Mala dan Kama memasuki sebuah daerah yang cukup ramai. Tangan Mala tidak pernah lepas dari genggaman Kama. Mereka berjalan dengan begitu mesra membelah keramaian jalan. Semua pandangan terpaku kepada mereka. Kama tidak menghiraukan. Sudah pasti mereka mempermasalahkan penampilan Kama, apalagi dengan tato di tangannya yang dapat dilihat dengan jelas ketika ia hanya mengenakan kaos lengan pendek seperti sekarang ini. Ya, orang-orang sering mengaitkan tato dengan pelaku tindakan kriminal, padahal kenyataannya tidak selalu begitu.
Setelah berjalan kira-kira lima belas menit, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang sederhana. Tidak cukup besar, dengan pekarangan kecil yang dipenuhi oleh bunga. Warna-warni yang menghiasi menjadi kesan pertama ketika melihat rumah tersebut. Mereka membuka pagar dari bambu dan berjalan membelah lautan warna-warni itu dan kemudian mengetuk pintu. Seorang lelaki memakai kemeja putih yang telah memudar membukakan pintu. Mala langsung memberikan rasa hormat kepada lelaki tersebut dengan menjabat tangannya.
"Sudah lama kau tidak datang ke sini Mala," ucap Tongku.
"Aku baru saja menyelesaikan kuliahku Paman. Maafkan aku yang terlalu sibuk sehingga tidak sempat mengunjungi Paman."
"Tidak apa-apa Mala, setidaknya kau tidak lupa kepada Pamanmu."
"Aku tidak akan lupa Paman. Oh iya, bibi di mana ya? Tidak kelihatan."
"Ia tadi pergi belanja ke pasar, sebentar lagi juga akan pulang. Ya sudah, ayo masuk dulu."
"Oh iya Pak, perkenalkan, namaku Kama," ucap Kama sembari mengulurkan tangannya.
"Oh iya Kama, aku Pamannya Mala. Ya sudah, kita di dalam aja ngobrolnya."
Mereka pun masuk ke dalam rumah tersebut. Terdapat meja dan bangku dari anyaman bambu di ruang depan, mereka duduk dengan nyaman di sana. Terlihat isi rumah yang berantakan, debu yang menumpuk tebal di sudut-sudut ruangan, dan sarang laba-laba yang membentang pada langit-langit rumah. Mala terkejut melihat kekacauan tersebut. Seingatnya, ketika terakhir kali ia berkunjung rumah tersebut sangat bersih dan rapi.
"Oh iya Kama, kau baru pertama kalinya ke rumah ini," ucap Tongku.
"Hehe iya Pak, tadi Mala yang mengajakku ke sini."
"Kau temannya Mala atau kekasihnya?"
"Tentu saja kekasihnya Pak," jawab Kama sembari tersenyum.
"Aku hanya ingin berpesan kepadamu, Kama. Jangan sampai kau menyakiti Mala, sebab aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu," ucap Tongku dengan senyum yang menyeramkan.
"Tidak akan Pak, aku akan membahagiakannya," jawab Kama dengan santai seolah tidak takut dengan ancaman Tongku tersebut.
"Maaf memotong pembicaraan Paman dengan Kama, aku merasa ada yang berubah di rumah ini," ucap Mala dengan hati-hati, ia takut menyinggung hal yang sensitif.
"Berubah bagaimana Mala?"
"Mungkin Paman lebih tahu."
"Tidak ada yang berubah Mala, masih seperti yang dulu."
"Aku tahu ada yang Paman tutupi. Apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Mala memberanikan diri, ia merasa ganjil dengan keadaan rumah Pamannya.
"Tidak ada Mala."
"Ayolah Paman, apa yang kau sembunyikan dariku?"
"Haha, ternyata kau sudah besar Mala."
"Maksud Paman?"
"Kau melihat bunga-bunga di luar Mala, indah bukan?"
"Ya, aku melihatnya."
"Apakah kau menyukainya?"
"Aku menyukainya."
"Baguslah kalau kau menyukainya, semoga orang lain juga memiliki pendapat yang sama."
"Paman, jangan melencengkan pembicaraan."
"Aku tidak melencengkan pembicaraan."
"Paman sama sekali tidak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi."
"Mala, bunga-bunga di luar memang tampak begitu indah, tetapi semua itu hanya untuk menutupi kehancuran yang ada di dalam rumah ini."
"Maksud Paman?"
"Ya, sama seperti dirimu yang merasa asing dengan rumah ini. Rumah ini memang sedang tidak baik-baik saja. Maafkan aku yang berbohong tentang Bibimu tadi, sebenarnya kami telah berpisah setahun yang lalu."
"Apa? Berpisah?"
"Cinta tidak bisa dipaksakan Mala. Aku memang sangat mencintainya, bahkan momen terindah dalam hidupku adalah ketika bisa menikahinya. Tetapi Mala, tidak ada kisah yang lebih indah dari dua insan yang saling mencintai. Ketika hanya sepihak yang berjuang, semuanya akan kandas."
"Maksud Paman, Bibi tidak pernah mencintai Paman?"
"Ya, benar sekali. Ia tidak pernah mencintaiku. Bahkan ia hanya terpaksa menikahiku atas keinginan Ayahnya. Ia dijodohkan denganku, Mala. Aku berpikir kalau cinta bisa hadir karena terbiasa, nyatanya aku salah, itu tidak selalu terjadi. Ia hanya sekedar merasa memiliki tanggung jawab atas pernikahannya. Segala sesuatu yang terjadi karena keterpaksaan tidak akan membuahkan hasil yang indah, Mala."
Bertolak belakang dengan Ibu Mala yang hanya sekolah sampai sekolah dasar. Tongku termasuk orang yang berpendidikan. Bahkan ia memperoleh gelar sarjana dalam bidang pertanian. Mantan mertuanya adalah dosennya ketika masih kuliah. Kebetulan Tongku adalah mahasiswa yang rajin sekaligus pintar. Ia adalah mahasiswa kesayangan dari mantan mertuanya tersebut. Itu yang menyebabkan mengapa mereka sampai bisa dijodohkan.
"Jadi, bagaimana kabar Bibi sekarang?"
"Ia memilih menjalin kisah lamanya yang belum usai. Ia menikah dengan mantan kekasihnya, Mala. Jujur aku sedih sekaligus bahagia. Karena kini aku bisa melihat senyum tulusnya yang selama ini belum pernah kulihat sebelumnya. Aku sangat jahat Mala. Aku menjadi penghambat kisah cinta mereka."
"Tetapi Paman, bukankah itu terdengar konyol? Paman mengikhlaskan Istri Paman kepada orang lain. Itu sungguh aneh, Paman."
"Kau tidak akan mengerti sebelum merasakannya sendiri, Mala. Memang itu terdengar konyol, bahkan itu adalah tindakan yang sangat bodoh bagi kebanyakan orang. Tetapi, apa artinya sebuah hubungan jika tidak ada kebahagiaan? Bukankah cinta seharusnya memberi rasa bahagia? Aku sudah terlalu egois dalam beberapa tahun terakhir ini. Aku memang bahagia, namun itu hanya sepihak. Ia sangat menderita Mala, aku begitu jahat kepadanya."
"Lantas, setelah Paman melepaskannya, apa yang akan Paman lakukan ke depannya? Mencari penggantinya?"
"Tidak Mala, tidak ada wanita lain yang bisa kucintai selain dirinya. Biarlah aku menua dan mati dalam kesepian ini. Ini balasan yang pantas untukku. Setidaknya ia telah memberikan kebahagiaan yang tidak akan tergantikan oleh siapapun bagiku."
"Tetapi Paman, lihatlah keadaan Paman sekarang. Lihat juga bagaimana kacaunya rumah ini. Paman butuh seorang istri."
"Haha, jangan bergurau Mala. Tidak akan ada yang bisa mengagantikan dirinya. Lagi pula aku juga sudah berumur. Bahkan sampai mati pun waktuku masih belum cukup untuk mengenang dirinya."
Mala tidak menjawab lagi, ia cukup sedih melihat nasib Pamannya. Namun bagaimanapun, itu adalah jalan yang dipilihnya. Ia tidak berhak untuk ikut campur lebih jauh. Ia yakin Pamannya akan baik-baik saja dengan segala kenangannya. Ia hanya berharap semoga Pamannya selalu bahagia.