Kama dan teman-temannya menghabiskan waktu sampai cahaya menyilaukan tersebut pun tiba. Semua pun pergi untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Dalam perjalanan pulang, Kama berhenti di lokasi dirinya pingsan sebelumnya. Ia menunggu Mala, ia yakin Mala akan melewati jalan itu. Kurang lebih setengah jam ia duduk menyender di sebuah pohon, hingga akhirnya Mala pun terlihat. Dengan segera, ia pun menghampiri Mala yang tampak masih mengantuk.
"Mala," ucap Kama.
"Kama? Sedang apa kau di sini?"
"Aku menunggumu."
"Buat apa?"
"Sepulang kerja aku akan menunggumu di tempat biasa."
"Ada apa lagi? Kau mabuk lagi ya?"
"Sudah, tak perlu kau pikirkan. Sampai jumpa," ucap Kama sembari tersenyum.
Kama pun pergi meninggalkan Mala dengan senyuman yang menyeramkan. Mala benar-benar tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk mengatasi Kama. Ia tak bisa merasa tenang. Ia merasa seperti diawasi. Kama terus menghantui dirinya. Dengan pikiran yang tak menentu, ia melanjutkan perjalanannya menuju kantor.
Di tengah perjalanan, ia melihat tumpukan botol minuman keras yang dibiarkan berserakan begitu saja. Ia yakin itu adalah ulah Kama dan teman-temannya. Ia pun menghela nafas. Masih seperti tidak percaya mengapa ia sampai bisa berkenalan dengan Kama.
Sesampainya di kantor, ia masih memikirkan kegaduhan apalagi yang akan dilakukan Kama nantinya. Mala sangat membenci kekerasan. Ia sangat tidak menyukai sikap Kama yang begitu brutal. Ia berharap semoga Kama tidak benar-benar hadir. Namun, melihat kejadian yang kemarin, ia merasa ragu. Tampaknya Kama tidak akan ingkar, ia akan menepati perkataannya, dan itu membuat Mala semakin pusing.
Salah seorang teman Mala masuk ke dalam ruangannya. Ia adalah Arvin Mahardika. Kebetulan ia adalah seseorang yang hobi membaca, tentunya ia mengenal Kama. Ketika Mala kemarin bersama dengan Kama, ia melihatnya.
"Ada apa Vin?"
"Kau mengenal Kama?"
"Emang kenapa?"
"Ia adalah idolaku. Aku melihatmu bersama dengannya kemarin."
"Idola? Memangnya ia siapa?"
"Wah, kau tidak tahu? Ia adalah seorang penulis. Karya-karyanya sangat mengagumkan. Ia cukup terkenal di kalangan para pembaca dan penulis."
"Apa? Penulis? Bukannya ia berandalan?"
"Lebih tepatnya ia adalah penulis gila. Ia memang dikenal memiliki kehidupan yang berandal. Tetapi, karya-karyanya tak perlu kau ragukan. Terserah kau ingin membaca karyanya yang mana. Kau akan langsung jatuh cinta."
"Jangan berlebihan Vin, tidak mungkin. Jatuh cinta? Sedangkan aku saja sangat takut kepadanya."
"Takut kenapa?"
"Ceritanya panjang, aku juga tidak ingin membahasnya."
"Okelah kalau begitu Mala. Aku ingin menitipkan salah satu buku karyanya kepadamu. Jika kau bertemu dengannya, aku nitip tanda tangan ya."
"Apakah kau bercanda? Jangankan untuk bertemu dengannya, mengenalnya saja adalah penyesalan terbesar dalam hidupku."
"Sudahlah, aku titipkan saja buku ini. Aku yakin kalian akan bertemu lagi. Aku tunggu tanda tangannya."
Arvin pun berlalu.
"Sepertinya semua orang ingin membunuhku secara perlahan," ucap Mala yang semakin panik dengan semua keadaan ini. Andai waktu bisa diulang, ia sama sekali tidak ingin berjumpa dengan pria berandal itu. Ia merasa tertekan.