terwujud.
Tok Tok Tok...
suara ketukan pintu membuat Alivia yang sedang mencuci tersentak. Dia setengah berlari ingin membukakan pintu. Tapi dia lupa pemegang kunci adalah Astha. Tapi ketukan itu semakin lama semakin keras. Membuat Alivia bingung.
Akhirnya dia memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar Astha. Laki-laki yang kini telah membuka topi dan kacamata hitamnya itu terlihat tenang dalam tidurnya. Tampan, tapi mematikan.
"Tuan, bangun Tuan. Ada seseorang mengetuk pintu." Alivia menggoyangkan tubuh Astha pelan. Laki-laki itu hanya menggeliat. Saat Via menggoyangkan beberapa kali akhirnya dia terbangun.
"Apaan sih? bisa sopan tidak? pembantu sialan. Pagi-pagi sudah bangunin orang."
"Tuan, ada seseorang yang mengetuk pintu. Saya tidak tahu dimana kuncinya." ucap Alivia.
Telinga Astha mulai bekerja. Benar memang ada yang mengetuk dengan keras. Astha langsung terperanjat dengan masih bertelanjang dada.
Astha mengambil kunci dari dalam saku jaketnya. Lalu membuka pintu. Dia tahu pasti ada sesuatu yang terjadi.
"Ada apa Za? pagi-pagi begini bangunin orang?" tanya Astha dengan wajah geram. Reza malah fokus dengan Alivia yang keluar dari kamar Astha. Kemudian melihat Astha yang bertelanjang dada. "Heh.. lihat apa kamu? ngapain bangunin aku pagi-pagi?" bentakan Astha membuat Reza tersadar.
"Maaf Tuan." Reza membisikkan sesuatu pada Astha. Seketika itu pula Astha membulatkan matanya.
"Hubungi Sadam. Biar dia yang urus. Masalah begini saja kamu harus membangunkan aku pagi-pagi. Andrew sudah tewas. Kamu beli saja klubnya. Aku akan membuat klub itu lebih besar lagi."
"Baik Tuan..Saya akan menghubungi Tuan Sadam. Masalah hukumnya apa anda yakin bisa lolos kali ini? Apa tidak sebaiknya anda menghilang dulu? sampai kasus selesai? anda tidak akan tenang setiap kali keluar. Karena anak buah Andrew tidak akan terima dengan tumbangnya bos mereka.
"Aku tidak akan lari. Aku tidak akan kemana-mana. Aku yakin Sadam pasti bisa melakukannya."
"Kalau ada yang cari anda bagaimana?"
"Jangan ada yang berada di rumahku dulu. Kalian pergi saja semua ke tempat yang aman."
"Lalu bagaimana dengan anda, Tuan?"
"Itu masalah gampang."
"Lalu Alivia?"
"Dia tetap bersamaku. Aku sudah bilang kan kemarin. Dia wanitaku. Dan dia akan tetap bersamaku."
"Baik Tuan. Saya permisi. Dan saya akan lakukan sesuai perintah anda.
'Apa maksudnya Dia Wanitaku?' batin seseorang yang tak sengaja mendengar pembicaraan Astha dan Reza.