Kama kali ini tidak ingin menemui Mala. Suasana juga masih belum kondusif. Ia menghabiskan waktu di rumah dan menyelesaikan beberapa pekerjaannya. Ia duduk di kursi kayu sembari menghisap rokok. Tak lupa kopi panas ia sediakan di atas mejanya. Laptop telah menyala. Ia mulai melanjutkan pekerjaannya.
Dalam menuangkan karya-karyanya. Ia benar-benar memikirkan dengan detail kata per kata yang ia gunakan. Karena baginya, tulisannya adalah harga dirinya. Jarinya terus mengetik. Rokok pun tak pernah lepas dari jarinya. Ketika ia menulis, ia seperti terbawa ke dunia lain. Ya, dunia khayalnya. Ia selalu menikmatinya, bahkan ia akan merasa sangat terusik ketika mendengar suara-suara yang mengganggu.
Hidup dari menulis tentunya membutuhkan perjuangan yang panjang. Apalagi tingkat minat membaca masyarakat yang masih sangat rendah. Sebelum terkenal seperti sekarang, tulisannya dulu sering ditolak oleh penerbit. Bahkan ia pernah membakar karya yang dianggapnya gagal. Namun, semua itu berakhir dengan penyesalan. Tak ada juga gunanya membakar sesuatu yang telah ia buat dengan cinta di tiap katanya. Mau bagaimanapun, itu tetaplah karyanya.
Waktu telah menunjukkan pukul 17:30. Ia mendengar ada seseorang yang mengetok pintu rumahnya. Ia cukup curiga. Ia takut kalau itu adalah orang yang mengeroyoknya kemarin. Ia mengambil tongkat baseball yang sudah ia sediakan sebelumnya.
Perlahan ia membuka pintu. Tentunya dengan satu tangannya lagi yang sudah antisipasi untuk menyerang kalau memang mereka orangnya.
"Mala?" ucapnya terkejut.
"Kemana saja kau semalam? Itu kau pegang tongkat baseball untuk apa?"
"Eh, gak ada. Masuk masuk."
Ia meletakkann tongkat baseballnya dan menutup pintu.
"Kemana saja kau? Kau belum menjawab pertanyaanku."
"Itu tidak penting Mala."
"Tidak penting bagaimana?"
"Ya, tidak penting. Sudahlah, tidak perlu juga kau bahas."
"Aku ini kekasihmu, Kama. Aku berhak tahu."
"Mala, aku bisa menjaga diriku sendiri. Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu semua. Sekarang aku aman."
"Kama, ada sesuatu hal yang ingin ku bicarakan."
"Membicarakan apa?"
"Sepertinya kita harus mengakhiri hubungan kita," ucap Mala.
"Maksudmu? Kau ingin meninggalkanku?"
"Iya Kama, aku tidak ingin kau tersiksa."
"Dengarkan Mala, lebih baik aku mati daripada harus menyerah dengan keadaan."
"Kama, aku menyangimu, begitu juga kepada Ayahku. Aku tidak ingin ada yang tersakiti di antara kalian berdua."
"Bukankah kalau kau meninggalkanku itu sama saja menyakitiku?"
"Justru jika kau bertahan denganku, itu malah akan membuatmu semakin tersiksa. Aku tidak menginginkannya."
"Mala, aku akan tetap bersamamu. Terserah kau mau bilang apa. Kita bisa melewati ini semua. Percayalah."
"Tetapi Kama.."
"Mala, mohon dengarkan. Semua akan baik-baik saja. Mengerti?" ucap Kama menggenggam tangan Mala untuk meyakinkan. "Seandainya aku mati pun, cintaku akan abadi menemani. Kau tidak akan pernah sendiri. Ingat itu."
Mala pun memeluk Kama dengan tangisan yang sejak tadi berusaha ditahannya.
"Sudahlah, jangan menangis lagi. Aku tidak ingin melihatmu bersedih. Tolong," ucap Kama menenangkan sembari membalas pelukan Mala.
"Kama, aku lelah dengan semua ini."
"Kau tidak perlu berhenti. Kau hanya butuh istirahat."
"Aku ingin istirahat di pelukanmu," ucapnya dengan mata yang sayu.
"Ya, kini kau telah di pelukanmu. Tak ada yang perlu kau khawatirkan lagi."
Kama menatap wajah Mala yang dipenuhi dengan air mata. Ia menghapusnya dengan tangannya. Ditatapnya mata Mala yang penuh harap itu.
"Semua akan baik-baik saja," tutup Kama.