Hotma pun masuk ke dalam mobil dengan langkah yang begitu berat. Dengan terpaksa, akhirnya Hotma pergi meninggalkan Kama. Tidak lama setelah Martua dan Hotma pergi, terlihat mata Kama mulai memerah, ia pergi masuk ke dalam rumahnya. Ia terlihat duduk termenung di bangku kayunya. Ia hanya terdiam dengan tatapan kosong. Mala pun menghampiri Kama, ia mencoba untuk menenangkannya. Ia melihat luka luar biasa yang selama ini dipendam oleh Kama.
"Kama, aku di sini. Jangan bersedih lagi," ucap Mala.
Kama pergi mengambil sebotol minuman beralkohol yang ada di kulkasnya. Ia meminumnya dengan bringas. Sampai-sampai air tersebut membasahi kaosnya. Mala sungguh tidak suka melihat perilaku Kama yang selalu mengatasi setiap masalahnya dengan meminum minuman beralkohol. Memang Kama akan melupakan sejenak segala permasalahannya. Tetapi, apakah itu akan menyelesaikan masalahnya? Tentu saja tidak.
"Kama, aku tidak suka melihatmu mabuk-mabukan terus. Mau sampai kapan?"
"Maaf Mala, lebih baik kau pulang. Aku sedang dalam kondisi yang tidak baik kali ini. Aku takut nanti akan melukaimu."
"Tidak, aku akan menemanimu di sini!"
Mala mengambil botol minuman tersebut dari genggaman tangan Kama.
"Mala, apa yang kau lakukan?"
Kama coba mengambil botol minuman itu lagi, tetapi Mala tidak mengizinkannya.
"Tidak Kama, sudah cukup. Aku tidak ingin melihatmu meminum minuman beralkohol ini lagi!"
"Mala, aku memang mencintaimu. Tetapi, maaf, bukan berarti aku harus selalu menuruti apa yang kau mau. Aku tahu apa yang aku lakukan," jawab Kama dengan tegas.
Suasana hening, tidak ada lagi percakapan. Mala terlihat sedih, padahal ia melakukan itu untuk kebaikan Kama. Ia sangat terpukul dengan omongan Kama tadi. Ia tertunduk, menyalakan sebatang rokok. Hisapan demi hisapan ia lakukan untuk menenangkan dirinya.
"Maafkan aku, Mala. Aku sudah memperingatimu. Aku sedang dalam kondisi yang tidak baik," ucap Kama yang merasa bersalah atas perkataannya sebelumnya.
"Iya Kama, aku mengerti."
"Ya, beginilah diriku. Apakah kau menyesal menjalin kasih denganku?"
"Tidak Kama, setidaknya kau tidak bersandiwara kepadaku. Kau tidak menyembunyikan keburukanmu seperti kebanyakan orang. Kau menjadi dirimu sendiri. Aku mengapresiasi itu."
"Sebenarnya aku benci dengan diriku yang terlalu banyak mengeluh. Hidupku dipenuhi dengan segala macam keluhan. Aku tidak pernah bersyukur."
"Semua orang pasti pernah mengeluh kok."
"Tetapi tidak seperti diriku. Dari tadi aku bicara, yang kubicarakan hanyalah tentang keluhan. Mengeluh dan mengeluh lagi. Terkadang aku ingin seperti orang kebanyakan, yang dapat menyembunyikan lukanya dengan sebuah senyuman."
"Lantas, apa guna diriku jika kau menyembunyikan segala lukamu? Aku siap menampung semuanya, Kama."
Mala menggenggam tangan Kama.
Ungkapan tulus dari seorang wanita yang penuh dengan penerimaan. Ia tidak peduli bagaimana sikap Kama. Ia menerima Kama apa adanya. Mungkin ini yang sering dikatakan orang banyak, cinta itu buta. Namun, tiap manusia pasti memiliki titik jenuhnya masing-masing. Sampai kapan Mala dapat bertahan menghadapi segala sikap Kama? Tidak ada yang tahu. Jika cinta sudah ikut serta, segala hal yang mustahil pun bisa menjadi nyata.
Kama tersenyum mendengar jawaban Mala tersebut. Mala benar-benar menjadi penguatnya saat ini. Yang merangkul segala lukanya. Yang mau menerimanya apa adanya. Namun Kama berpikir, "Apakah aku bisa melakukan hal yang sama sepertinya? Aku terlalu egois untuk selalu ingin dimengerti. Sedangkan aku belum tentu bisa mengerti apa yang dirasakannya."
Kama kembali meneguk minuman beralkohol itu. Mala membiarkan saja. Ia hanya berharap semoga suatu saat Kama bisa mengubah perilakunya itu. Ia takut Kama melakukan hal yang dapat merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain ketika dalam keadaan mabuk.
"Kama, hari sudah sore, aku pulang ya."
"Ya sudah Mala, nanti Ayahmu kecarian."
Kama pun bangkit dan membukakan pintu untuk Mala.
"Hati-hati. Sampai jumpa," ucap Kama.
Mala hanya tersenyum kecil dan pergi meninggalkan Kama.