Kama dan Mala pun pergi berjalan menuju halte terdekat. Ya, Kama memang tidak memiliki kendaraan pribadi. Untuk kebutuhan hidupnya saja pas-pasan. Uangnya banyak dihabiskan untuk membeli minuman beralkohol. Dengan muka kurang tidur, ditambah muka Kama yang kelihatan berminyak, Mala memberikan tisu kepada Kama.
"Bersihin tuh muka, udah bisa untuk goreng pisang minyaknya haha," ucap Mala sembari memberikan tisu.
"Iya iya. Bawel," jawab Kama sembari menerima tisu pemberian Mala dan membersihkan mukanya.
"Kan gitu jadi makin ganteng."
Mala tersenyum melihat Kama.
"Mau digimanain juga tetap ganteng," jawab Kama.
Sesampainya di halte, Kama menyalakan rokoknya. Mereka menunggu bus di halte yang tidak terlalu ramai. Mereka bersenda gurau. Suasana begitu harmonis di pagi itu. Tidak lama menunggu, bus kota telah telah terlihat sedang bergerak menuju halte mereka.
"Kama, matikan rokoknya."
"Memangnya kenapa?"
"Kan tidak semua orang terima dengan adanya asap rokok. Banyak juga orang yang risih terhadap asap tersebut."
"Itu kan urusan mereka."
"Tolonglah Kama, terkadang kita perlu menghargai orang lain."
"Oke, aku mematikan rokok ini untukmu, bukan karena ingin menghargai mereka," ucap Kama sembari melemparkan rokonya ke lantai dan menginjak-injaknya dengan sepatu untuk mematikan apinya.
"Kama, sampahnya buang ke tempat sampah dong. Kebiasaan buang sampah sembarangan."
"Iya iya," jawab Kama cuek dan membuang puntungnya ke tempat sampah.
Bus kota telah sampai, mereka pun masuk ke dalam bus tersebut. Kebetulan penumpang bus sedang ramai, tidak ada bangku yang kosong. Mereka berdua terpaksa berdiri di dalam bus menunggu penumpang yang lain turun.
"Kuat kan, Kama?"
"Aku tidak usah ditanya. Kau kuat tidak? Kalau tidak, biar aku suruh berdiri pemuda yang sedang duduk santai di belakang sana. Wanita lebih berhak untuk duduk."
"Sudahlah Kama, jangan membuat keributan."
"Keributan bagaimana? Aku kan bicara yang benar. Wanita seharusnya lebih diutamakan daripada lelaki ketika dalam kondisi seperti ini."
"Udah udah, aku kuat kok."
"Yaudah kalau kuat, awas kalau ngeluh ya."
"Dasar, jadi lelaki tidak ada lembut-lembutnya," ucap Mala berbisik-bisik.
"Apa kau bilang?" tanya Kama.
"Tidak ada, hanya suara angin lewat," jawab Mala kesal.
Kama pun tidak terlalu menghiraukan jawaban Mala tersebut. Ia sibuk memandang ke kaca bus untuk melihat pemandangan kota. Memang kota ini hanyalah kota kecil. Tetapi untuk masalah pengelolaan, bisa dibilang pengololaannya cukup baik. Taman ditata dengan indah. Insfrastruktur juga sangat baik. Kau tidak akan menemukan jalan berlubang di kota ini. Ditambah lagi dengan banyaknya pepohonan rimbun yang tumbuh subur di kota, sehingga membuatnya tampak hijau dan begitu sejuk.
Bus telah sampai di halte berikutnya. Beberapa orang terlihat meninggalkan bus, sehingga menyisakan cukup banyak bangku yang kosong. Kama menarik tangan Mala untuk duduk di pojok paling belakang. Hitung-hitung bisa menikmati perjalanan sambil bermesraan, pikir Kama. Kama menggenggam tangan Mala, kebetulan juga hari masih begitu dingin. Cukup efektif untuk menghangatkan di dinginnya hari.
"Mala, bisakah kau mengatakan kepada supir untuk berjalan lebih lambat saja?"
"Memangnya kenapa, Kama?"
"Aku ingin menikmati momen indah ini lebih lama lagi, bersamamu tentunya."
"Dasar penyair gadungan."
Mereka pun asyik tertawa bersama di dalam bus. Bersenda gurau di sepanjang perjalanan. Sampai tidak terasa, akhirnya telah tiba di halte pemberhentian mereka. Mereka pun membayar ongkos dan turun di halte tersebut. Perjalanan belum usai, mereka harus berjalan kaki kira-kira lima belas menit lagi untuk sampai di rumah Paman Mala.