Sesampainya di kantor, kali ini Mala langsung menyelesaikan segala pekerjaannya. Dengan semangat ia menyelesaikannya. Bukan tanpa alasan, ia ingin pekerjaannya cepat selesai dan bisa santai untuk kembali melanjutkan bacaannya kemarin yang belum selesai. Buku Kama benar-benar membuatnya terpukau.
Di buku tersebut ada kalimat yang Kama tuliskan, "Aku tidak suka dengan keberadaan manusia yang sama sekali tidak penting bagi kehidupanku, mereka hanyalah benalu yang akan menggerogoti diriku. Cukup dengan beberapa manusia yang sesuai, maka aku akan merasa damai."
Mala coba memahami kalimat itu. "Apakah aku termasuk manusia yang sesuai? Jika iya, apa alasannya? Hmm," Mala menggumam. Terdengar suara ketokan pintu dari luar, Mala pun membukanya.
"Eh Arvin, ada apa ya Vin?"
"Sudah dapat belum tanda tangannya?"
"Astaga, aku lupa. Nanti kalau jumpa aku minta ya."
"Oke deh Mala. Oh iya, lagi asyik tuh baca bukunya, kemakan cakap nih."
"Gak ada kerjaan aja."
Mala coba mengelak.
"Ya sudah, kalau sudah dapat, kabarin ya."
"Oke Vin."
Mala menutup pintu.
Ia merasa perkataan Arvin tadi benar. Ia benar-benar termakan cakap. Ini menjadi pelajaran penting baginya untuk tidak terlalu cepat menilai seseorang. Ia sangat malu. Seperti menjilat ludah sendiri. Tetapi tetap saja, itu jadi pelajaran yang berharga.
Ia coba membuka sosial medianya. Ia penasaran dengan perkataan Arvin kemarin. Seterkenal apa sih Kama di luar sana? Ia coba kulik. Ia membuka beberapa akun tentang sastra, dan benar saja, dari beberapa akun yang ia lihat, ia melihat jelas karya-karya Kama terpampang dengan berbagai macam pujian. Ia semakin malu. Kemarin baru saja ia menghinanya, sekarang ia malah jatuh cinta. Hmm, kadang hidup bisa se-labil itu.