Kemunculan Syeh Maulana diruangan besar itu membuat suasana berbeda, Khulandar mengangkat kepalanya terkejut dan menatapnya dengan waspada. Pusaran angin telah hilang dan Istana megah nan indah itu kembali hening. Semua orang memandang Syeh Maulana yang berjalan perlahan penuh kewibawaan menuju singgasana tempat Khulandar berdiri menatapnya dengan seringai menakutkan. Khulandar berdiri dengan gagahnya dan seperti tidak sabaran dia bertanya,
"Orang yang ku tunggu bukanlah dirimu...Siapakah yang berani memasuki istana Khulandar tanpa undangan? aku hanya menginginkan anak itu, dan aku tahu kedatanganmu ini untuk dia." Khulandar menunjuk Andika.
"Kau.... bukanlah berasal dari tempat ini." Lalu Khulandar memutari tubuh Syeh Maulana
"Hm..ghrrr...." Khulandar menggeram dengan marah. Ia berjalan memutari Syeh Maulana. "Mengapa makhluk dari bumi pertama datang ketempat ku? Kau pasti bukan manusia biasa. Agartha tidak menerima manusia sembarangan"
Khulandar bertanya dengan matanya yang membakar jiwa siapapun yang melihatnya. Ia berdiri dengan gagahnya menatap bergantian kepada Andika dan Syeh Maulana.
Andika hampir terjatuh ketika Khulandar tadi menunjuk dirinya, tatapan Khulandar seketika melemahkan sendi tulang-tulang lututnya.
Lalu Khulandar berdiri di dekat singgasananya, ia berjalan lagi perlahan dengan penuh ancaman. Kebengisan seekor iblis yang menekan jiwa memancar ketika ia mendekati Syeh Maulana dengan kegelisahan. Seperti layaknya makhluk teror yang berwujud mengerikan, ia menyeringai menebar rasa takut dan memamerkan deretan gigi runcingnya seakan siap mencabik-cabik apapun yang ada didepannya. Nafasnya mengeluarkan uap panas dari hidungnya. Matanya tajam seperti seekor macan sedang mengawasi mangsanya.
Tetapi ia tiba-tiba terhenti beberapa langkah di depan sang guru, perlahan-lahan aura kebengisan yang menyelimuti ruangan itu tiba-tiba menghilang, lenyap tak berbekas. Khulandar berdiri memandang sang Syeh yang masih diam menatapnya tersenyum samar. Seakan mereka sedang berbicara secara telepati. Lalu Khulandar bergumam. Khulandar memalingkan wajahnya menghindar dari tatapan Syeh Maulana. Seperti harimau yang sedang merajuk, ia tidak mau melihat Sang Guru.
"Aku telah membangun Agartha selama ribuan tahun. Agartha adalah perintah rajaku yang adil dan bijaksana. Dia Memerintah kerajaan dari timur hingga kebarat. Dari bumi pertama hingga ke tujuh, segala manusia. jin dan binatang. Bahkan ia mampu memerintah angin" kata Khulandar dengan angkuhnya.
Syeh Maulana maju beberapa langkah hingga berdiri tepat dihadapan Khulandar yang tingginya dua kali tubuh Syeh Maulana. Perlahan- lahan tubuh Khulandar mengecil hingga sedikit saja lebih tinggi dari Andika.
Lalu Syeh Maulana berkata lembut dengan lantunan kata-kata bagaikan sebuah syair dari sebuah kitab mahabah. Suasana yang sejuk seakan mengalir perlahan dari diri Syeh Maulana.
"Tatap dan lihatlah aku baik-baik wahai Khulandar, apakah kau tidak mengenalku? Lalu ia melanjutkan,
"Wahai hati yang merindu, yang terbalut pekat dalam debu yang kotor.
Membungkus mutiara yang dikira batu.
Menghitung butiran kerikil didasar sungai.
Apakah jiwa ini telah mati?
Ribuan tahun telah berlalu.
Dalam penantian sepi aku merintih.
Dalam hati nan sunyi dan pilu.
Penantian ini adalah duka nestapa.
Kesedihan yang tiada lagi berair mata.
Namun kesabaran terus kujalankan
Karena cinta dan ikatan sebuah janji.
Wahai jiwa yang kosong
Walaupun cinta tidak dizahirkan, dalam kenyataan ia selalu tersirat.
Kerinduan ini membutakan mata.
Namun masih mencari batas suatu pengabdian yang agung,
Kapankah pintu ini akan terbuka?"
Khulandar merintih terduduk mendengar syair Syeh Maulana. Ditatapnya wajah sang guru lekat-lekat. Lalu perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut didepan sang Guru. Kepalanya tertunduk pilu, bahunya turun seperti kelelahan.
Andika yang semula sangat khawatir akan keselamatan Syeh Maulana, merasa sangat takjub melihat sang Syeh menundukkan makhluk buas yang mengrerikan itu dalam sekejap mata hanya dengan sebuah Syair?
Ia tadi tanpa sadar telah berdiri disamping gurunya itu siap berkorban nyawa untuk sang guru jika tiba-tiba Khulandar menyerang gurunya. Namun ia urung dan terkejut melihat perubahan pada diri Khulandar.
Khulandar kini bersimpuh dan terduduk lemas dihadapan Syeh Maulana dengan diikuti oleh seluruh pengawalnya, demikian juga Jazulan. Khulandar menangis sesenggukan di hadapan Syeh Maulana.
"Kau tahu aku menunggu disini dengan sebuah ikatan?
Janji mulia pada Baginda Nabi, raja tak tertandingi sampai akhir masa sepanjang zaman. Aku diperintahkan menunggu kedatangan seorang kekasih pembawa panji kebenaran. Kekuasaannya meliputi seluruh alam, bumi dan langit. Alam syaitan hingga alam malakut semua berada dibawah pimpinannya. Dialah sang penghulu alam yang akan mengembalikan aku ke alam tempatku berasal dengan sebuah hadiah keabadian.
Tahukah engkau arti kerinduan dalam penantian yang tak tau dimana akhirnya ?"
Khulandar menangis dan merintih sedih. Sungguh suatu pemandangan yang ironi. Penantiannya selama ribuan tahun, menunggu pemimpin alam yang sempurna, tapi tiada membuahkan hasil. Sang pembawa cahaya telah berpulang seribu empat ratus tahun yang lalu. Dan ia tidak dapat bertemu dalam ikatan sumpahnya. Ia terperangkap disini dan hanya bisa menunggu.
Namun bukan itu yang ia tangisi, Khulandar menangis ketika melihat cahaya yang terpancar dari diri Syeh Maulana. Ia melihat cahaya sang Penghulu Alam yang dinantinya memancar dari diri Sang Habib. Ya...Syeh Maulana adalah keturunan sang penghulu alam. Didalam tubuhnya mengalir darah sang Rasul.
"Engkau adalah keturunannya...dan kini engkau datang untuk menyelamatkan jiwaku, dan para pengikutku...Aku bisa melihatnya dalam cahaya yang memancar dari dirimu," bisiknya dengan suara yang mengharu biru.
Syeh Maulana tersenyum melangkah hingga ia berdiri dihadapan Khulandar. Diangkatnya kedua bahu Khulandar agar berdiri.
"Serkarang bersaksilah pada Allah dan Rasulnya Muhammad. Kau akan melihat Surga keabadian yang dijanjikannya. Ikuti kata-kataku dan bersaksilah, kau sendiri bisa melihat cahayanya dan tahu apa yang harus kau ucapkan bukan? Khulandar memandang ke langit. Matanya berbinar gembira.
" Yaaa...aku melihatnya... cahaya....alangkah indahnya..." Khulandar memejamkan matanya, merasakan nur Ilahi menghujani kalbunya dengan keyakinan yang luar biasa"
Lalu Khulandar dan seluruh pengikutnya bersaksi pada Allah dan Rasulnya Muhammad. Mereka memuji Allah dan takjub dengan limpahan rahmat yang diturunkan Allah pada mereka.
Bangsa jin memang dapat melihat pancaran cahaya hidayah yang diturunkan Allah bagi siapapun makhluk yang bersyahadat dan diberikan Allah baginya.
Segera saja penampilan mereka yang menyeramkan berubah menjadi bentuk yang indah.
Ucapan syukur bergema di dalam ruangan itu. Wujud Khulandar dan para abdinya berubah menjadi makhluk yang sangat gagah.
Wajah Khulandar menjadi putih bersih dan tampan, Ia memeliki sepasang sayap hijau berkilauan, ia sangat gagah dan memiliki kharisma tinggi para raja, Demikian pula halnya dengan para abdinya yang berubah tampilan mereka menjadi indah. Dengan sayap berkilau mereka mengucap syukur atas cahaya Ilahi yang dipancarkan. Lalu Khulandar berkata pada para pengawalnya memerintahkan sesuatu dalam bahasa mereka.
Lalu tak lama, sebagian pengawal terbang keatas membentuk sebuah formasi lingkaran, tangan mereka saling terkait dengan ikatan cahaya seperti kilat, tiba- tiba langit-langit kubah terbuka dan lantai tempat mereka berpijak naik keatas hingga ke puncak istana, tak lama mereka sepertinya berada dipanggung terbuka yang tinggi. Aula itu menjadi sebuah panggung raksasa ditengah-tengah kota.
Andika yang masih dalam kekagumannya memandang berkeliling, ia menyadari mereka berada diatas panggung ditengah-tengah kota yang megah itu dengan gedung-gedung disekeliling mereka yang memenuhi seluruh daratan dan gunung.
Khulandar mengerahkan kekuatannya memanggil semua rakyat dan pengikutnya datang berkumpul dengan mengirimkan sinyal seperti telepati.
Ia memerintahkan mereka untuk bersiap dan bersaksi karena utusan yang ditunggu telah tiba.
Seketika kota yang sunyi itu penuh dengan suara yang datang dari ribuan makhluk yang berbentuk antara manusia dan binatang. Mereka keluar berbondong-bondong menempati ruang disekeliling panggung singgasana Khulandar.
Kehadiran mereka memenuhi ruang terbuka dalam jumlah ribuan, ada yang didaratan, dan ada pula yang mengambang terbang di udara sampai menutupi langit malam. Suara mereka bergemuruh menakutkan. Andika terduduk lemas diapit oleh Syeh Maulana dan Jazulan. Ia terus saja disuguhi pemandangan yang luar biasa sejak terbangun di lubang pohon.
Khulandar menyambut rakyatnya dengan suka cita. Ia memperkenalkan Syeh Maulana pada rakyatnya yang menatap mereka dengan penuh tanya.. Hari-hari sepi yang mereka lalui dalam penantian akan segera berakhir. Sang penghulu telah mengirimkan keturunannya untuk membebaskan mereka.Rakyatnya bersorak bergemuruh. Sukacita meliputi seluruh negeri.
Melihat itu Syeh Maulana berkata pada Khulandar.
"Lihatlah baik-baik. Bukankah pesannya suatu hari nanti, cahaya itu pasti akan datang, hanya apakah kau bisa melihatnya atau tidak itu semua tergantung dari kesucian hatimu pada cinta kasihnya. Pintumu akan terbuka dan disanalah kau akan melihat kebenaran hakikat."
Khulandar menatap Syeh Maulana dengan tatapan yang sangat dalam. Hatinya yang menjadi sukacita membuat dirinya semakin gagah dengan cahaya keimanan. Para pengikutnya berseru penuh keheranan melihat perubahan Khulandar. Mereka mengagumi kebagusan rupa Khulandar. Matanya bersinar-sinar, Tubuhnya begitu indah dan perkasa. Ia memiliki sepasang sayap yang berkilau bagaikan kristal. Mereka berteriak dan menjerit takjub. Dalam keributan itu Khulandar memberi isyarat untuk berhenti. Dalam sekejap semua teriakan dan pekikan keheranan langsung hilang berganti dengan keheningan dengan tatapan menunggu penjelasan.
" Dengarlah wahai bangsa Agartha..!" Kata Khulandar dengan lantang.
"Masanya penantian telah berakhir, sang utusan telah datang, kita akan kembali pulang ke bumi Tsaqil yang di berkati. Datang dan bersaksilah bersamaku Kepada Allah dan Rasulnya Muhammad. Penantian kita telah berakhir hari ini."
Khulandar berpidato dengan berapi-api. Di sambut sorak sorai bergemuruh dari semua pengikutnya.
Malam itu dibawah pimpinan Syeh Maulana, Khulandar dan semua pengikutnya bersyahadat. Dengan dibantu oleh Andika dan Jazulan lalu mereka diajarkan dasar-dasar pokok tiang agama dan pedoman hidup oleh Syeh Maulana. Syeh Maulana menugaskan Andika dan Jazulan untuk bebrapa waktu kedepan memberikan bimbingan ibadah shalat dan pemahaman hukum agama.
Para penduduk sangat senang terutama jenis betinanya melihat Andika yang memiliki rupa dan bentuk tubuh sempurna. Andika tak kalah kaget melihat betapa cantiknya para wanita di Agartha ini. Rambut mereka rata-rata sangat panjang, dan mereka mempunyai sepasang tanduk kecil dikepalanya dengan gigi-gigi yang lancip. Mereka sangat tertarik melihat rupa Andika, Namun mereka tidak berani terlalu dekat karena takut pada Jazulan yang ternyata adalah saudaranya Khulandar dari ibu yang berbeda.
Andika melirik Jazulan dan berbisik pelan."Kenapa wujudmu tetap menyeramkan?" Sejenak Jazulan menatapnya dengan kaku. Lalu jawabnya santai," agar kau takut melihatku." Andika mengerutkan keningnya kesal.
Beberapa waktu kemudian, para penduduk Agartha yang telah besyahadat dan belajar tahap pertama mulai membubarkan diri. Perlahan-lahan, kerumunan penduduk Agartha mulai menipis. Setelah semuanya mulai bertebaran kembali ketempatnya semula, untuk menunggu perintah Khulandar selanjutnya, satu kelompok pasukan bersayap datang dengan menenteng lima orang manusia yang diturunkan dihadapan Khulandar. Segera Andika lagi-lagi merasa terkejut, dengan cepat ia beranjak mendekati mereka yang ternyata adalah Saidul, Rudi, Prof. Sugara, Handoko dan Malikah.
"Rud...lo bisa kemari juga?" tanya Andika heran sambil memandang yang lain. Rudi segera menggoncang bahu Andika.
"Lo selamat Ndik?. Kita pikir lo udah nggak ada lagi." kata Rudi terkejut melihat Andika menghampiri mereka.
"Dan kami juga berfikir kalau kami sudah dialam barzakh, sumur itu sangat mengerikan. Tapi kata Malikah, ia tidak merasa sudah mati. Karena kami masih bersama-sama!" timpal Saidul bingung.
Malikah dan Saidul segera berlari kesisi Syeh Maulana. Diikuti oleh Prof.Sugara dan Handoko. Ternyata mereka ditemukan oleh pengawal Khulandar dibelakang Istana Khulandar. Mereka muncul dikandang kala jengking yang ukurannya sebesar gajah afrika. Ternyata kalajengking tersebut adalah binatang peliharaan Khulandar dan penduduk Agartha. Mereka berlarian dan berteriak melihat kalajengking yang besar itu. Dan tentunya memancing para pengawal mencari para pembuat keributan disana. Demikianlah mereka ditangkap dan dibawa terbang hingga sampai ke atas sini.
Mengetahui mereka adalah rombongan Syeh Maulana, Khulandar tidak menginvestigasi lagi. Ia memerintahkan Jazulan dan Saqqara panglimanya untuk memberikan tempat kediaman bagi rombongan itu dalam lingkungan istananya.
Ia meminta Syeh Maulana untuk tinggal sementara waktu mengajarkan kaumnya tentang Islam. Mengajarkan dasar-dasar keimanan dan ketauhidan. Tentang Hukum - hukum Allah yang mengatur peri kehidupan makhluk dan pedoman dalam menjalankan ibadah shalat.
Setelah aula yang naik itu kembali ketempat semula, Saqqara mengantarkan rombongan itu ketempat kediaman mereka. Mereka berangkat dengan naik kalajengking. Malikah semula sangat enggan naik kepunggung binatang buas tapi jinak itu. Handoko menawarkan diri menemani Malikah diatas kalanya, tapi Malikah menggeleng takut. Ia memandang Andika menunggu tawaran darinya untuk naik ke kalanya, tapi Andika membuang mukanya seakan tidak mengerti. Keadaan ini membuat Malikah mendengus jengkel. Hingga akhirnya Syeh Maulanalah yang mengajaknya bersama naik dipunggung kalajengkingnya. Akhirnya rombongan tersebut bergerak menuju tempat kediaman mereka selama berada di Agartha. Prof. Sugara berjalan berdampingan dengan Rudi sambil berkata senang.
"Saya benar-benar tidak menduga ternyata Agartha kota legenda ini benar-benar ada. Karena ia lebih mirip dongeng tanpa ada seorangpun yang tahu dimana letaknya.
Tempat kediaman yang dimaksud ternyata adalah sebuah istana megah yang memiliki banyak kamar. Sepertinya merupakan bagian dari istana induk Khulandar.
Mereka masing- masing menempati sebuah kamar yang indah. Kamar Syeh Maulana diapit oleh kamar Saidul dan Malikah. Diikuti oleh Prof. Sugara disebelah kamar Malikah, lalu diikuti oleh kamar Handoko. Sedangkan Rudi disamping kamar Saidul. Berbeda dar yang lain. Andika mendapat kamar agak terpisah dari yang lain. Khulandar yang menginginkan demikian kata Jazulan. Dari semula Andika memang menempati tempat yang khusus dari Khulandar. Dengan kekuatannyalah, Andika ditariknya masuk ke Agartha, itu sebabnya Jazulan tidak mencegah Andika ketika menuju sumur pusaran, karena itu memang satu-satunya gerbang menuju Agartha.-----+++
Jazulan mengantarkan Andika ke kamarnya. Andika melihat keadaan kamarnya yang seperti kamar raja-raja di zaman persia. Tempat tidur besar serta tirai-tirar bergantungan indah pada pilar-pilar yang berukir.
Bahkan ditengah kamar terdapat kolam yang ditaburi bunga harum semerbak.
"Jazulan! mengapa kau memisahkan kamarku dari mereka?" tanya Andika.Ia berdiri ditengah kamar menatap seisi kamar yang bak kamar hotel griya tawang Taj Mahal.
"Heh heh.." Jazulan terkekeh pelan. Sejak setibanya di Agartha, ia menjadi lebih manusiawi. Tidak begitu menakutkan lagi.
"Kau memang tamu istimewa Khulandar." katanya santai.
"Apa maksudmu?" tanya Andika penasaran.
"Besok kau akan tahu, ku rasa kau harus istirahat sekarang. Kalian manusia punya tenaga yang sangat terbatas, tidak seperti kami, kami mampu tidak tidur berminggu bahkan bulan. Kami sangat jarang kelelahan"
Andika menatap heran pada Jazulan.
"Jadi....makhluk apakah kalian?"
Maksudku aku sudah melihat Khulandar yang mengrikan, lalu berubah dengan drastis menjadi gagah dan perkasa. Apakah Kalian keturunan Iblis?" tanya Andika semakin penasaran.
Jazulan tersenyum sambil menaikkan bahunya.
"Kami adalah penduduk bumi di Lapisan Ke tiga. Tapi kami telah terperangkap disini selama ribuan tahun. Agarta adalah pintu gerbang menuju Bumi Lapisan ketiga tempat kami berasal. Bumi itu bernama TSAQIL"
----*****