Matahari telah menunjukkan dirinya. Mala pun terbangun. Ia kemudian bersiap-siap untuk pergi bekerja. Sebagai pegawai kantoran, ia harus terbiasa dengan rutinitas yang super padat. Apalagi ia baru saja bekerja, sebelumnya hanya mahasiswa biasa, yang masih bisa berleha-leha dan menikmati dunia.
Setelah selesai bersiap-siap, ia pun segera berangkat bekerja. Ketika Mala ingin menutup pintu rumah, terdengar Ayahnya memanggil. Perasaanya mulai tidak enak. Tetapi, sebagai anak ia harus tetap mendengarkan.
"Mala."
"Iya Yah?"
"Aku tidak ingin melihatmu dengan berandalan itu lagi."
Mala terdiam.
"Apakah kau tidak mendengarkanku?"
"Aku mendengarkanmu Yah."
Mala pun langsung menutup pintu.
Hari masih begitu dingin, namun hati Mala telah membara. Ia tidak tahu harus apa lagi. Ia benar-benar merasa sudah buntuh. Ada dua pria yang harus ia pilih. Dan ia tidak ingin melukai salah satunya. Ia sadar, kedua lelaki tersebut sangat menyayanginya. Tetapi, bagaimana caranya untuk membuat mereka bersatu? Ini terlalu sulit.
"Apakah aku harus meninggalkan Kama?" gumamnya.
Ia terus melangkah.
"Setelah ini, apakah akan ada kejadian yang lebih parah lagi? Aku tidak ingin Kama terus-terusan tersiksa."
Ia semakin khawatir.
Sesampainya di kantor, ia hanya duduk merenung. Pekerjaan yang menumpuk sudah menunggu, tetapi ia mengabaikannya beberapa saat. Ia merasa kehilangan semangat. Mengapa kedua pria yang disayanginya tidak bisa bersatu? Ia terus memikirkannya. Di sela-sela keresahannya, terdengar ketukan pintu. Mala pun membukakannya.
"Boleh masuk?" tanya Arvin.
"Boleh, silahkan."
"Data yang disuruh kerjain udah selesai belum?"
"Astaga, belum. Aku lagi pusing Vin, gak bisa fokus."
"Kau sakit?"
"Lagi banyak pikiran saja."
"Hmm, memangnya ada apa?"
"Aku belum siap untuk menjawabnya, Vin. Aku sedang butuh ketenangan."
"Ya sudah kalau gitu. Aku keluar saja ya. Jangan lupa selesaikan datanya."
"Oke Vin. Maaf ya. Terima kasih sudah mengingatkan."
Arvin pun berlalu.
Ia coba fokus ke pekerjaannya. Tanggung jawab tetaplah tanggung jawab. Ia harus professional. Urusan pribadi jangan dibawa ke pekerjaan. Ia membuka tasnya untuk mengambil beberapa data yang telah dibawanya dari rumah, ia menyempatkan diri membuka dompet yang ada di dalam tasnya. Membuka dompet sebelum melakukan sesuatu yang berat adalah kebiasaan sehari-harinya. Bukan tanpa sebab, tetapi karena di situ ia menyimpan foto Jaya. Melihat foto Jaya selalu ampuh membangkitkan semangatnya. Namun tidak untuk kali ini, bukan rasa semangat yang ia dapatkan, tetapi rasa sedih yang mendalam. Ia pun menangis. Ia kembali teringat. Tanggung jawab tetaplah tanggung jawab. Ia pun melanjutkan pekerjaannya dengan deraian air mata.