Chereads / SIMALAKAMA / Chapter 25 - 25

Chapter 25 - 25

"Kama, ayo ke rumahmu?" ajak Mala.

"Ayo."

Kama pun membayar pesanan mereka di siang itu. Mereka bergegas menuju rumah. Ketika mereka sudah berada dekat dari rumah Kama, mereka melihat sebuah mobil mewah yang terparkir tepat di depan rumahnya. Perasaannya Kama mulai tidak enak, ia yakin kalau itu adalah orang tuanya. Namun, ia bukanlah seorang pengecut. Ia siap menghadapi apa pun yang terjadi. Digenggamnya tangan Mala erat-erat. Ia membawa Mala menghadapi ke dua orang tuanya. Tampak seorang pria paruh baya yang memakai jas keluar dari mobil. Ia tegap berdiri menunggu Kama.

"Ada apa lagi, Ayah?" tanya Kama.

Yang sedang berdiri menunggu itu adalah Martua, Ayah dari Kama.

"Mau sampai kapan kau akan terus begini?" jawab Martua.

"Itu urusanku, urus saja urusanmu. Ya, bisnismu itu," jawab Kama ketus.

Tiba-tiba saja Martua seperti terpancing emosi. Sebagai Ayah, ia merasa tidak dihargai. Dengan cepat tangannya melayang menampar pipi Kama.

"Sudah? Puas? Ayo, pukul lagi!"

Belum sempat Martua memukul lagi. Seorang wanita yang tampak seumuran dengan Martua turun dan melerai dengan tangisan. Ya, ia adalah Hotma, Ibu dari Kama.

"Sudahlah, mau sampai kapan kalian terus begini? Kita ini keluarga. Tolong turunkan ego kalian," ucap Hotma sembari meneteskan air mata.

"Ini anak yang selalu kau bela. Lihat! Ia bahkan tidak menghargai orang tuanya sendiri. Bela saja terus!"

"Mau bagaimanapun, ia adalah buah hati kita. Tolong buka matamu. Seharusnya kita menyadari kalau selama ini kita sudah terlalu memaksakan kehendak. Tolong, aku ingin kita bersama-sama lagi," ucapan yang begitu tulus dari seorang Ibu.

Hotma tak henti-hentinya menangis. Ia bahkan berlari dan langsung memeluk anaknya itu. Anaknya yang sudah bertahun-tahun menghadapi kejamnya dunia sendiri. Manusia yang sangat membutuhkan kasih sayang. Ia memeluknya dengan erat, seolah tidak ingin berpisah lagi. Mala yang menyaksikan itu semua turut iba. Ia melihat bagaimana tulusnya kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya. Apalagi, sedari kecil ia sudah tidak merasakan kasih sayang dari Ibunya. Itu sungguh menusuk baginya.

"Nak, kita pulang ya. Ibu rindu," ucap Hotma membujuk agar anak semata wayangnya pulang.

Ia menatap anaknya penuh harap. Matanya memerah, air matanya terus mengalir.

"Beri aku waktu, Bu," jawab Kama coba untuk menenangkan.

"Ibu harus menunggu sampai kapan, Nak? Ibu sudah tua. Kau mau Ibu mati dalam keadaan sedih?" ucap Hotma yang begitu mengharapkan anaknya untuk pulang.

Mendengar perkataan Ibunya, itu seperti tamparan yang begitu keras. Ia terdiam. Ia tidak menjawab.

"Sudahlah, ia tidak menyayangimu. Kau sampai sebegitu hinanya mengemis agar ia pulang. Biarkan saja ia hidup menggembel. Itu kan pilihan hidupnya," ucap Martua dengan ketus.

Namun, Hotma sama sekali tidak menghiraukan. Yang ada dipikirannya kini hanya satu. Ia harus bisa membawa pulang anaknya itu.

"Bu, aku juga sangat merindukan Ibu. Namun, aku juga sedang memperjuangkan mimpiku di sini. Aku ingin jadi penulis hebat Bu. Aku tidak pernah tertarik dengan segala bisnis milik keluarga kita. Aku hanya ingin jadi penulis. Aku ingin bahagia. Itu saja Bu."

"Apa kau hanya memikirkan kebahagiaanmu? Bagaimana dengan kebahagiaan Ibu? Apa kau tidak pernah memikirkannya?"

"Tentunya aku ingin Ayah dan Ibu bahagia. Aku sangat menginginkan itu. Tetapi Bu, kondisinya saat ini sangat sulit. Di sini juga aku tidak lagi sendiri, aku memiliki Mala. Ya, ia adalah kekasihku. Ia begitu menyayangiku. Ibu tidak perlu mengkhawatirkanku lagi. Aku akan kembali jika itu memang sudah waktunya."

Hotma pun memandang Mala. Ia menarik tangan Mala dan mengajaknya untuk mengasing sejenak. Mereka menjauhi Kama. Tampaknya ada yang ingin dibicarakan oleh Hotma.

"Nak Mala, kau tahu kan kalau Kama itu orangnya sangat keras kepala? Semoga kau tabah menghadapinya. Aku sangat menyayanginya, tolong bahagiakan ia. Tenangkan segala kesedihannya," ucap Hotma dengan tatapan yang penuh harap.

"Iya Bu, aku akan membahagiakannya."

Hotma pun memeluk Mala dengan tangis haru. Ia hanya berharap agar Kama bisa bahagia, itu saja sudah cukup baginya. Walau kebahagiaan Kama tidak bisa hadir karena dirinya.

Karena begitu keras kepalanya Kama, Hotma tidak yakin bisa membawanya pulang. Ia tidak ingin memaksakan keinginannya. Ia hanya berharap semoga anaknya itu baik-baik saja dan suatu saat bisa kembali lagi ke pelukannya.

"Kalau begitu, Ibu akan pulang saja. Ibu titip Kama padamu ya, Mala."

"Iya Bu."

Mereka pun kembali menemui Kama. Martua terlihat telah masuk ke dalam mobil menunggu Hotma.

"Kama, Ibu akan pulang. Ibu selalu menunggu kepulanganmu. Baik-baik di sini ya, Nak," ucap Hotma dengan air mata.

"Hati-hati di jalan, Bu. Sampaikan juga pada Ayah."

"Iya Nak, terima kasih."