Kama terus menggenggam tangan Mala. Mala pun hanya bisa mengikuti kemauannya. Ia terus mengikuti arah tarikan Kama. Mereka melewati jalan setapak yang tidak terlalu ramai. Perasaan Mala tentunya sangat waswas. Ia bingung akan dibawa ke mana oleh Kama? Cukup jauh ia di bawa oleh Kama, hingga akhirnya Kama pun berhenti dan mengajak Mala untuk duduk. Mereka singgah di Taman Nauli. Di situ ada telaga yang cukup jernih, ditambah lagi dengan pepohonan rimbun yang berada di sekitar telaga, sangat sejuk tentunya untuk bersantai. Kama pun melontarkan pertanyaan kepada Mala.
"Apakah kau telah mencintaiku?"
Mala hanya terdiam. Kama langsung merangkul dan mengecup kening Mala. Sontak Mala pun terkejut atas perlakuan Kama.
"Kau memang diam. Tetapi aku tahu kalau kau telah mencintaiku. Kau masih terlalu lugu. Matamu tidak bisa berbohong kepadaku."
"Siapa lelaki ini? Kenapa ia bisa membaca segala gerak-gerikku? Aku bisa takluk semudah ini. Aku tidak bisa melawan. Apa aku benar-benar sudah jatuh cinta kepadanya?" ucap Mala dalam hati.
"Kenapa hanya diam saja? Kau sedang memikirkanku?"
Lagi-lagi Mala hanya bisa membisu. Kama mengetahui segalanya. Mala membenci itu. Ia tidak bisa mengelak lagi.
"Ayo kita pulang," ucap Mala lembut.
"Pulang? Kau tidak ingin bermesraan denganku? Sudah kubilang, berhenti membohongi hatimu."
Kama pun memeluk Mala dengan erat.
"Aku menyangimu, teruslah bersamaku," ucap Kama.
Mala kemudian memberanikan diri untuk bicara. Ia merenggangkan pelukan Kama. Ia pun bertanya, "Sebenarnya apa maumu?"
"Mauku? Itu pertanyaan konyol. Tentu saja aku ingin memilikimu seutuhnya."
"Kita baru kenal dua hari, sekali lagi aku tegaskan, dua hari. Ini mustahil terjadi. Apakah kau melakukan ini kepada semua wanita?"
Kama melepaskan pelukannya, ia meluruskan kakinya. "Aku tipe pria yang sulit untuk jatuh cinta. Sudah bertahun-tahun aku menginjakkan kaki di kota ini. Dan aku baru mencintai dirimu."
"Katamu kau sulit untuk jatuh cinta, lantas apakah semua ini kau anggap sulit? Bagiku itu terlalu mudah Kama."
"Kau takkan pernah mengerti sebelum kau mengenalku lebih dalam," ucapnya tersenyum.
Mala pun semakin bingung melihat sikap Kama. Ia benar-benar curiga. Ia takut kalau ia hanya dipermainkan oleh Kama.
"Apa kau masih meragukanku?" tanya Kama.
"Tentu saja!" tegas Mala.
"Haha, pembuktian seperti apa lagi yang kau inginkan? Yang saling cinta akan memilih untuk bersama, dan aku telah menentukan pilihan itu kepadamu."
"Tetapi, ini terlalu cepat Kama."
"Ya, benar. Ini terlalu cepat. Namun, itu sangat bagus. Semakin cepat pula kita akan merasakan kebahagiaan."
"Kau tampak terlalu yakin."
"Bisa bertemu denganmu saja aku sudah bahagia, apalagi hidup bersamamu. Jangan bercanda."
Mala terdiam.
"Jadi bagaimana? Apakah kau menerima bajingan ini hadir dalam hidupmu?"
Mala tetap tidak mau menjawab.
"Ya sudah, aku juga tidak membutuhkan jawabanmu. Sebisu apapun dirimu, aku mengetahui kalau kau telah setuju menjadi kekasihku."
Kama kembali memeluk Mala. Seketika kesepian yang selama ini mengirisnya menghilang. Mala menjadi penenang baginya, sekaligus pemenang di hatinya.
"Hentikan semua ini Kama," ucap Mala sembari mendorong Kama.
Mala coba berlari, namun Kama mengejarnya. Dengan kecepatan lari yang begitu lambat, Kama pun dapat menghentikan Mala dengan sangat mudah.Mala mulai menangis, ia sudah tidak kuat dengan semua perlakuan Kama. Itu sungguh menjadi beban pikiran baginya.
"Jika kau memang benar-benar mencintaiku, tolong lepaskan aku!" bentak Mala.
"Jika itu yang kau inginkan, akan kulakukan. Tetapi, jika kau benar-benar telah mencintaiku, kau akan kembali lagi ke sini dalam waktu lima belas menit, aku tunggu."
Kama pun menghapus air mata Mala dengan tangannya, lalu membiarkan Mala untuk untuk pergi. Ia pun duduk di pinggir telaga sembari menyalakan rokoknya. "Gengsi sering kali merubah segalanya menjadi lebih buruk," ucap Kama usai melihat sikap dari Mala. Ia mengambil batu dan melemparkannya ke telaga untuk melampiaskan kekesalannya.