Kama menggenggam tangan Mala. Tidak lupa ia memberikan kecupan lembut pada keningnya. Mereka pun berjalan layaknya seorang kekasih pada umumnya. Jalanan yang cukup sunyi menambah keromantisan mereka. Tidak ada tatapan sinis yang biasanya menghantui. Mereka hanya berdua, melangkah bersama melewati jalan setapak tua.
"Kau senang?" tanya Kama.
"Tentunya, tetapi.."
"Tetapi apa?"
"Apakah kita bisa menikmati semua ini dalam jangka waktu yang panjang?"
"Hmm, aku tidak bisa menjamin."
"Kenapa?"
"Aku bukan Tuhan," ucapnya tersenyum.
"Itu bukan jawaban, Kama."
"Ya, nyatanya memang begitu. Kita tidak tahu sampai kapan kita hidup di dunia ini."
"Andai salah satu dari kita mati, apa yang harus dilakukan?"
"Tentunya saling mengikhlaskan. Bukankah kita memang tidak akan bisa bersama untuk selamanya? Tetapi, seperti yang pernah kukatakan, cintaku akan abadi menemani."
"Hmm, aku tidak siap untuk itu."
"Kau harus belajar dari sekarang, begitu pula denganku. Kita harus belajar untuk saling mengikhlaskan."
Mala terhening. Angin sepoi-sepoi menerpa mereka. Cahaya matahari masuk dari sela-sela daun pepohonan, seperti membuat pola pada setapak jalan tua yang mereka lewati. Ia terhenti ketika Sungai Lara sudah mulai terlihat.
Mala pun berlari meninggalkan Kama. Ia berlari dengan semangat. Air yang begitu jernih, dengan bebatuan yang menghiasi sungai sungguh membuatnya riang. Ia duduk di salah satu batu besar yang berada di pinggir sungai. Ia meletakkan kakinya di sungai, membiarkan air tersebut membasahi kakinya.
"Kau seperti anak kecil saja," ucap Kama tertawa. "Kenapa kau tampak seperti asing dengan tempat-tempat yang ada di kota ini? Bukankah kau besar di sini?"
"Kama, sejak kecil aku tidak diberi kebebasan oleh Ayahku, ia selalu mengawasiku. Aku baru bisa merasakan hidup bebas sewaktu kuliah, itu pun karena kebetulan kampusku berada di luar kota."
"Hmm begitu," jawab Kama singkat.
Kama menyalakan rokoknya, ia menawarkannya kepada Mala.
"Apakah kau mau?" tanya Kama.
"Boleh."
Kama pun melemparkan bungkus rokok tersebut kepada Mala. Mala mulai membukanya dan menyalakannya. Dihembuskannya asap yang menenangkan itu. Susana menjadi semakin nyaman.
"Kenapa kau tidak pernah merokok di depan umum?"
"Wanita yang merokok selalu dianggap buruk. Aku juga bingung melihat mereka yang menganggap itu tabu. Memang apa salahnya? Pemikiran mereka terlalu sempit."
"Lantas karena takut dianggap buruk, kau pun tidak berani merokok di depan mereka?"
"Aku tidak terlalu memikirkan itu, dianggap buruk pun aku tidak masalah. Aku hanya menjaga nama baik Ayahku. Aku takut ia kecewa."
"Dari mana kau tahu ia akan kecewa?"
"Aku hanya menerka, tetapi aku cukup yakin dengan pendapatku itu."
"Baiklah kalau begitu."
Mala terdiam.
"Oh iya, kau tahu? Di saat aku benar-benar suntuk, aku sering menenggelamkan kepalaku di sungai ini. Itu cukup menyegarkan."
"Apakah kau sedepresi itu, Kama?" tanya Mala.
"Aku tidak tahu. Aku depresi atau tidak pun, aku tidak peduli. Aku hanya melihat luka di seluruh hari-hariku."
"Luka? Maksudmu?"
"Ya, batinku terluka setiap harinya."
"Karena?"
"Karena pikiranku sendiri, aku terlalu banyak menerka-nerka sesuatu yang bahkan belum tentu terjadi."
"Kalau kau sudah tahu penyebab segala lukamu, mengapa kau masih melakukannya?"
"Aku tidak pernah menginginkan itu semua, pikiran itu sendiri yang datang menyerangku, mereka seperti pembunuh bayaran, yang siap mengincarku kapan pun itu."
"Dan itu alasanmu memilih mabuk-mabukan sampai saat ini?"
"Ya, itu cukup membantu untuk mengosongkan pikiranku, walau hanya sekejap."
"Hmm, hentikan semua itu Kama."
"Aku selalu berusaha, doakan saja."
"Lantas, apa defenisi bahagia bagimu, Kama?"
"Kebahagiaan ya, hmm. Seperti ketika aku menulis, aku merasa bahagia melakukannya, walaupun sebenarnya aku menuliskan jutaan luka. Aku cukup bingung dengan pertanyaanmu. Apakah kebahagiaan yang utuh itu memang ada? Aku rasa itu hanyalah dongeng belaka. Itu tidak benar-benar ada."
"Ada! Buktinya kini aku bahagia bisa menghabiskan waktu bersamamu."
"Jangan terlalu naïf. Kau memang bahagia. Namun di balik semua kebahagiaanmu, kau juga menderita. Penolakan Ayahmu atas hubungan kita, misalnya. Kebahagiaan dan kesedihan itu begitu dekat, mereka tidak bisa dipisahkan."
Terlihat seorang Ayah dan anaknya menyeberangi sungai. Tampaknya mereka habis selesai berburu. Mereka menggotong seekor rusa. Senyum bahagia terpancar jelas. Mereka tampak begitu akrab.
"Anak itu sungguh beruntung," ucap Kama.
"Kenapa?"
"Ya, ia bisa begitu akur dengan orang tuanya," ucap Kama sembari tersenyum.
Mala tidak ingin menanggapi. Ia takut salah kata. Menurutnya, pembahasan soal keluarga termasuk hal yang sensitif untuk Kama. Ia tidak ingin melukai perasaan Kama. Beberapa kali Kama membahas masalah keluarganya, dan terlihat dengan jelas dari ekspersinya kalau ia begitu terluka.