Tak ada kegiatan yang berarti selama penantiannya, selain melempar batu ke telaga, ia hanya terus melanjutkan hisapan rokoknya sembari menunggu kedatangan Mala. Dua belas menit pun berlalu begitu saja, rokok yang di berada jari Kama sudah hampir habis, tetapi tanda-tanda kembalinya Mala belum terlihat. Ia kembali mengambil batang rokok yang baru dan kemudian membakarnya. "Masih ada tiga menit lagi," ucap Kama penuh harap. Ia meneruskan hisapan rokoknya sembari menatap tenangnya telaga.
Lima belas menit pun akhirnya berlalu, penantian Kama berakhir dengan sia-sia. Tak ada tanda-tanda kedatangan Mala. Bahkan tak cuma Mala, matahari pun kini perlahan mulai meninggalkannya. Ia pun konsisten dengan perkataannya, ia memilih untuk pergi meninggalkan taman tersebut. "Ia belum mencintaiku," ucapnya. "Tetapi tidak masalah, ini baru awal."
Kama pun keluar dari taman dengan rasa kecewa, wajahnya terlihat murung, ternyata semua tidak berjalan sesuai ekspektasinya. Ia melalui jalan setapak yang sebelumnya ia lewati bersama Mala. Kondisi juga mulai semakin gelap, ia mempercepat langkahnya. Dalam perjalanannya untuk pulang, tiba-tiba saja pandangan Kama beralih kepada wanita sedang berjalan dari arah yang berlawanan dengannya. Wajahnya masih terlihat samar, faktor cahaya yang sudah semakin minim. Wanita itu semakin mendekat, terus mendekat, dan langsung memeluk Kama.
"Aku mencintaimu, Kama."
"Akhirnya kau mengikuti kata hatimu, walau kau terlambat untuk kembali beberapa menit," jawab Kama dengan bergurau.
"Aku memang tidak menyukai sikapmu, tetapi di satu sisi, aku telah jatuh cinta kepadamu, aku bingung dengan peraasaanku ini," ucap Mala dengan tangisan. "Kau tidak main-main dengan semua ini kan, Kama?"
"Jika aku sampai mempermainkanmu, kau bisa membunuhku kapan pun kau mau. Aku tidak pantas hidup kalau sampai aku melakukan hal yang begitu hina itu."
"Aku pegang janjimu?"
"Ya, memang seharusnya begitu."
Mala pun mengeratkan pelukannya dengan senyuman yang diiringi air mata.
"Sudah, jangan nangis lagi, hari sudah gelap, kita pulang saja."
Mala menjawabnya dengan senyuman sembari meneruskan perjalanan.
"Kama, kenapa kau sering mabuk-mabukan? Aku tidak suka melihatnya."
"Kau kira aku melakukan semua itu hanya untuk gaya-gayaan? Tidak Mala, aku hanya ingin membunuh segala rasa sepiku. Namun, aku selalu gagal. Kesepian itu akan kembali hadir ketika aku sudah sadar. Itu menjengkelkan."
"Kini aku telah bersamamu, apakah kau masih kesepian?"
"Kau cukup mengobati, tetapi tidak dengan rinduku kepada orang tuaku."
"Ada apa dengan orang tuamu?"
"Sebenarnya aku telah lama pergi meninggalkan mereka. Aku merasa kalau kami sudah tidak sejalan. Aku memang bajingan! Tetapi, aku juga berhak untuk bahagia."
"Aku tidak paham apa maksudmu."
"Aku adalah anak dari keluarga konglomerat di Aloga. Mereka menginginkanku untuk meneruskan langkah mereka menjadi pengusaha. Tetapi, aku merasa tidak akan menemukan kebahagiaanku dengan cara itu. Itu hanya menyiksaku. Aku ingin menjadi penulis. Namun, mereka tidak mengizinkan. Aku dianggap tidak memiliki masa depan. Mereka terlalu menyepelekanku. Mereka mengira jika aku nantinya kaya raya dengan melanjutkan perusahaan mereka, maka aku akan bahagia. Nyatanya tidak! Kebahagian mereka belum tentu sesuai dengan kebahagiaanku."
Mala cukup terkejut mendengar jawaban dari Kama.
"Sekarang bagaimana hubunganmu dengan orang tuamu?"
"Mereka sering menghubungiku, bahkan mencariku. Namun, aku tidak menghiraukannya. Jujur, aku sangat merindukan mereka. Tetapi, tidak dengan segala keinginannya."
"Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Berhenti menyiksa dirimu. Kini aku bersamamu."
Mala coba menenangkan.
"Makasih Mala."